Dalam
Ancaman Bencana
Suharto ; Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian UGM,
Fungsionaris DPPPDI Perjuangan
|
SUARA
MERDEKA, 15 Desember 2014
BETAPA
miris menyaksikan bencana tanah longsor yang terjadi di Dusun Jemblungan,
Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, pada Jumat 12
Desember 2014, yang menimbun lebih dari 100 warga.
Bencana
tanah longsor ini bukan kali pertama terjadi di Banjarnegara, dan mungkin bukan
yang terakhir di seluruh Indonesia. Pasalnya, mengutip situs Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), Indonesia dinyatakan berada di bawah ”naungan”
bencana, terutama tanah longsor.
Data
BNPB menyebut sekitar 127 juta jiwa penduduk Indonesia tinggal di wilayah
rawan longsor. Bencana tanah longsor meningkat sejak 2006, seiring
kemerabakan penebangan kayu secara ilegal. Tahun 2007 tercatat 57 kasus tanah
longsor, tahun 2008 meningkat menjadi 76 kasus, tahun 2009 ada 126 kasus, dan
tahun 2010 meningkat lagi jadi 200 kasus.
Di
Banjarnegara, sedikitnya ada 25 lokasi longsor selama musim hujan November-
Desember 2014. Lokasi itu tersebar di delapan desa di enam kecamatan dari 19
kecamatan yang ada. BNPB Banjarnegara bahkan menyatakan telah mengingatkan
warga akan bahaya tanah longsor beberapa hari sebelum bencana itu benar-benar
terjadi.
Di
Jateng, selain di Banjarnegara, sejumlah titik rawan longsor juga terdapat di
Magelang, Purbalingga, Cilacap, Wonosobo, dan Banyumas. Penyebab rawan
longsor di Pulau Jawa, mengutip pendapat mantan direktur Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Darori Wonodipuro, Sabtu
(13/12/14), karena luas hutan di Pulau Jawa tinggal 10%. Padahal syarat
minimal supaya bisa menyerap air hujan dan mencegah longsor, ketersediaan
hutan minimal seluas 30%.
Secara
umum ada empat penyebab terjadinya longsor. Pertama; ada beberapa daerah
seperti Aceh, Medan, Jateng, Jawa Timur, atau kawasan pegunungan yang jenis
batuannya latosol. Jenis batuan ini licin dan mudah longsor. Lapisan tanah
tipis, di bawahnya batu, sehingga akar pohon tidak bisa menancap kuat.
Kedua;
illegal logging. Orang menebang pohon secara liar pada musim kemarau,
ranting-rantingnya ditinggal, dan saat musim hujan ranting-ranting itu
terbawa arus ke sungai yang akhirnya menahan air d a n lumpur. Ketika
ranting-ranting itu sudah tidak bisa menahan maka terjadi air bah.
Langkah Antisipatif
Ketiga;
adanya penebangan secara masif pohon di wilayah atas pegunungan, lalu akarnya
membusuk sehingga tanahnya retak. Di celah tanah yang retak itu kemudian
mengalir air hujan yang lamalama akan memisahkan tanah dan membentuk lapisan.
Lapisan tanah yang putih bercampur air inilah yang akan mudah longsor.
Keempat; penanganan daerah aliran sungai (DAS) yang masih belum optimal
mengakibatkan kerusakan lingkungan DAS.
Mengenai
penyebab longsor di Banjarnegara, menurut Darori karena lapisan tanah yang
tipis. Apalagi, Jemblungan terletak di lembah yang di atasnya merupakan hutan
itu sebagian sudah disulap menjadi ladang. Longsor terjadi akibat volume air
meningkat. Apa pun penyebabnya dan apakah BNPB sudah mengingatkan warga atau
belum, yang jelas bencana yang merenggut banyak jiwa. Kita tak boleh saling
menyalahkan.
Selain
mengevakuasi para korban dan menangani para pengungsi, terutama anak-anak,
kaum lansia, dan perempuan dengan sebaik-baiknya, ke depan harus ada
langkahlangkah antisipatif untuk mencegah peristiwa serupa terulang.
Terdekat, bagi warga yang tinggal di lembahlembah supaya segera mengungsi
bila hujan turun selama enam jam berturut-turut.
Dalam
jangka panjang, menarik apa yang disarankan Darori, yakni agar pemerintah
berani mencari terobosan baru. Pemerintah daerah harus mulai
menginventarisasi para warganya yang tinggal di kawasan lembah. Kebanyakan
yang tinggal di lembah itu kondisi ekonominya sulit sehingga pemerintah harus
membantu merelokasi mereka.
Pemerintah
perlu menugaskan Perum Perhutani untuk menukar tempat tinggal masyarakat di
kawasan lembah dengan lahan hutan yang cukup datar dan tingkat kesuburan yang
memadai, sehingga mereka bisa berproduksi. Kemudian lahan milik warga yang di
lembah itu ditanami tanaman keras seperti manggis, kemiri, pete, jengkol,
atau tanaman lain. Pohon tanaman itu punya nilai konservasi, buahnya bisa
dimanfaatkan.
Sebab itu, pemerintah perlu mengubah sistem hutan produksi ditukar
dengan kawasan tempat tinggal masyarakat di daerah terjal atau berkemiringan
45 derajat. Pemerintah daerah perlu pula membuat program pendampingan kepada
masyarakat pascabencana, terutama untuk mengembalikan kemampuan masyarakat
dalam inovasi produksi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar