Negara
Maritim yang Terbuka
Yasuaki Tanizaki ; Duta Besar Jepang
untuk Republik Indonesia
|
KOMPAS,
27 Desember 2014
SAYA
baru bertugas di Jakarta September lalu, tetapi saya telah mengenal kata
”Toraja” sebelum datang di Indonesia. Kata ini saya kenal sebagai nama kopi
yang enak dengan kemasan bergambar rumah adat Toraja yang disebut
”Tongkonang”. Yang mengejutkan saya, rumah adat ini berbentuk perahu.
Ada
pandangan yang mengatakan nenek moyang suku Toraja yang berdiam di pegunungan
datang dari wilayah jauh di utara dengan perahu. Hal lain yang pernah saya
dengar adalah kata Manado, kota di Sulawesi, berasal dari kata ”Minato” yang
artinya pelabuhan dalam bahasa Jepang.
Presiden
Joko Widodo mencanangkan Indonesia untuk kembali sebagai negara maritim dan
telah menyampaikan gagasan poros maritim. Jepang pun merupakan sebuah negara
kepulauan yang terdiri lebih dari 3.000 pulau, dan sebagai sesama negara
demokrasi dan maritim, menyambut baik Indonesia.
Dalam
Konferensi APEC di Beijing November lalu, PM Abe menyampaikan kepada Presiden
Joko Widodo untuk bekerja sama lebih erat lagi sebagai sumbangsih Jepang bagi
perdamaian dan kemakmuran wilayah. PM Abe akan mendukung sikap pro-aktif
Presiden Joko Widodo dalam mengatasi permasalahan maritim.
PM Abe
juga mencanangkan prinsip ”Proactive
Contribution to Peace (Prinsip Kontribusi Pro-aktif terhadap Perdamaian)”
untuk lebih aktif lagi dalam menyumbang perdamaian dan stabilitas di kawasan
dan dunia internasional, serta bekerja sama dengan Amerika Serikat dan
negara-negara terkait lainnya.
Menurut
saya, kerja sama Indonesia dan Jepang pasti akan memberikan sumbangsih bagi
perdamaian dan kestabilan wilayah. Kedua negara dapat bekerja sama di bidang pembangunan
infrastruktur pelabuhan, peningkatan kemampuan pengamanan laut, serta
pengembangan industri perikanan dan sebagainya.
Harapan
Presiden
Joko Widodo menyampaikan harapannya agar Jepang menambah investasi modal dan
bekerja sama dalam memperbaiki infrastruktur. Pemerintah Jepang berkeinginan
memperdalam hubungan perekonomian yang saling menguntungkan. Untuk itu,
pembangunan infrastruktur, seperti penyediaan daya listrik, merupakan unsur
yang sangat penting. PM Abe mengatakan, Jepang siap bekerja sama dengan
Indonesia dalam menata infrastruktur berkualitas, seperti pelabuhan, MRT, dan
pembangkit tenaga listrik.
Jepang
sudah lama membantu Indonesia. PLTU Tanjung Priok dibangun melalui kerja sama
ekonomi Jepang (ODA) tahun 1969 untuk memenuhi kebutuhan listrik Jakarta,
diikuti proyek-proyek pembangkit listrik tenaga air di sejumlah wilayah.
Contoh
lain dari kerja sama kedua negara kita adalah penataan infrastruktur
pelabuhan perikanan Jakarta yang kini menjadi tempat beroperasi 100 lebih
perusahaan perikanan swasta dengan nilai ekspor hasil tangkapan laut lebih
dari Rp 10 miliar.
Jepang
juga terbuka membantu dalam hal ”sabo”, suatu sistem pengendalian erosi,
sedimentasi banjir lahar, dan tanah longsor. Kata ini juga berasal dari
bahasa Jepang, dan dapat dikatakan sebagai simbol dari pertalian kerja sama
kedua negara. Di daerah Yogyakarta, dekat Gunung Merapi, terdapat ”Pusat
Teknik Pengendalian Pasir”, yang menjadi simbol kerja sama penanggulangan
bencana erosi kedua negara.
Contoh
lain di Jawa Timur, tempat direalisasikannya kerja sama ekonomi Jepang dan
Indonesia pertama, berupa proyek yang dinamakan ”Proyek Perencanaan
Pembangunan Terpadu Hilir Sungai Brantas” dan telah berlangsung selama lebih
dari 40 tahun. Dalam proyek itu terlibat beberapa teknisi Jepang yang
mentransfer ilmu dan teknologi kepada para teknisi lokal.
Warisan budaya
Hampir
20 tahun yang lalu saya berkesempatan mengunjungi Candi Borobudur dan Candi
Prambanan yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia. Saat itu saya
hanya terpana melihat keagungan dan keindahan kedua candi itu. Jepang juga
terbuka untuk bekerja sama di bidang pelestarian budaya dan salah satunya
adalah dalam menata taman kedua candi itu. Selanjutnya, pertukaran kebudayaan
dan pertukaran pemuda.
Akhir-akhir
ini, minat anak-anak muda Indonesia terhadap Jepang meningkat dan saat ini
jumlah orang Indonesia yang mempelajari bahasa Jepang mencapai 870.000 orang
(merupakan jumlah terbanyak nomor dua di dunia). Sebaliknya, di Jepang jumlah
universitas ataupun sekolah yang mengajarkan bahasa Indonesia pun meningkat.
Pada 1
Desember 2014, Jepang memberlakukan bebas visa terhadap warga negara
Indonesia yang memiliki e-paspor. Hal ini memungkinkan bagi warga Indonesia
untuk berkunjung ke Jepang dengan prosedur yang jauh lebih mudah dibandingkan
selama ini.
Pada
kunjungannya ke Jakarta Januari 2013 lalu, PM Abe berencana menyampaikan
pidato, tetapi karena adanya suatu urusan darurat kenegaraan yang harus
ditangani, ia harus mempersingkat kunjungannya dan acara ini dibatalkan.
Sebagai
gantinya, teks pidato berjudul ”The
Bounty of the Open Seas: Five New Principles for Japanese Diplomacy”
dimuat di situs Kementerian Luar Negeri Jepang
(http://www.mofa.go.jp/announce/pm/abe/abe_0118e.html).
Dalam
pidato tersebut, PM Abe menyatakan, ”Dikelilingi oleh lautan, hidup darinya
dan memandang keamanan laut sebagai keamanan diri sendiri”, merupakan hal
yang sangat wajar secara geopolitik bagi Jepang dan Indonesia sebagai negara
maritim. Untuk itu, Jepang selalu berusaha memperkuat kemitraan dengan
Amerika Serikat dan negara-negara maritim di Asia, seperti Indonesia.
Menurut
Abe, kita harus percaya pada nilai-nilai yang kita pegang teguh. Kita tidak
boleh membiarkan, terutama lautan yang merupakan milik kita bersama, menjadi
tempat yang dikuasai oleh kekuatan semata. Kita harus menciptakan lebih
banyak lagi jaringan perekonomian, meningkatkan pertukaran budaya, dan
pembinaan generasi penerus.
Pada
akhirnya, saya berharap agar hubungan kerja sama serta pertalian kedua negara
akan semakin kuat di pemerintahan Presiden Joko Widodo. Semoga senantiasa
damai di laut Asia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar