Diplomasi
Bergoglio
Trias Kuncahyono ; Penulis kolom
“Kredensial” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
28 Desember 2014
Dua puluh satu Januari 1998, Paus Yohanes Paulus II mengawali kunjungan
lima harinya ke Kuba. Sebuah kunjungan yang luar biasa karena sejak Fidel
Castro berkuasa tahun 1959, Kuba menyatakan diri sebagai ateistis. Pemerintah
revolusioner pimpinan Castro menentang keras Gereja Katolik karena dianggap
ada hubungannya dengan diktator Fulgencio Batista yang disingkirkannya. Kuba
juga mengusir pastor asing, menyingkirkan pastor pribumi (Kuba), dan memantau
semua kegiatan Gereja.
Salah seorang yang menyertai Paus Yohanes Paulus II adalah Uskup Agung
Buenos Aires Jorge Mario Bergoglio, yang sekarang Paus Fransiskus. Bergoglio,
sebagai delegasi Gereja Amerika Latin, mendengar serta mencatat pembicaraan
antara Paus Yohanes Paulus II dan Fidel Castro. Hasilnya? Setelah kembali ke
Argentina, Bergoglio menulis buku kecil yang diberi judul Dialogues between
John Paul II and Fidel Castro. Dalam buku ini, Bergoglio mengkritik
pemberangusan kebebasan di Kuba, tetapi juga menyatakan, ”Motif-motif yang
menyebabkan Amerika Serikat menjatuhkan embargo (terhadap Kuba) harus
sepenuhnya disingkirkan.”
Bergoglio juga mengkritik sosialisme dan revolusi ateis Castro karena
menyangkal martabat transendental manusia, serta semata-mata menjadikan
manusia sebagai pelayan negara. Ia mencela embargo dan isolasi ekonomi AS
terhadap Kuba karena memiskinkan Kuba.
Kisah Bergoglio mendampingi Paus Yohanes Paulus II ke Kuba dan bukunya
ini muncul kembali setelah tersiar kabar, Bergoglio yang kini Paus Fransiskus
berperan penting dalam proses awal normalisasi hubungan diplomatik AS-Kuba.
Pemulihan hubungan diplomatik kedua negara—yang putus lebih dari setengah
abad—diumumkan Presiden AS Barack Obama dan Presiden Kuba Raul Castro, 17
Desember lalu.
Semua bermula dari ”surat rahasia” Paus Fransiskus kepada Obama dan
Castro. Dalam surat itu, Paus Fransiskus meminta mereka berdialog. Sejak itu,
terjalinlah dialog antara wakil AS dan Kuba di Kanada. Dialog berlangsung 18
bulan dan berakhir dengan pengumuman normalisasi hubungan diplomatik.
Dialog, itulah kata kuncinya. Dialog menuntut kerendahan dan kelembutan
hati untuk saling mendengarkan; diperlukan juga kepercayaan dan
kebijaksanaan. Dalam dialog, kepercayaan akan menumbuhkan persahabatan dan
kebijaksanaan meneguhkan persahabatan. Itulah ”nilai dialog”. Hal itu pula
yang disarankan Paus Fransiskus kepada pemimpin AS dan Kuba. Bagi Paus
Fransiskus, dialog adalah satu-satunya jalan mengakhiri isolasi Kuba dan
permusuhan Kuba terhadap agama.
”Kerja
seorang duta besar adalah pada tindakan-tindakan kecil, hal-hal kecil, tetapi
selalu berakhir dengan melahirkan perdamaian, makin dekat dengan hati rakyat,
merajut persaudaraan di antara bangsa-bangsa,” kata
Paus Fransiskus setelah AS dan Kuba sepakat menormalisasi hubungan (International New York Times, 20-21
Desember 2014). Hal seperti itu juga yang dilakukan Paus Fransiskus ketika
mempertemukan Presiden Israel Shimon Peres dan Presiden Palestina Mahmoud
Abbas, 9 Juni 2014, di Vatikan dalam ”Prayer Summit” untuk perdamaian Timur
Tengah.
Diplomasi Paus Fransiskus menunjukkan keberanian dan keinginan
mengambil risiko serta melibatkan Vatikan dalam persengketaan diplomatik,
terutama apabila Vatikan dapat memainkan peran sebagai perantara independen,
seperti yang dilakukan di Kuba. Karena itu, ia mengirim surat rahasia kepada
pemimpin AS dan Kuba yang ”menghidupkan lagi” hubungan kedua negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar