Budaya
Bencana
Teuku Dadek ; Mantan Camat di Kota
Meulaboh Saat Gempa dan Tsunami
|
KOMPAS,
26 Desember 2014
Masih
terngiang di telinga ketika para ibu bertanya saat tsunami, ”Apa ini Pak? Apa
ini kiamat?” Di tengah kepanikan, saya menjawab ”Bukan, langit masih cerah,
kalau kiamat tidak ada yang tersisa.”
Para
korban yang selamat ternyata tidak tahu bahwa gempa berpotensi mengungkit
gelombang dahsyat ke darat. Karena itu juga, banyak yang selamat dari tsunami
pertama, tetapi akhirnya menjadi korban tsunami gelombang kedua karena pulang
ke rumah untuk melihat keluarga dan harta bendanya.
Beberapa
orang Simeulue yang tinggal di Meulaboh berteriak-teriak kepada masyarakat
sekitar untuk segera melarikan diri sebab laut akan melahirkan tembok air
tinggi yang runtuh membawa bala, tetapi orang-orang darat tersebut hanya
bingung. Bahkan, banyak masyarakat Meulaboh pergi ke laut yang seharusnya
dihindari untuk melihat fenomena surut laut dan ikan-ikan bergelimpangan.
Simeulue
pada 1907 pernah dilanda tsunami, berbekal kejadian inilah, orang Simeulue di
darat memiliki pengetahuan tentang gempa yang berpotensi tsunami. Boleh
dikatakan tidak ada korban langsung di Simeulue walaupun skala gempa dan
tsunami sama dengan di Aceh lainnya.
Jarak
Simeulue dan Meulaboh hanya 12 jam perjalanan laut dan satu jam perjalanan
udara. Kontak budaya kedua masyarakat sangat intens.
Masa
panen cengkeh tahun 1980-an membuat orang darat terkesima dengan kekayaan yang
dapat diraih di Simeulue sebagai pemetik cengkeh. Sebaliknya, orang Simeulue
berbondong-bondong ke Meulaboh menginap di losmen untuk sekadar belanja
sepeda motor dan kulkas walaupun belum ada listrik di sana.
Namun,
pengetahuan bahwa gempa berpotensi tsunami tidak tertransfer baik.
Akankah
pelajaran 2004 tersebut menjadi bagian dari budaya bencana masyarakat ke
depan?
Sejarah
menyatakan bahwa bencana tsunami (smong)
pernah terjadi di Aceh dengan skala yang berbeda-beda. Hasil penelitian
menunjukkan adanya rutinitas dengan skala dan rentang yang besar dan jauh.
Dalam
laporan penelitian Coastal Progradation
Patterns As A Potential Tool Inseismic Hazard Assessment yang dilakukan
multi-NGOs dan lembaga riset dari berbagai penjuru dunia, disebutkan bahwa
tsunami pernah terjadi beberapa kali di perairan Meulaboh (Aceh Barat) sesuai
dengan temuan deposit tanah bekas tsunami.
Penelitian
ilmiah dan lapangan tersebut semakin mendukung catatan-catatan gempa dalam
manuskrip di Aceh, misalnya di bulan Sya’ban 1211 H (Februari 1797) gempa 8,4
SR di perairan Laut Hindia tepatnya Mentawai dan Padang menimbulkan tsunami
yang melanda pesisir pantai barat Sumatera.
Dalam
catatan sampul manuskrip Tanoh Abee disebut ”al-zalzalah as-syadidah at-tsaniyah” (gempa besar kedua kali),
Kamis 9 Jumadil Akhir 1248 H/3 November 1832 M. Lima tahun kemudian
(September 1837) pada periode Sultan Muhammad Syah (1824-1838), Belanda
mencatat gempa di Aceh dengan episentrum di perairan barat Aceh.
Pada
abad yang sama, pada tahun 1861 terjadi gempa tektonik di Kota Singkil yang
menghancurkan infrastruktur Belanda yang dibangun tahun 1852 (Hermansyah, ”Naskah Ta’bir Gempa: Antara
Mitigasi Bencana dan Kearifan Lokal di Aceh (Kajian Terhadap Naskah-Naskah
Kuno)”.
Budaya bencana
Akankah
Aceh cukup kuat menghadapi bencana serupa ke depan?
Mari
kita lihat kebijakan pemerintah dan budaya masyarakat Aceh. Pertama, terhadap
kebijakan pembangunan yang diterapkan pemerintah Aceh yang dapat kita nilai
kurang mengadopsi bencana 2004.
Kota
Banda Aceh pasca tsunami pernah dirancang dengan sesi pantai yang dikosongkan
dari hunian masyarakat, dengan rencana pohon-pohon bambu untuk ketahanan
pantainya, Meulaboh pun dicoba dikosongkan 500 meter dari pantai, tetapi
gagal diwujudkan. Jalan Meulaboh–Banda Aceh tetap dibangun sejajar laut tanpa
rambu-rambu evakuasi apabila kendaraan yang melintas terjebak gempa yang
berpotensi tsunami.
Kedua,
budaya bencana, saat kunjungan ke Jepang tahun 2012, saya bertanya kepada Dr
Samsidik Tahir dari TDMRC mengapa orang Jepang meletakkan sandalnya menghadap
ke arah keluar, bukan sebagaimana kebiasaan orang Indonesia menghadap ke
pintu masuk. Ia menjawab, itu adalah bentuk kesiapsiagaan agar bisa segera
menyelamatkan diri saat terjadi gempa.
Saya
jadi ingat kejadian 2004, banyak perempuan terpaksa lari dengan pakaian apa
adanya dan laki-laki bertelanjang kaki. Ini terjadi lagi pada gempa 26 Maret
2006, 11 April 2011.
Sebenarnya
masyarakat memiliki budaya bencana, misalnya terhadap rumah hunian, dulu
rumah-rumah di daerah banjir dibuat panggung. Kemudian generasi berikutnya
menurunkan lantai rumah menjadi rumah semipermanen atau permanen yang tidak
berpanggung lagi.
Rumah
Aceh juga dirancang untuk kepentingan bencana. Atap yang dijalin mudah
dilepas jika terjadi kebakaran, bentuknya yang berpanggung untuk menjauhi
banjir. Selama rekonstruksi di Aceh, rumah panggung ini pernah dibangun di
seputaran Krueng Teunom.
Namun,
pelajaran 2004 tidak cukup kuat bagi kita untuk melembagakan budaya bencana.
Maka,
pelaksanaan simulasi skala kecil dan besar harus dilaksanakan sesering
mungkin, penempatan rumah jauh dari pantai harus menjadi pemahaman
masyarakat, dan di tingkat rumah tangga harus ada skenario pencegahan dan
evakuasi bencana.
Alat-alat
rumah tangga berupa lemari dan lainnya yang mudah jatuh ditempel ke dinding,
anak-anak perlu diajarkan cara menghadapi gempa dan tsunami di sekolah atau
di rumah, termasuk ke mana harus menyelamatkan diri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar