Menekan
Segmen Pasar Oplosan
Flo K Sapto W ; Praktisi Pemasaran
|
KORAN
TEMPO, 15 Desember 2014
Selama
36 tahun setelah perang saudara di padang Kurusetra, Kresna kembali memegang
takhta kerajaan Dwarawati. Saat itu, zaman sudah memasuki kaliyuga
(kegelapan). Rakyat terpuruk dalam hedonisme. Sebagian gemar menimbun harta
dan berpesta. Aparatur kerajaan memiliki hobi melakukan korupsi. Anak mudanya
terbiasa menenggak minuman keras sampai mabuk. Syahdan Samba, putra Kresna,
bahkan sempat dikutuk oleh seorang brahmana.
Satyaki,
sepupu Kresna, yang sedang berpesta minuman keras di pantai, terlibat cekco
dengan Kertawarma. Cekcok berlanjut dengan perkelahian antara dua kelompok
besar di Kerajaan Dwarawati. Masing-masing menggunakan ilalang yang tumbuh di
pinggir pantai sebagai senjata. Konon ilalang ini merupakan tumbuhan yang
berasal dari serbuk abu gada besi yang keluar dari perut Samba. Anehnya,
ilalang itu berubah menjadi setajam pedang. Bentrokan tersebut menewaskan
hampir seluruh rakyat Dwarawati.
Bima
dalam lakon Bale Sigala-gala menolak minuman keras yang disodorkan para
Korawa. Penolakannya ini mungkin karena pernah terperdaya sebelumnya oleh
Duryudana. Kala itu, Bima dalam keadaan mabuk dimasukkan ke dalam sumur
Jalatunda yang penuh dengan ular berbisa. Kini, Bima tidak mau tertipu lagi.
Sikapnya yang menolak mabuk akhirnya menyelamatkan keluarga Pandawa dari
kebakaran.
Ilustrasi
di atas adalah gambaran dampak lebih jauh yang di minuman keras. Relevan saat
dikaitkan dengan tewasnya 27 orang dari 100 orang korban miras oplosan di
Garut, 2 orang di Sukabumi, dan 1 orang di Yogyakarta (Koran Tempo,
11/12/14).
Bagaimana
sebaiknya minuman keras oplosan ini ditanggulangi? Faktanya, sebagian
masyarakat kita memiliki sebuah kebutuhan akan produk oplosan.
Abraham
Maslow memaparkan lima hierarki kebutuhan yang ada dalam setiap individu
(Robbins, 2005), yaitu physiological (sandang, pangan, papan, seks); safety
(fisik dan psikis); social (dihargai, diterima, persahabatan); esteem (status
sosial, dikenal, pencapaian); dan self-actualization (kepenuhan pribadi,
pencapaian potensi diri).
Kelima
kebutuhan dasar manusiawi itu secara umum terwujud dalam kebutuhan akan
pekerjaan yang layak dan ketersediaan ruang untuk aktualisasi. Kedua hal itu
akan mandek jika pemerintah dan masyarakat tidak saling berbagi dan
menyediakan diri satu sama lain. Salah satu hal yang terlihat ironis adalah
ketika lapangan pekerjaan yang layak tidak cukup tersedia dan sejumlah
ekspresi budaya serta ruang publik (pentas musik, kesenian daerah, ritual
kepercayaan, taman kota, dan lapangan) dibubarkan secara paksa atau digusur,
sementara yang tersaji secara murah-meriah adalah produk oplosan. Maka segala
bentuk pelampiasan atau pelepasan yang berbiaya murah akan diambil oleh
golongan masyarakat ini. Meski regulasi distribusi yang super protektif sarat
akan ancaman sweeping.
Sudah tentu solusi strategis bagi situasi ini adalah peningkatan daya
beli masyarakat yang masuk segmen konsumen oplosan. Bukan sekadar ancaman
pemecatan pejabat struktural di daerah ataupun penyitaan dan larangan ketat
yang hampir pasti temporer. Jika taraf kehidupan yang lebih baik sudah
terkondisi, segmen pasar oplosan akan tereduksi dengan sendirinya. Selebihnya
adalah pilihan. Toh, Samba, Satyaki, dan Kertawarma, yang notabene keluarga
ningrat atau kelas masyarakat atas, tetap binasa juga karena miras. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar