Demokratisasi
Pahlawan
Fidelis Regi Waton ; Pamong Rohani KMKI Berlin,
Belajar Filsafat di Humboldt-Universitaet zu Berlin, Jerman
|
SATU
HARAPAN, 17 November 2014
Manusia adalah
homo memorans (makhluk nostalgis). Kemampuan bermemori diapresiasi sebagai
zona kebebasan paripurna.
Revolusi
logos (rasio) membebaskan warga Yunani Kuno dari determinasi mitos dan dewata
yang berkulminasi pada tatanan masyarakat demokratis. Penduduk paguyuban
polis (negara kota) di Athena menikmati aroma liberal dan emansipatif. Namun
nostalgia akan legenda kepahlawanan dalam mitologi tidak muda dikikis, malah
mengancam eksistensi dan penetrasi demokrasi. Para warga yang setara diadu
dalam kompetisi di Agora (pasar) demi mendapatkan gelar “Aristoi” (yang
terbaik, unggul) lewat kecerdasan pemikiran, kefasihan retorika dan perbuatan
kebajikan (Arete). Aristoi didaulat sebagai pahlawan.
Kompetisi
luhur ini kelak membias dari koridor fair play. Pamor, prestise, image,
egomaniac dan popularitas mengikis prinsip kesetaraan. Aktivitas kaum Aristoi
hanya didominasi nafsu mengabadikan dan memprivatisasi etiket terbaik dan
terpandang. Kolaborasi menjadi pantauan lumrah. Lebih jauh mereka bahkan
meninggalkan aspek imanensi dan mengklaim kharakter mistis-transendensi dalam
diri (sakralisasi dan mistifikasi diri). Fakta ini kelak disemprot sebagai
manipulasi demokrasi dan revitalisasi Aristokrasi.
Spirit
demokrasi harus dikembalikan. Corak pahlawan sebagai yang utama, unggul dan
pemberani, privilese militer, panglima perang, tokoh sakti berotot baja dan
bertulang besi harus didekonstruksi. Ksatria berpedang di punggung kuda
perkasa dijadikan bahan lelucon oleh Miguel de Cervantes dalam novelnya Don
Quixote. Ditulari semangat Aufklaerung (Pencerahan), Johann Gottfried Herder
tanpa tedeng aling-aling memproklamasikan tamatnya zaman pahlawan.
Kini
kita berada dalam era pasca-heroik dengan rona demokrasi, egaliter dan
emansipasi sebagai piranti sekaligus parameter hidup bersama. Meskipun begitu
kerinduan akan heroisme belum memudar dan tidak bisa dihalau dari nubari.
Inkubasi Aristoi tetap mengintai.
Aroma
kepahlawanan memang masih mempesona, namun bingkai dan isinya telah berubah.
Gambaran heroisme postmodern tidak selamanya mengacu pada figur produk
pertempuran militer bersenjata di medan perang atau otoritas
kedaulatan-karismatis pemberi perintah dan penegak nilai.
Arogansi
dan kejayaaan pahlawan masa lampau lazimnya tidak steril dari kekerasan,
kebencian, korban dan pembunuhan, brutalitas dan sadistis. Fenomen ini
menunjukkan distorsi makna kepahlawanan. Doktrin kepahlawanan dalam artian
klasik kini dieliminasi.
Generasi
muda manakah yang masih mengidentifikasikan diri dengan Hektor dan Achilles
dalam hikayat Ilias karangan Homerus? Siapa yang masih fanatik mengidolakan
Panglima Polim, Pangeran Diponegoro, Cut Nya Dien, Sultan Hasanudin atau
Pattimura dan kawan-kawan dalam katalog pahlawan nasional Indonesia?
Tampuk
dan situs klasik pahlawan masa lampau telah disabotasi, dikudeta dan
dianeksasi oleh diva dan superstar
dari jargon musik, sinema dan sport. Model pahlawan dan idola postmodern
lazimnya bercorak romantis-momentan; bukannya monumental dan lestari.
Fundamen superstar dan diva umumnya
sangat keropos. Faktor alamiah penambahan usia misalnya lantas dipandang
sebagai momok dan harus diberantas oleh ulah kosmetik atau proyek bedah
plastik. Deretan kandidat bintang baru merongrong dan mendepak yang sedang
bertengger berdasarkan semboyan „setiap orang bisa digantikan“.
Muatan
kepahlawanan mengalami transformasi dan bercirikan transparan,
demokratis-subjektivistis sekaligus
res publica (urusan umum) dan sangat kuat didongkrak falsafah
kesamaan. Dalam kancah egaliter, setiap orang berlomba memenuhi dahaga
penghargaan dan meraih predikat individu spesial. Status mainstream
kehilangan magnet. Pekik „from zero to hero“ membangkitkan kepercayaan diri,
mendepak ketakutan dan menganulir kompromistis. Aksi heroik bukan lagi
fenomen langkah dan sporadis, melainkan bermekaran dan lokasinya
berekspansi.
Di
Inggris setiap tahun dianugerahkan „Pride
of Britain Awards”, penghargaan untuk mereka yang melakukan civil courage (keberanian sipil). Di
Jerman dikenal lencana “Helden des
Alltags” (pahlawan sehari-hari). Apresiasi ini diberikan misalnya kepada
siswi yang menyelamatkan temannya yang tenggelam di danau, suami yang
bertahun-tahun setia merawat isterinya yang sakit dan lumpuh di rumah, pemuda
yang meluputkan seorang gila dari tabrakan mobil, pesepakbola yang melakukan
reanimasi (bantuan nafas) kepada lawannya yang collapse, karyawan yang menghadang rekannya dari percobaan bunuh
diri akibat stres dan mobbing di
lapangan kerja, dan sebagainya.
Heroisme
mengalami demokratisasi. Pahlawan masa kini adalah pahlawan sehari-hari,
pahlawan kemanusian, satu di antara kita.
Luigi Pirandello mengatakan: „Kini
malah lebih gampang menjadi pahlawan, ketimbang sebagai manusia yang
berbudi-pekerti.“
Setiap
orang sanggup menjadi pahlawan, jika ia mau dan berani keluar dari
mainstream. Barangsiapa yang enggan berpaling dari mainstream dan mengurung diri dalam kungkungan average (rata-rata), ia pada
prinsipnya tidak mengejawantahkan keunikan subjek.
David Bowie mendendangkan „we can
be Heroes just for one day“ (kita bisa menjadi pahlawan hanya untuk
sehari). Di dalam diri setiap kita terdapat potensi pahlawan. Tepatlah
aforisme bernas Friedrich Nietzsche lewat corong Zarathustra: “Wirft den Helden in deiner Seele nicht
weg! (Jangan menghilangkan pahlawan
dalam jiwamu!). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar