Mengolok-olok
Agama Minoritas
Teuku Kemal Fasya ; Antropolog; Anggota Asosiasi Antropologi
Indonesia (AAI)
|
SATU
HARAPAN, 20 November 2014
Fenomena
kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) ternyata menjadi isu liar di
tingkat publik termasuk di media sosial. Perkara ini telah “digoreng”
sedemikian rupa, sehingga jauh dari fakta, terhuyung-huyung menjadi
penyesatan informasi. Gerakan opini itu ingin mengesankan pemerintahan Jokowi
– JK menisbikan keberadaan agama-agama di Indonesia dan membuka peluang
pembenaran aliran “sesat”.
Tak
kurang, wakil ketua DPR Fahri Hamzah angkat bicara secara sentimentil.
Menurutnya bahaya jika kolom agama dikosongkan di dalam KTP, karena akan meniru
model Barat yang tidak memerlukan identitas keagamaan. Bahkan, ketua DPD RI,
Irman Gusman pun menyatakan ketidaksetujuannya karena alasan Indonesia bukan
negara sekuler.
Pernyataan
pejabat negara itu tidak memberikan ruang negosiasi opini yang bersifat
klarifikatif, malah menambah distorsi dan kegamangan bagi publik. Padahal
permasalahan ini harus didekati sebagai pendalaman atas masalah agama-agama
di Indonesia yang masih terjebak logika “Orde Baru” yang gagal memahami
pluralitas agama.
Jokes Sakartis
Akibat
yang timbul dari politisasi isu itu malah mengarah kepada olok-olok atas
kebijakan ini. Opsi untuk boleh tidak mencantumkan kolom di dalam KTP
dianggap sebagai kebijakan “lebay” pemerintahan Jokowi.
Kini di
media sosial muncul pelbagai jokes tentang itu. Ada status di facebook yang
membuat metafora seseorang yang meninggal dan tidak dikenal agamanya di KTP
cukup dilempar saja jenazahnya ke kolam ikan lele, karena tidak bisa
disalatkan, dikremasi, atau disemayamkan. Yang cukup miris, seorang dosen
hukum dan juga dikenal aktivis HAM membuat status bahwa masa depan Indonesia
tanpa diskriminasi harus ditunjukkan dengan kebijakan, tidak saja menghapus
kolom agama, tapi juga menghapus semua informasi seperti nama, tanggal lahir,
jenis kelamin, kebangsaan, dsb.
Tentu
jokes atau humor seperti seperti ini tidak pada tempatnya. Aksi olok-olok
seperti itu membuka ruang bagi kelompok intoleran untuk semakin bergembira
dan terhibur. Teringat kembali kajian Sigmund Freud tentang jokes. Dalam Jokes and Their Relation to The
Unconscious Freud memerlihatan hubungan “mimpi” atau pikiran seseorang di
masa lalu dengan realitas yang dialami sekarang. Jokes menjadi penanda
tekanan psikologis sehingga perlu melakukan “pelepasan”. Seseorang yang
melakukan jokes sakartis sebenarnya sedang membuka alam ketidaksadarannya (an agency of the unconscious) untuk
terlibat dengan wacana subjektif yang didasarkan kepada kesadaran palsu
tentang dirinya sendiri atas orang lain (Bruce
Fink, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance, 1995 : 42).
Sesungguhnya
tidak ada seseorang yang terpelajar atau politikus yang sudi dianggap pelopor
diskriminasi atau promotor sektarianisme. Namun olok-olok atau candaan
sakartis sesungguhnya membuka pintu kejiwaan seseorang terkait pengelolaan
aspek Id atau instingtual yang tidak stabil, kemungkinan pengalamannya di
masa kecil atau pengelolaan pendidikan yang buruk. Seseorang bisa dilihat
latar depan psikologinya (Super Ego)
dengan mengecek candaannya atas sebuah fenomena sosial.
Kekanak-kanakan
Sesungguhnya
tak ada ruang untuk mencandai fenomena ini. Secara sosio-antropologis agama
di Indonesia bukanlah “lima tambah satu”, tapi puluhan bahkan ratusan. Banyak
awam berpikir kebijakan ini hanya membuka kepada hadirnya agama baru, padahal
faktanya tidak. Agama-agama itu bahkan lebih tua sejarahnya di Indonesia
dibandingkan agama-agama resmi.
Keputusan
pemerintahan Abdurrahman Wahid yang mengeluarkan Keppres No. 6 tahun 2000
tentang Agama dan menjadi peluang untuk melegalisasi Konghucu sebagai agama
harus dilihat sebagai pergulatan tentang status-status agama di Indonesia.
Itu adalah diskursus yang belum selesai.
Meskipun
enam agama resmi secara statistik sudah memenuhi persentase 99 persen umat
beragama di Indonesia, ada satu persen lagi yang masih belum diakui.
Bagaimana nasib Pelbegu dan Parmalim di Sumatera Utara, Sunda Wiwitan di Jawa
Barat dan Banten, Islam Wetu Telu di Lombok, Kaharingan di Kalimantan, Tonaas
Walian di Sulawesi Utara, Naurus di Maluku? Bagaimana dengan eksistensi Ahmadiyah,
Syiah, Sikh di Indonesia? Protestan sendiri bukan entitas tunggal. Ada 300
denominasi yang kini telah terdaftar di Kementerian Agama.
Bagaimana
dengan agama Yahudi? Banyak orang tak mau membuka wacana tentang Yahudi ini
(padahal juga agama samawi seperti Islam dan Kristen) terkait sakit hati
sosial-teologis karena perlakuan Israel terhadap Palestina. Namun kita lupa
bahwa secara historis ada jejak-jejak agama Yahudi di dalam masyarakat, yang
sejalan dengan sejarah kolonialisme Eropa di Nusantara. Menyamakan Yahudi
dengan Zionis Israel juga bagian dari stereotip yang perlu diperbaiki.
Ketidaktahuan melahirkan persangkaan.
Secara
hukum, kebijakan ini hanya menjalankan amar konstitusional. Kebijakan
tersebut telah tercantum pada pasal 64 ayat (5) UU No. 24 tahun 2013 tentang
Administrasi Kependudukan. “Elemen data
penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang
agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap
dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.”
Undang-undang
tersebut sesungguhnya menjadi penyempurnaan UU sebelumnya (UU No. 23 tahun
2006) yang juga mencantumkan opsi bagi agama non enam untuk boleh
mengosongkan kolom agama di KTP. Jika selama ini banyak dalil yang
bermunculan sesungguhnya tidak berangkat dari nalar konstitusional. Salah
satu bola liar diakibatkan pemerintahan SBY yang melahirkan UU itu tak jua
menjalankan di masa pemerintahannya.
Secara
empiris, tidak mencantumkan status agama bukan semata kebijakan negara-negara
sekuler-Barat, tapi berlaku di negara Islam atau negara mayoritas Islam.
Selain Singapore yang tidak berkepentingan status agama warganya, Malaysia,
Brunei Darussalam, Qatar, Turki, Tunisia, Pakistan, dan banyak Timur-tengah
lainnya juga tidak mensyaratkan agama dicantumkan eksplisit di KTP. Di antara
sedikit negara yang masih memberlakukan kolom agama di KTP adalah Israel dan
Saudi Arabia. Tentu karena pengaruh zionistis dan wahabiyan di kedua negara
itu sehingga kepentingan mengontrol penduduk secara keras terkait agamanya
menjadi penting.
Jika pertimbangannya adalah agama yang banyak itu hanya satu persen
dari total penduduk beragama resmi, karenanya tak perlu hirau dengan itu,
maka penting dipertanyakan status keagamaannya. Dalam Islam kelompok itu
disebut musthad’afin – kelompok yang dilemahkan secara politik, ekonomi,
kultural. Mengabaikan kelompok musthad’afin
sama saja merendahkan Islam dan menunjukkan keagamaan puritan yang diakui itu
tak lebih dari Islam KTP! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar