Tarian
Terakhir
Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior
Kompas
|
KOMPAS,
21 Desember 2014
Hari
Sabtu, 15 April 1961. Matahari baru bersiap muncul. Ketika kantuk masih
menguasai kedua matanya, tiba- tiba pemimpin Kuba, Fidel Castro, terbangun.
Ia dikagetkan oleh deru dua pengebom B-26 yang terbang rendah di atas atap
markas besar militer Kuba, Point One, di pinggiran Havana, Kuba. Kedua
pengebom peninggalan Perang Dunia II itu terbang dari Nikaragua. ”Pesawat
siapa itu?” teriak Castro kepada anggota stafnya. Tak satu pun menjawab
pertanyaan itu. Tiba-tiba terdengar ledakan dari pinggiran Bandara Campo
Libertad. Saat itulah dimulai invasi ke Kuba oleh Amerika Serikat.
Dua hari
kemudian, 17 April 1961, 1.400 orang Kuba dalam pengasingan di AS, yang sudah
dilatih CIA di Guatemala, menyerbu Kuba. Jim Rasenberger dalam bukunya, The
Brilliant Disaster (2011), menceritakan, pembentukan milisi itu yang kemudian
tergabung dalam Brigade 2506 atas perintah Presiden Dwight D Eisenhower
setelah hubungan diplomatik kedua negara putus, Januari 1961, sebagai akibat
dari Perang Dingin. Kuba saat itu menjadi sekutu Uni Soviet di bawah
kepemimpinan Nikita Khrushchev.
Namun,
invasi ke Kuba—tujuan utamanya menyingkirkan Castro yang komunis dan
membentuk pemerintahan pro Washington—atas perintah Presiden John F Kennedy.
Invasi inilah yang kemudian disebut sebagai Invasi Teluk Babi karena mereka
masuk Kuba lewat Bahia de Cochinos atau Teluk Babi.
Operasi
militer ini gagal. Bahkan, sejarawan AS, Theodore Draper, menyebutnya sebagai
”gagal total”. AS yang berpenduduk 180 juta orang dipermalukan negara
berpenduduk 7 juta orang. Hanya dalam tempo 24 jam, operasi militer itu bisa
ditumpas Castro yang mengerahkan 20.000 tentara. Banyak anggota milisi
melarikan diri masuk ke laut, hampir 1.200 orang menyerah, dan lebih dari 100
orang tewas.
Meski
memukul mundur serbuan milisi dukungan AS, Kuba tak mau bertepuk dada. Dengan
bantuan Uni Soviet, negeri di ”halaman belakang AS” ini memperkuat diri. Atas
permintaan Kuba—juga sebagai jawaban atas penempatan rudal balistik Jupiter
di Italia dan Turki oleh AS—Uni Soviet bersedia menempatkan rudal balistiknya
di Kuba. Inilah yang kemudian memunculkan ”Krisis Rudal Kuba” atau ”Krisis
Oktober” atau ”Krisis Karibia”. Krisis yang berlangsung selama 13 hari pada
Oktober 1962 ini membawa dunia di ujung Perang Dunia III: AS berhadap-hadapan
dengan Uni Soviet. Sejak itulah hubungan AS dan Kuba yang putus sejak 1961
semakin beku.
Kebekuan
hubungan selama lebih dari setengah abad itu, hari Rabu, 17 Desember lalu,
mencair setelah Presiden AS Barack Obama menyetujui restorasi hubungan
diplomatik secara penuh dengan Kuba. Pengumuman Obama itu menjadi puncak
perundingan rahasia kedua negara selama 18 bulan atas bantuan Paus Fransiskus
di Kanada. Perundingan rahasia dimulai setelah Paus Fransiskus mengirimkan
”surat permintaan” kepada Presiden Obama dan Presiden Kuba Raul Castro. Surat
itu antara lain meminta agar Kuba membebaskan Alan Gross (65), warga AS yang
ditahan Kuba sejak 2009 karena memberi perlengkapan satelit kepada komunitas
Yahudi di Kuba.
Akhir
dari perundingan itu tak hanya kesepakatan pembebasan Gross, pembebasan dan
repatriasi tiga spion Kuba yang dipenjara di AS, pembebasan mata-mata AS di
Kuba, Rolando Sarraf Trujillo, pembebasan 52 tahanan politik oleh Pemerintah
Kuba, tetapi yang lebih penting lagi adalah pemulihan hubungan diplomatik
kedua negara dan itu berarti pencabutan embargo perdagangan atas Kuba.
Pemulihan
hubungan diplomatik ini bagi Kuba yang sekarang sedang kesulitan keuangan
(karena patron utamanya Venezuela dilanda krisis karena turunnya harga
minyak) sangat besar artinya. Demikian juga bagi AS. Selama ini, meski ada
embargo perdagangan, Kuba, menurut World
Food Programme, mengimpor hampir 80 persen kebutuhan pangannya dari AS.
Tiga produk unggulan yang diimpor Kuba adalah ayam beku, jagung, dan tepung
kedelai untuk pakan ternak.
”Ini kemenangan bagi rakyat Kuba,” tulis
Eugene Robinson di The Washington Post,
penulis buku The Last Dance in Havana,
Tarian Terakhir di Havana. Barangkali ini ”tarian terakhir” Castro
bersaudara sebelum negerinya terbuka dan disapu gelombang demokratisasi dan
pasar bebas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar