Berhenti Tanyakan
“Bagaimana Perasaan Anda?”
Amalia Nurul Muthmainnah ; Mahasiswa Ilmu
Komunikasi
Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA POS, 29 Desember 2014
BARU saja tangis negeri ini reda karena longsor Banjarnegara, kini
giliran bencana banjir di berbagai daerah yang minta perhatian. Bukan hanya
bencana alam, Minggu (28/12) kita pun dikejutkan hilangnya pesawat AirAsia
QZ8501. Media, selaku penyiar informasi, lantas berlomba-lomba menyuguhkan
berita teraktual dari tanah bencana. Bahasannya pun tak jauh-jauh dari skala
bencana beserta kerusakannya, analisis ilmiah pakar perihal penyebab bencana,
dan jumlah korban dengan kondisi mereka yang memprihatinkan. Yang kemudian
menimbulkan pertanyaan, setelah menjejali publik dengan berita semacam itu,
lalu apa?
Sebagai konsumen media, pemberitaan bencana kerap menghanyutkan kita
pada perasaan iba, simpati, takut, dan perasaan-perasaan lain yang berbasis
pada kemanusiaan. Selama ini kita pun menganggap perasaan tersebut wajar.
Manusiawi. Justru, kita akan merasa ”tidak berperikemanusiaan” bila tidak
terlarut dalam perasaan semacam itu. Kenyataannya, kita terlarut dalam emosi
sedemikian rupa tak sekadar karena realitasnya memang demikian. Dengan
lihainya media meracik pemberitaan bencana yang kaya akan nilai kesedihan
untuk menggedor rasa simpati kita. Sebab, mereka tahu, pemberitaan semacam
itulah yang akan memiliki nilai jual tinggi!
Eksploitasi Nestapa
Sedari dulu bencana selalu menjadi a
perfect media event. Sebab, bencana adalah paket komplet nilai-nilai
berita. Di antaranya aktualitas, menyangkut hajat hidup orang banyak, serta
adanya proksimitas (kedekatan). Singkatnya, meminjam pernyataan Lukmantoro
(2007), sebagai komoditas, berita-berita bencana memiliki keunggulan untuk
terus-menerus diperdagangkan.
Sayangnya, nilai-nilai berita tersebut lalu menjadikan berita bencana
identik dengan kesedihan. Di media cetak dan online, teras berita kerap
diawali deskripsi mendetail kondisi korban bencana di pengungsian. Berita
televisi bahkan lebih gila lagi. Lewat permainan angle kamera serta iringan
musik sendu, sisi traumatis dan dramatis bencana dijadikan semakin kuat.
Korban lantas digambarkan hanya sebagai sosok yang tak berdaya. Coba saja
perhatikan berita televisi, judul yang dipakai sering mengandung kata
”nestapa” ataupun ”derita”. Yang kemudian judul tersebut dilanggengkan dengan
pertanyaan reporter seputar ”bagaimana perasaan Anda?”.
Ini miris. Sedih kala menghadapi musibah adalah keniscayaan. Namun,
perlukah kesedihan itu terus dilanggengkan? Bukankah membangun motivasi
justru lebih penting? Lagi pula, pemberitaan semacam itu hanya akan berujung
munculnya wacana bahwa pemerintah kita gagal memitigasi bencana. Yang
sayangnya, wacana tersebut kemudian dengan sendirinya kalah lewat wacana
tandingan bahwa bencana adalah takdir Tuhan yang tak dapat dihindari.
Lagi-lagi, yang perlu dipertanyakan, lalu apa? Pemberitaan semacam itu
toh tak banyak mengakomodasi kebutuhan korban bencana –selain membuat publik
bersimpati dan berdonasi lewat wadah donatur yang ”secara ajaib” disediakan
televisi itu sendiri. Selama ini kita selalu menggaungkan idiom Jas Merah,
Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah. Namun faktanya, kita cepat melupakan
bencana. Setelah menghegemoni publik lewat berita bencana yang sarat
kesedihan, dogma ”berita ini sudah tidak seksi lagi” kemudian membuat kita
tak peduli dengan hal-hal pascabencana. Tak menaruh perhatian dengan
rehabilitasi seusai bencana serta apa yang perlu dipersiapkan dalam
menghadapi bencana di kemudian hari. Padahal, hal semacam inilah yang
sebenarnya penting.
Bangun
Resiliensi
Jepang mungkin bisa menjadi kiblat kita perihal jurnalisme bencana.
Berbeda dengan di sini, menampilkan korban bencana justru merupakan aib bagi
orang Jepang. Berita-berita bencananya miskin drama. Mereka lebih fokus untuk
terus berpikir ke depan. Sisi inilah yang kita perlukan. Meski memang
jurnalisme bencana Jepang juga tak lepas dari kritik. Jurnalisme mereka
cenderung bersifat sunshine journalism, yang memberitakan ”baik-baiknya saja”
dan menutupi fakta-fakta negatif yang juga perlu diketahui publik. Namun,
sisi membangun resiliensi itu yang perlu ditiru media kita.
Seharusnya, setelah menyatakan premis mengenai dahsyatnya bencana yang
terjadi, penting pula disampaikan, menjadi korban bencana bukan akhir dunia.
Media harus mampu membuat berita yang tidak membuat publik takut dan lari
dari bencana. Seperti yang ditulis dalam buku Disaster Through A Different
Lens terbitan United Nations, journalists do more than just break the news.
Media perlu mengajak publik mengenal bencana dan belajar darinya. Jadikan
ruang diskusi terkait bencana yang biasanya berat menjadi lebih populer.
Bukan sekadar menanyakan bagaimana perasaan Anda, bagaimana kondisi di
pengungsian, atau apakah Anda memiliki firasat sebelumnya.
Jurnalis yang diterjunkan ke tanah bencana harus berbekal amunisi
perihal kondisi daerah bencana sehingga tak gelagapan dalam membuat berita.
Jurnalis juga harus paham situasi sosial-budaya daerah tersebut sehingga tahu
perlakuan yang diperlukan untuk meningkatkan resiliensi masyarakatnya.
Sebagai suatu industri, sah-sah saja bila media, terutama media
televisi, mengutamakan berita yang berpotensi rating-nya tinggi. Namun, pola pemberitaan
bencana selama ini tetap perlu diubah. Sebab, sebagai the first, the most
important, bahkan kadang the only one
information, media yang akan membentuk pengetahuan publik tentang
bencana. Agar di masa mendatang kita lebih siap dan sigap dalam menghadapi
bencana. Agar ke depannya kita tak sekadar menjadi generasi ”saya turut
prihatin” atau ”bukan urusan saya” setiap kali bencana terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar