Teologi
Kepahlawanan
Fathorrahman Ghufron ; Dosen Sosiologi Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga; A’wan Syuriyah PWNU Yogyakarta
|
KOMPAS,
10 November 2014
TANGGAL 10 November adalah simbol historis kepahlawanan yang
pernah digelorakan 69 tahun lalu. Bung Tomo yang menjadi ikon perlawanan
terhadap penjajah di Surabaya tercatat sebagai inspirator perjuangan dan
pengorbanan rakyat kala itu. Secara simultan, satu dengan yang lain membentuk
ukhuwah wathaniyah, bergerak dalam
barisan terdepan menghalang setiap upaya penjajah yang ingin menguasai Tanah
Air yang sudah dideklarasikan kemerdekaannya.
Untuk mengenang jasa Bung Tomo dan yang lain, rakyat Indonesia
menggelar ritus perayaan yang penuh semarak. Berbagai kegiatan bernuansa
”kepahlawanan” telah disiapkan jauh hari dengan aneka rupa. Bahkan, bingkai
kepahlawanan dipersonifikasi pada wujud benda dan rangka yang dihormati
sebagai ekspresi balas jasa. Itulah kita yang penuh rela meluangkan waktu dan
ruang untuk merefleksikan salah satu bagian penting dari sejarah perjalanan
kebangsaan dan keindonesiaan berupa hari pahlawan.
Namun, cukupkah simbol kepahlawanan itu berhenti pada seremonial
belaka? Di sinilah tanggung jawab kita semua untuk menghidupkan semangat
kepahlawanan dalam konteks yang berkelanjutan. Hal ini supaya perjuangan dan
pengorbanan mereka tidak hanya dikenang sebagai jasa yang pasif, tetapi
menjadi jasa yang aktif (perbuatan baik yang mengalir/amal jariyah) yang bisa
mendulang pelipatgandaan pahala yang Tuhan berikan kepada mereka.
Dalam kaitan ini, peran kepahlawanan mereka termanifestasi dalam
gerakan perjuangan plus pengorbanan. Mereka berjuang tidak hanya pada level
niat, perencanaan, dan pelaksanaan secara naluriah semata, tetapi pada
pengorbanan jiwa dan raga yang dihibahkan untuk Tanah Air. Sebab, bagi
mereka, membela Tanah Air adalah sebagian dari iman (hubbul wathan min al iman). Lalu, bagaimanakah memanifestasikan
iman dalam konteks kemanusiaan dan keindonesiaan?
Jihad kemanusiaan
Konsep keimanan yang disematkan Bung Tomo tidak hanya berhenti
pada level theomorfis-eskatologis, tetapi beranjak pula pada level
anthromorfis-liberatif. Iman menjadi komitmen pembebasan dari belenggu
penjajah. Maka, semangat jihad yang mereka kobarkan dan didukung oleh gerakan
resolusi jihad yang didengungkan oleh KH Hasyim Asy’ari berjalin kelindan
dalam ruang gerak yang konsolidatif.
Bahkan, gerakan ini menjadi patriotisme umat—meminjam istilah
Mohamed Talbi—yang menginterkoneksikan semua latar belakang kalangan. Sebab,
negara Indonesia yang saat itu ingin meneguhkan kembali identitas
kemerdekaannya butuh kehadiran bangsa patriotik yang terdiri atas beragam
umat beragama, etnik, ras, dan lainnya.
Untuk menggerakkan solidaritas bersama, tentu simpul
penggeraknya adalah jihad kemanusiaan. Ia menjadi sebuah raison d’etre
mengapa perlawanan terhadap penjajah harus dilakukan. Bahkan, membentuk
negara yang aman (darus salam) menjadi tujuan bersama yang tidak disekat oleh
batasan ideologis. Dengan demikian, antara satu dan yang lain tidak segan
untuk berkorban dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang utuh hingga
titik darah penghabisan.
Semangat kemanusiaan yang menjadi pemandu setiap gerakan
perjuangan mereka perlu ditransformasi dalam kehidupan kita saat ini agar
penjajahan dalam bentuk yang berbeda bisa ditanggulangi dan diatasi bersama.
Sebab, salah satu tantangan terberat kita saat ini adalah menguatnya
egosentrisme kelompok yang dikungkung oleh solidaritas mekanik—meminjam
istilah Emile Durkheim—berpola in group.
Oleh karena itu, wajar apabila problem kemiskinan, kebodohan,
dan keterbelakangan masih berserak dan hanya disikapi secara lokal-parokial
oleh komponen sepihak. Padahal, masyarakat selalu berhadapan dengan jebakan
ketidakberdayaan—meminjam istilah Robert Chambers—yang dibuat oleh despotisme
kekuasaan yang terstruktur, sistemik, dan masif.
Maka, untuk membangun semangat kemanusiaan yang interkonektif,
perlu merekonstruksi pemahaman keimanan yang berafiliasi kepada jibaku
kepahlawanan yang netral-universal. Hal ini supaya setiap elemen bangsa bisa
meluangkan dan menuangkan energinya secara bersama dengan kondisi mental yang
simbiosis-mutualis dan saling memiliki. Pemahaman keimanan yang menumbuhkan
komitmen bersama untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara di
Republik Indonesia yang beragam melalui nilai-nilai Pancasila.
Iman yang membebaskan
Menurut almarhum Nurcholish Madjid dalam buku Islam Doktrin dan
Peradaban, iman adalah sarana untuk melakukan emansipasi harkat kemanusiaan.
Sebab, secara asasi iman adalah upaya memberikan keamanan dan kesentosaan.
Iman tak hanya bermakna percaya, tetapi ia berfungsi sebagai sarana
pembebasan diri dari ketergantungan, kesewenang-wenangan, intimidasi, dan
lain semacamnya. Maka, iman menjadi modal dasar untuk membentuk persepsi kita
tentang epos kepahlawanan.
Epos kepahlawanan adalah kehendak bersama untuk berjuang dan
berkorban demi terwujudnya keamanan dan kesentosaan. Kondisi masyarakat yang
saat ini berada dalam belenggu keterbatasan dan tekanan sosial perlu disikapi
dan diatasi melalui cara pandang keimanan yang membebaskan. Ini supaya dalam
benak kita tidak terganggu oleh paham parokialisme yang hanya mengedepankan
penyelamatan kelompoknya atas nama agama dan etnik tertentu, sementara yang liyan (the other) dibiarkan telantar lantaran berbeda keyakinan
ideologis dan lain semacamnya.
Sejatinya iman yang bersemai dalam diri kita—merujuk pemikiran
Gustavo Guetierrez dalam buku Teologi
Pembebasan—perlu dimanifestasi sebagai gerakan pembebasan rakyat dari
belenggu keterbelakangan dan ketidakberdayaan supaya keimanan kita menjadi
rahmat bagi yang lain. Dengan demikian, upaya kita akan melahirkan amal
jariyah yang akan terus mengalir, bahkan menjadi ladang investasi kebaikan di
hadapan Tuhan.
Dalam kaitan ini, kehadiran Bung Tomo dan pejuang lainnya dalam
simbol historis kepahlawanan adalah sosok yang berupaya mengimplementasikan
nilai-nilai keimanan yang membebaskan. Dalam laku perjuangan dan
pengorbanannya memuat ajaran kemanusiaan yang berkeadaban dan kemaslahatan
yang menjunjung tinggi keadilan. Nilai-nilai keimanan yang melandasi asas
keagamaan tidak hanya diimplementasikan pada wilayah ritus ibadah, tetapi
diletakkan pula pada spirit besar dalam membangun kehidupan berbangsa dan
bernegara yang lebih baik.
Dalam konteks kekinian, lesson
learned yang perlu disematkan dalam sanubari kita adalah bagaimana
semangat kepahlawanan yang pernah digelorakan para pahlawan untuk membebaskan
Tanah Air dari penjajahan perlu direvitalisasi dan direaktualisasi sebagai
cara untuk membebaskan masyarakat dari mata rantai pembodohan, memperdayai,
dan menyeret dalam ruang adu tanding kelompok kepentingan yang berdampak
koyaknya semangat nasionalisme.
Kekuasaan yang berada di wilayah eksekutif, legislatif, dan
yudikatif harus dijadikan sebagai sarana eksplorasi semangat kepahlawanan
yang kontekstual dalam memperjuangkan nasib rakyat dan mengorbankan nasib
diri sendiri untuk kebaikan bersama. Dengan demikian, wujud membela Tanah Air
sebagaimana yang pernah ditunjukkan pahlawan pada masa lalu dapat kita
implementasikan secara berkelanjutan demi tercapainya cita-cita bersama
menuju Indonesia yang lebih hebat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar