Pahlawan
L Wilardjo ; Fisikawan
|
KOMPAS,
10 November 2014
SEPERTI asli yang berasal
dari kata asal ditambah akhiran -i, pahlawan ialah pahala + -wan, yakni orang
yang pantas mendapat pahala. Yang menilai kepantasannya untuk memperoleh
pahala ialah bangsa kepada siapa tindakan kepahlawanan yang tulus dan tanpa
pamrih tersebut diabdikan. Pahlawan sejati tidak minta pengakuan dan tidak
mengharap imbalan apa pun. Sebaliknya, mungkin saja ada orang yang secara
resmi ditetapkan menjadi pahlawan dengan keputusan presiden, tetapi di mata
bangsanya tidak layak memperoleh penghormatan setinggi itu.
Penghargaan sebagai pahlawan dapat diberikan bukan oleh
bangsanya sendiri. Douwes Dekker Multatuli, pembela rakyat Lebak, Banten,
bisa kita anggap pahlawan. Marquis de Lafayette, revolusioner Perancis, di
mata bangsa Amerika Serikat terlihat sebagai pahlawan.
Maya dan nyata
Di dunia pewayangan, Abimanyu adalah seorang pahlawan muda
pembela bangsa. Sampai Bharatayudha berkecamuk beberapa hari, ia masih
diasingkan di tempat yang aman dan nyaman, di Keraton Wirata, bersama istri
mudanya, Dewi Utari. Jiwa kesatria Abimanyu resah sebab ia tahu bahwa putra
pepunden dan saudara-saudaranya tengah menyabung nyawa di medan laga
Kurusetra.
Maka, alangkah senang ia ketika dijemput sepupunya, Gatotkaca,
dan diperintahkan oleh Prabu Puntadewa untuk maju perang. Situasi di kancah
pertempuran sangat gawat. Pihak Pandawa terkepung oleh Kurawa yang dipimpin
senapatinya, Begawan Durna. Prabu Puntadewa terancam akan segera tertangkap,
atau bahkan gugur. Padahal, andalan Pandawa, yakni Arjuna dan Bima, teperdaya
siasat Durna sehingga terpancing mengejar lawannya sampai jauh dari kancah
laga Kurusetra.
Abimanyu tanpa ragu terus maju, membedah jepitan bala tentara
Kurawa. Luka-luka di sekujur tubuhnya tak ia hiraukan. Ia tahu bahwa akan
”dimakan” sumpahnya sendiri. Untuk mempersunting Dewi Utari, pembawa wiji
raja, ia bersumpah mau mati dikerocok senjata dalam Bharatayudha, kalau ia
sudah beristri. Padahal, ia sudah menikahi Dewi Siti Sundari, putri Prabu
Batara Kresna, di Dwarawati. Akhirnya kepungan Kurawa dapat dipecahkan
meskipun Abimanyu akhirnya gugur sebagai pahlawan kusuma bangsa.
Di dunia nyata, kepahlawanan ala Abimanyu kita lihat pada
Komodor Yos Soedarso yang gugur dalam pertempuran di Laut Aru. Seperti
Abimanyu, Yos Soedarso juga menghadapi musuh yang jauh lebih kuat. Dalam hal
peralatan militer, armada kecil yang dikomandoinya dari KRI Macan Tutul tidak
sebanding dengan AL Belanda dibantu pesawat-pesawat tempur dari Lanud Biak
atau kapal induk Karel Doorman.
Seperti Abimanyu pula, Yos Soedarso dengan gagah berani terus
maju, sampai ajal menjemputnya. Berbeda dengan Abimanyu, Yos Soedarso tidak
berhasil memorak-porandakan musuh. Namun, Belanda dan bahkan dunia menjadi
sadar bahwa Indonesia tidak main-main dalam tekadnya untuk membawa Papua ke
dalam ribaan Ibu Pertiwi. Yos Soedarso menjadi pahlawan. Ia dianugerahi
kenaikan pangkat luar biasa atas jasanya bertindak melebihi panggilan
tugasnya, menjadi laksamana madya (anumerta), karena komodor di ALRI itu
sekarang disebut laksamana pertama.
Pejuang tanpa perang
Tokoh pejuang pemberani tidak harus gugur di medan perang untuk
menjadi pahlawan. Jenderal Robert Edward Lee, komandan tentara ”Abu-abu”
Konfederasi Selatan dalam ”Perang Budak” di Amerika, tidak gugur dalam perang
saudara melawan tentara ”Biru” dari Uni Utara. Namun, kepahlawanannya diakui,
bukan saja pihak Selatan, melainkan juga oleh pihak Utara. Ia dinilai sejajar
dengan Jenderal Ulysses S Grant, Komandan Tentara Biru yang kemudian menjadi
Presiden Amerika selama dua periode (1869-1877).
RA Kartini juga bukan laskar srikandi yang gugur di medan bakti.
Namun, perjuangannya dalam emansipasi wanita menjadikannya pantas kita sebut
sebagai pahlawan. Marianne Katoppo, teologiwati-cum-feminis yang fasih
berbicara dalam beberapa bahasa (termasuk bahasa Swahili), terkesan
mengecilkan jasa RA Kartini. Alasannya, karena Kartini mau dimadu, menjadi
selir Bupati Rembang. Namun, menurut Hadi Waratama,
rekayasawan-cum-filologiwan (ITB), Marianne Katoppo sebagai orang Minahasa
tidak memahami adat kebiasaan priayi Jawa. Kartini terpaksa menolak beasiswa
untuk belajar di Negeri Belanda sebab pada waktu itu ia sudah beranjak remaja
putri yang harus dipingit. Ia mau menjadi selir saking hormatnya kepada
ayahandanya, yang menjodohkannya dengan Bupati Rembang.
Pahlawan-pecundang?
Apakah Marsinah pahlawan? Pahlawan pejuang buruh? Bagaimana Wiji
Thukul, yang puisi-puisi dan aksi demonya ikut mengobarkan reformasi? Juga
Munir, yang konon disuguhi ”madu” dalam perjalanannya ke Negeri Belanda? Di
mata orang-orang Indonesia yang pro demokrasi dan keadilan, barangkali mereka
adalah pahlawan.
Lalu, Bung Karmo (BK) itu pahlawan atau bukan? Resminya RI-1 itu
bukan pahlawan nasional, melainkan proklamator. Bahkan BK tidak beristirahat
dengan damai di TMP Kalibata. Konon keinginan keluarganya agar BK dimakamkan
di Batutulis, sesuai dengan wasiatnya, tak terkabul. Di hari-hari
terakhirnya, dalam keadaan sakit, BK terisolasi. Mungkin itu bagian dari,
yang oleh sementara orang dijuluki, ”kudeta merangkak”.
Kita masih menunggu untuk melihat bagaimana sikap RI-1 ke-7
terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu. Apakah ”maafkan
dan lupakan” (forgive dan forget) dan ”yang sudah ya sudah” (let bygones be bygones)? Ataukah
pengemban amanat ”Trisakti” itu juga akan berpegang pada petuah ”jas merah”?
Menggelar pengadilan HAM bagi sementara pihak bagaikan
menggosokkan garam di luka lama. Namun, dengan membiarkan saja pelanggaran
HAM itu selama belasan, likuran, dan bahkan puluhan tahun berarti kita hanya
berpura-pura mengugemi sila kedua Pancasila. Bagaimana resolusi dari dilema
ini?
Semoga Presiden Joko Widodo mengambil jalan tengah sehingga tak
ada pihak yang kalah. Selesaikan perkaranya seadil-adilnya sampai tuntas,
lalu maafkan mereka yang bersalah atas nama rakyat. Bukankah ada hak grasi
dan amnesti di tangannya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar