Sinergi
Lingkungan-Kehutanan
Laode M Syarif ; Senior Adviser
on Justice and Environmental Governance di Kemitraan
|
KOMPAS,
10 November 2014
SALAH satu kementerian Kabinet Kerja yang banyak disorot
masyarakat adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kementerian ini
merupakan penggabungan dari Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan
Hidup (KLH). By design, kedua kementerian memiliki portofolio berbeda.
Kewenangan Kemenhut sebagaimana tercantum dalam UU No 41/1999 tentang
Kehutanan: (i) mengatur hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (ii)
menetapkan status kawasan hutan, dan (iii) menetapkan hubungan hukum antara
orang dan hutan (Pasal 4). Sementara portofolio utama KLH tercantum dalam
Pasal 4 UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
meliputi: (i) perencanaan, (ii) pemanfaatan, (iii) pengendalian, (iv)
pemeliharaan, (v) pengawasan, serta (vi) penegakan hukum dalam perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
Berdasarkan portofolio dan desain awal kedua kementerian, gaya
dan tata kerja kedua kementerian selalu tak sama karena fokus mereka berbeda.
Kemenhut dominan mengatur ”pemanfaatan hutan”, sedangkan KLH lebih fokus pada
perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup. Cakupan Kemenhut juga terbatas
pada isu hutan dan kegiatan yang dilakukan dalam hutan, sedangkan cakupan KLH
lebih luas, menjangkau hutan, tambang, laut, sungai, udara, bahkan industri
dan seluruh pencemaran yang timbul dari kegiatan manusia. Perbedaan ini jika
dianalogikan dengan motor, Kemenhut adalah ”gas”, sedangkan KLH ”setir dan
rem” yang menetapkan arah dan rambu-rambu yang tak dapat dilanggar. Oleh
karena itu, banyak pengamat dan praktisi berpendapat kedua kementerian ini
tidak dapat disatukan.
Namun, tak berarti keduanya tak memiliki ”titik taut” satu sama
lain. Kemenhut sejak awal juga dibentuk untuk memastikan bahwa dalam
”pemanfaatan hutan dan hasil hutan” harus memperhatikan aneka fungsi hutan,
seperti fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi, untuk
mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan
lestari. Semua itu sangat erat korelasinya dengan fungsi yang dikerjakan oleh
KLH walaupun konteksnya melampaui isu hutan (beyond forestry).
Titik taut lain adalah dalam memastikan penaatan (compliance) atas aturan dan standar
lingkungan yang telah ditetapkan dalam regulasi. Kemenhut berkewajiban
memastikan semua pemegang izin usaha sektor kehutanan menjalankan semua
persyaratan izin serta wajib melakukan penegakan hukum pada pemegang izin dan
masyarakat yang merusak kawasan hutan. Kewenangan ini juga dimiliki KLH,
bahkan Kemenhut dan KLH dalam kerangka hukum yang ada sekarang dapat bekerja
sama dalam penegakan hukum kehutanan dan lingkungan. Contoh, dalam kasus
pembakaran hutan dan penebangan liar, kedua instansi seharusnya bekerja sama
dalam penegakan hukumnya meski selama ini tak akur dalam menjalankan fungsi
penegakan hukum ini.
Titik taut ini dapat jadi modal awal bekerja sama dalam format
kabinet sekarang. Penggabungan diharapkan juga bisa menghilangkan ego
sektoral yang selama ini banyak dikeluhkan, sekaligus mengefektifkan
pengawasan perizinan dan penegakan hukum di Kemenhut.
Kekhawatiran
Terlepas dari adanya ”titik taut”, banyak pengamat dan praktisi
mengkhawatirkan manfaat penggabungan. Hal ini terkait belum adanya kerangka
hukum yang akan dipakai sebagai landasan kerja kementerian baru ini.
Ketiadaan landasan hukum menyebabkan kementerian baru bekerja dengan dua landasan
hukum (dualisme) berbeda, yakni UU Kehutanan serta UU Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Oleh karena itu, menteri yang baru harus
”menyatupadukan” fokus utama kementerian baru ini. Para aktivis lingkungan
sangat khawatir kementerian ini tidak melakukan ”merger”, tetapi ”akuisisi”
atau mengambil alih.
Sangat ditakutkan jika Kemenhut ”mengakuisisi” KLH karena baik
dari segi kelembagaan maupun SDM, Kemenhut secara tradisional dianggap lebih
kuat dibandingkan dengan KLH. Ketakutan itu cukup beralasan karena selama ini
kejahatan-kejahatan di sektor kehutanan hampir tidak pernah dapat disentuh
oleh KLH, bahkan oleh kepolisian sekalipun.
Kekhawatiran berikutnya, soal struktur dan postur kementerian
yang baru karena tak mungkin mempertahankan postur kementerian dan pembagian
direktorat yang ada sekarang sehingga menteri yang baru saja dilantik
langsung dihadapkan pada permasalahan strukturisasi kementerian dibandingkan
dengan menangani isu-isu penting yang dihadapi pada dua kementerian sebelumnya.
Kondisi ini dipastikan akan memakan waktu lama sebelum sang menteri bisa
berlari cepat sebagaimana dikehendaki Presiden Jokowi. Para pengamat juga
khawatir karena menteri baru hampir tak pernah bersentuhan langsung dengan
kedua kementerian sehingga butuh waktu untuk memahami ”semak belukar” dua
kementerian yang baru ”kawin paksa” ini.
Hanya sedikit negara di dunia yang menggabungkan KLH dan
Kemenhut karena pertimbangan fokus dan portofolio yang berbeda tadi. Dalam
usulan postur kabinet JKW-JK, yang banyak diusulkan civil society organisations (CSO) adalah pembentukan kementerian
koordinator lingkungan dan sumber daya alam (SDA), yang membawahkan
kementerian lingkungan, kehutanan, pertanian, energi dan sumber daya mineral,
serta kelautan dan perikanan. Sejumlah pihak mengusulkan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam sebagaimana dikenal di Filipina dan
Kenya. Usulan-usulan itu dilandasi pemikiran bahwa perlindungan lingkungan
dan pengelolaan SDA harus dilihat secara holistik sehingga kebijakan dan
kementeriannya pun harus terintegrasi dengan baik. Perkawinan KLH-Kemenhut
banyak dianggap sebagai perkawinan ”setengah hati” karena dianggap tak akan
menyelesaikan permasalahan lingkungan dan SDA di Indonesia.
Sinkronisasi dan perbaikan
Mengingat ”kawin paksa” telah terjadi, menteri sebaiknya segera
melakukan hal berikut pada 100 hari kepemimpinannya: (i) Menentukan filosofi
dasar dan visi-misi kementerian. Ini seharusnya tak sulit karena tinggal
menyinkronkan titik taut kedua kementerian. Sesuai namanya, kementerian ini
harus mengedepankan perlindungan lingkungan dibandingkan dengan pemanfaatan
dan eksploitasi sumber daya hutan. Pesan harus jelas: eksploitasi sumber daya
hutan hanya bisa dilakukan jika tak merusak/merugikan kelangsungan ekosistem
hutan dan lingkungan.
(ii) Filosofi dasar itu kemudian diterjemahkan dalam struktur
kementerian dengan titik fokus yang seimbang antara fungsi perlindungan dan
fungsi pemanfaatan agar kedua belah pihak merasa tak ”dianaktirikan’ dalam
struktur yang baru. Struktur baru ini harus mengikuti fungsi dan tak dibuat
hanya untuk mengakomodasi para pejabat dari Kemenhut dan KLH. Struktur
diharapkan solid dan ramping agar lebih efektif dalam bergerak.
(iii) Menata kembali sistem perizinan dan pengelolaan uang yang
masuk dari pemanfaatan sumber daya hutan yang menurut KPK jadi sarang korupsi
dan manipulasi yang mengakar. Sistem baru harus dibuat untuk mencegah
kebocoran dan transparan agar dapat dipantau semua pemangku kepentingan.
Kriteria perizinan pemanfaatan sumber daya hutan harus memperhatikan kriteria
lingkungan yang ketat agar kerusakan hutan bisa ditekan semaksimal mungkin.
(iv) Menata dan memperbaiki hubungan dengan kementerian dan
lembaga, khususnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN yang baru
saja dibentuk, karena pihak-pihak ini akan banyak bersinggungan, khususnya
dalam penentuan status dan fungsi kawasan. Menteri yang baru harus segera
membuka komunikasi dengan provinsi dan kabupaten/kota agar hubungan yang
kurang harmonis selama ini bisa diperbaiki sedikit demi sedikit.
(vi) Meningkatkan upaya penegakan hukum yang saksama dan tanpa
pandang bulu bagi pelaku kejahatan lingkungan dan kehutanan, khususnya bagi
pembakar hutan gambut. Ini bisa dilakukan dengan menyatukan divisi penegak
hukum di dua kementerian agar solid dan efektif dalam memberantas kejahatan
lingkungan dan kehutanan. Semua upaya itu tak dapat dikerjakan sendiri oleh
kementerian ini, tanpa melibatkan pemangku kepentingan lain, khususnya CSO
dan pelaku usaha sektor kehutanan dan lingkungan. Menteri harus membuka hati
dan pintu kementeriannya agar mendapat masukan yang berarti bagi perlindungan
lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya hutan yang lestari pada masa mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar