Setelah
Tessy, Siapa Lagi?
Livy Laurens ; Pengamat
Seni-Budaya
|
JAWA
POS, 31 Oktober 2014
UNTUK kali kesekian artis tersandung kasus narkoba. Kali ini
komedian terkenal Kabul Basuki alias Tessy (66) ditangkap setelah mengonsumsi
sabu di rumahnya. Yang memprihatinkan, setelah tertangkap itu, pelawak
Srimulat tersebut sempat berusaha bunuh diri dengan menenggak cairan
pembersih lantai. Untung, jiwanya masih bisa diselamatkan.
Dalam sebuah wawancara di televisi, pelawak Tarzan yang menjadi
kawan lama Tessy sangat menyayangkan terjadinya kasus itu. Tentu saja semua
pencinta dunia hiburan di negeri ini turut prihatin. Namun, mengapa para
artis silih berganti berjatuhan dalam godaan narkoba?
Mental yang Rentan
Reputasi para artis memang membuat mereka dipuja-puji. Para fans
pun bisa tergila-gila. Tetapi, ada yang publik tidak lihat di balik semua
pencapaian itu. Sesungguhnya mereka adalah para pekerja yang karena kerasnya
dunia kerja yang digelutinya, stres dan berbagai masalah kejiwaan sering
menggerogoti. Maka, tak heran jika tekanan tersebut membuat mereka terjatuh
dalam berbagai perilaku buruk, mulai narkoba sampai seks bebas, bahkan
kriminalitas.
Pekerjaan di dunia hiburan (entertainment)
pada dasarnya sangat berat dan penuh persaingan yang sangat sengit. Penyanyi,
misalnya, harus menghafal lirik, mengolah vokal, menjaga stamina, melatih stage act, dan seterusnya. Pesinetron
dituntut untuk mempelajari skenario, menguasai karakter yang diperankan,
menjaga penampilan, dan seterusnya. Belum lagi energinya terkuras untuk
syuting, berhari-hari, siang, dan malam. Dengan demikian, meski pendapatannya
besar, biaya psikologisnya jauh lebih besar.
Eric Maisel (2007) meneliti kelemahan-kelemahan para selebriti.
Artis bisa melakukan kompensasi tidak benar manakala mengalami the bursting-balloon syndrome, yaitu
ketakutan karena menjadi komoditas yang rentan yang mudah hancur mendadak
saat di puncak sukses. Sebab, dalam dunia musik, misalnya, bisa saja penyanyi
top tiba-tiba tidak laku atau tergilas pendatang baru. Sementara itu, banyak
artis menyalahgunakan kekuasaan dan kekayaan saat ngetop.
Kondisi mental para artis sering tidak stabil. Menurut
penelitian di AS, 30 sampai 50 persen artis dirundung depresi yang buruk.
Menurut riset Dr Samuel Junus, 55 persen komedian adalah orang-orang yang
mengalami depresi. Menurut riset Dr Nancy Andreanson, 88 persen sastrawan
mencari terapi karena kelainan mood. Bahkan, 2 di antara 30 mereka ingin
bunuh diri. Menurut riset Dr Kay Jamison, ada 38 persen artis di Inggris yang
mengalami gangguan mental, sedangkan masyarakat nonartis yang mengalami
penderitaan serupa hanya 2 persen. Beethoven, Rossini, dan Robert Schumann
adalah para musisi yang hidupnya penuh depresi. Beberapa masalah kejiwaan itu
sering diderita para artis: manic
(sakit mental), depresi, pseudo-euphoria,
mudah tersinggung, grandiosity,
insomnia (tak bisa tidur), racing
mind (pikiran berubah), halusinasi, dan delusi.
Revolusi Mental Artis
Kasus Tessy mengingatkan kita pada kasus-kasus artis lain yang
terjerat narkoba. Ingatan kita tentang kasus aktor Roy Marten juga belum
hilang. Vokalis Sammy (Hendra Samuel Simorangkir) dari grup musik Kerispatih
ternyata juga pernah tersandung kasus narkoba. Penyanyi yang lagi naik daun
itu, yang sempat memoulerkan lagu gubahan mantan Presiden SBY berjudul Kawan,
terpaksa berurusan dengan yang berwajib karena tertangkap basah mengonsumsi
sabu-sabu.
Pergaulan metropolis dan gemerlapnya kehidupan selebriti yang
penuh godaan sering menjadi penyebab terjerumusnya artis dalam dunia gelap
narkoba. Menurut hasil riset Universitas Indonesia dan Badan Narkotika
Nasional (2004), faktanya sungguh mengerikan. Kebutuhan pemakai narkoba per
bulan untuk konsumsi ekstasi dan sejenisnya di sepuluh kota metropolitan di
Indonesia mencapai 1,7 ton. Untuk konsumsi kokain dan sejenisnya, dibutuhkan
0,5 ton. Adapun omzet peredaran narkoba dalam setahun bisa mencapai Rp 12
triliun sampai Rp 20 triliun.
Presiden Jokowi sebenarnya menaruh perhatian besar pada
perkembangan industri kreatif yang termasuk di dalamnya adalah industri
hiburan. Saat kampanye, Jokowi yang pencinta musik rock itu berjanji
memberikan dukungan untuk kemajuan industri kreatif di tanah air.
Namun, kasus Tessy dan serentetan kasus serupa membuat kita
sadar bahwa industri kreatif di bidang entertainment merupakan bentuk
kehidupan yang rentan. Pasalnya, kebudayaan populer (pop culture) yang mewadahinya merupakan jenis kebudayaan yang
tidak mengusung nilai-nilai filosofis yang mendalam. Orientasi hidup para
artis menjadi bebas nilai sehingga etika dan moral terkadang dikesampingkan.
Akibatnya, perilaku-perilaku deviasi sering terjadi.
Semoga kasus Tessy menjadi yang terakhir. Saatnya sekarang dunia
hiburan dan dunia artis Indonesia melakukan revolusi mental. Kita membutuhkan
para artis yang kreatif di bidangnya, namun punya visi, integritas, etika,
dan moralitas yang unggul. Para artis dengan kualitas seperti itu akan
menjadi agen-agen perubahan. Pun ketika terjun di dunia politik, mereka siap
menjadi para pemimpin kelas negarawan yang hebat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar