Contempt
of Parliament di DPR
Samsul Wahidin ; Guru
Besar Hukum Tata Negara Unmer Malang
|
JAWA
POS, 31 Oktober 2014
PARA ahli hukum tata negara
(HTN) terhenyak dengan pembentukan pimpinan DPR tandingan yang baru saja
dilakukan oleh KIH (Koalisi Indonesia Hebat). Bahwa HTN memang bersifat
normatif dalam arti ketika sebuah peristiwa hukum dalam ketatanegaraan
terjadi, seharusnya ada landasan hukum yang kukuh, tidak multitafsir.
Pembentukan pimpinan tandingan
itu tidak memiliki landasan hukum. Apalagi, ketika pembentukan pimpinan dewan
itu, KIH yang berhadapan dengan KMP (Koalisi Merah Putih). Dua koalisi sarat
kepentingan golongan tersebut menunjukkan terjadinya tarik ulur kekuasaan yang
tidak didasarkan pada logika yang benar. Bagaimana tidak, ketika pemilihan
pimpinan DPR dan MPR telah dilakukan melalui proses yang benar serta KIH
menerima hasil pemilihan tersebut tanpa protes, artinya pimpinan DPR yang
sudah ada itu konstitusional.
Menyimak pembentukan pimpinan
DPR tandingan, tindakan itu diawali dengan mosi tidak percaya kepada pimpinan
DPR yang ada. Untuk mosi tidak percaya itu saja, tidak ada dasar hukumnya. Legal
reasoning mosi tidak percaya adalah
ketika ada indikasi atau petunjuk kuat bahwa pelaksanaan tugas yang menjadi
tanggung jawab dari yang dimosi menyimpang.
Pimpinan DPR yang ada dan sudah
dilantik secara resmi baru beberapa hari berjalan. Bau minyak harum pada jas
pelantikan belum hilang. Artinya, belum ada penyimpangan. Indikasi saja tidak
ada. Jadi, dasar mosi tidak percaya atas kepemimpinan DPR yang baru saja
dilantik itu tidak ada. Pasal yang menunjukkan mosi tidak percaya internal
DPR, baik dalam UUD 1945 maupun UU tentang kelembagaan DPR pun, tidak ada.
Jadi, menurut HTN, tindakan itu inkonstitusional karena tidak ada aturannya
dan pasti menghambat kinerja dewan.
Bahwa DPR menurut HTN mempunyai
tiga fungsi utama, yaitu legislasi, pengawasan, dan anggaran, sampai saat ini
tiga fungsi itu belum berjalan sama sekali. Bahkan, pembentukan alat
kelengkapan dewan pun masih diproses dan belum final. Bagaimana ada mosi
tidak percaya yang dasarnya adalah implementasi dari kinerja? Apa yang tidak
dipercayai, wong DPR belum bekerja?
Apalagi ketika dasar
pembentukan yang menjadi refleksi dari kubu-kubuan, yang dalam bahasa politik
diperhalus menjadi koalisi itu. KIH –yang merasa bahwa kekuasaan strategis di
parlemen dikuasai KMP– ketakutan ketika nanti arah kinerja DPR yang
memproduksi UU itu tidak sejalan dengan pihak eksekutif.
Namun, itu semua
sebenarnya menurut HTN adalah perasaan. Ketakutan dan perasaan adalah sesuatu
yang bersifat maya atau semu. Tidak terukur dan tidak bisa diukur. Manakala
hal tersebut direfleksikan dalam tindakan konkret, itu adalah tindakan yang
berkualifikasi inkonstitusional.
Bahwa bahasa yang selama ini
digunakan untuk menghadapi permasalahan yang bersumber pada perasaan itu
seluruhnya bahasa politis, benar, DPR adalah lembaga politis. Namun, ketika
diaplikasikan, harus diketahui pasti bahasa politis bersifat elastis. Tidak
akan dapat ditemukan ukuran kuantitatifnya dan sulit diapresiasi berdasar
landasan hukum yang pasti. Itulah manfaat dari aturan yang memberikan jaminan
atas terjemahan yang bersifat kualitatif.
Landasan politis itu, misalnya,
pembentukan pimpinan DPR tandingan sebenarnya merupakan bentuk dari blunder
politik. Hal tersebut akan membawa akibat runyamnya Kabinet Kerja Jokowi
dalam memperoleh dukungan parlemen. Namun, blunder politik yang dimaksud
masih belum terjadi dan itu masih sebatas perasaan. Demikian pula ukuran
runyam seperti apa, juga abstrak.
Pembentukan pimpinan DPR
tandingan juga merupakan buah dari tersumbatnya komunikasi politik. Bentuk
dan akibat dari komunikasi politik yang dimaksud juga tidak bisa dicarikan
ukuran konkretnya. Ketentuan yang didasarkan pada UUD 1945 maupun UU dan
peraturan perundangan di bawahnya tidak dapat menjangkau komunikasi politik
itu serta bagaimana mengatasi blunder yang terjadi.
Pada aspek lain, dinilai bahwa
ketika ada pimpinan DPR yang berkinerja, akan melakukan monopoli kekuasaan,
yang artinya memprihatinkan bagi perkembangan demokrasi. Bagaimana bentuk
perkembangan demokrasi yang dijadikan dasar keprihatinan juga abstrak dan
tidak ada ukuran pasti. Apakah demokrasi yang selama ini berkembang nyata terhambat
dengan tidak dibentuknya pimpinan DPR tandingan, tentu dipertanyakan.
Bukankah dengan pembentukan pimpinan tandingan justru berakibat menghambat
perkembangan demokrasi?.
Gontok-gontokan yang terjadi di
DPR itu telah mengeliminasi prinsip musyawarah mufakat yang seharusnya
dijadikan dasar dalam mengelola parlemen. Sementara pengelolaan kekuasaan
yang menjadi dasar dari kinerja parlemen lebih cenderung dimaknai sebagai
proses dan pertunjukan adu kekuatan. Ketika musyawarah mufakat tidak
ditemukan dan sebagai langkah ke hilirnya dilakukan voting, itu adalah
pilihan yang secara normatif dibenarkan oleh konstitusi. Namun, itulah yang
dinilai tidak benar oleh pihak yang kalah voting.
Konkretnya, ketika hal itu
diterapkan serta pihak KIH dinyatakan dan ”merasa” kalah, mengapa refleksinya
adalah pembentukan pimpinan tandingan. Hal demikian, di samping tidak ada
dasar hukumnya, menyalahi pakem atas solusi ketika musyawarah mufakat tidak
ditemukan dan konsekuensinya harus voting.
Intinya, yang terjadi di DPR saat
ini dengan pembentukan pimpinan tandingan itu menjadi drama politik yang
inkonstitusional. Dalam bahasa HTN, tidak ada dasar hukum yang membenarkan
atau memberikan legitimasi. Sepanjang yang dapat dianalisis atas peristiwa
tersebut adalah berdasar kekuasaan yang direfleksikan pada pertunjukan
kekuatan yang tidak ada ujungnya.
Dalam pandangan HTN,
pembentukan pimpinan DPR tandingan itu dapat dikualifikasikan sebagai
pelecehan terhadap parlemen (contempt
of parliament). Pelecehan yang tidak
dipandang pada prosesnya, namun pada akibatnya.
Mengapresiasi karut-marut
demikian, seharusnya dapat diaplikasikan ketentuan tentang contempt
of parliament yang secara universal
dijadikan dasar hukum atas tindakan yang melecehkan parlemen. Istilah itu
sebenarnya dimaksudkan untuk menunjuk perilaku yang merupakan penghinaan atau
pelecehan terhadap parlemen. Pembentukan pimpinan tandingan kendatipun tidak
secara kasar merupakan penghinaan, tetapi dengan menghambat kinerja sudah
lebih berat daripada penghinaan secara kasar.
Memang secara normatif tidak
ada ukuran yang dapat dijadikan dasar untuk menilai suatu perilaku contempt
of parliament. Apalagi aturan normatif.
Namun, kekosongan pengaturan itu memberikan dampak negatif terhadap
klasifikasi perilaku untuk kategori contempt of parliament.
Logika hukumnya, DPR sebagai
institusi demokrasi yang merefleksikan kedudukan dan fungsinya sebagai pilar
legislatif dalam HTN seharusnya menjadi pilar utama dalam mengimplementasikan
nilai demokrasi. Begitu juga dalam menjalankan hubungan antara tiga pilar
pemegang kekuasaan kenegaraan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif,
DPR harus dapat berkinerja dengan baik. Apalagi, kedudukannya adalah wakil
rakyat yang dipilih secara masal, harus menjadi contoh dalam penerapan
demokrasi dengan segala implikasinya.
Tindakan pembentukan pimpinan
DPR tandingan berkualifikasi menghambat kinerja dewan. Karena itu, pelakunya
layak dikenai ketentuan yang bersumber pada etika, yaitu contempt
of parliament tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar