Insiden
Kesehatan Menteri Jokowi
Rohman Budijanto ; Wartawan
Jawa Pos
|
JAWA
POS, 30 Oktober 2014
TIDAK ada pemandangan calon-calon menteri berpiyama biru di
rumah sakit dalam pemilihan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Kali ini
tidak ada pemeriksaan fisik dan mental oleh para dokter spesialis untuk
memastikan calon menteri sehat walafiat jasmani dan rohani. Opini para dokter
di RSPAD Gatot Subroto tidak lagi menjadi bagian dari pengangkatan menteri
seperti zaman Presiden SBY.
Jokowi lebih memilih ’’kesehatan’’ integritas dalam pemilihan
menteri. Yang dimintai rekomendasi layak tidaknya menteri adalah PPATK dan
KPK. Pasal 22 ayat (2e) UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara mewajibkan
para menteri ’’memiliki integritas dan kepribadian yang baik’’.
Sebenarnya, SBY juga pernah mendapat pertimbangan KPK ketika
akan mengangkat menteri, tapi diam-diam. Itu terungkap ketika keluarga SBY
dituduh tidak taat pajak. Sembari membantah ’’dokumen’’ yang beredar, dia
mengaitkan tersiarnya kabar negatif itu dengan sosok Fuad Bawazier. Menkeu
Pak Harto itu pernah akan diangkat menjadi menteri. Tetapi, pada saat
terakhir, SBY dapat data dari KPK, kalau diangkat, akan jadi masalah besar.
Terkait dengan kesehatan, SBY pernah urung menjadikan Nila
Djuwita Moeloek sebagai menteri kesehatan dengan alasan tidak tahan tekanan
psikis, mudah stres. Lalu, diangkatlah Endang Rahayu Sedyaningsih. Sedihnya,
ketika Nila tidak diangkat karena alasan kesehatan, Menteri Endang wafat di
tengah masa tugas karena kanker paru. Selain Endang, Wakil Menteri ESDM
Widjajono Partowidagdo wafat karena sakit saat akan mendaki Gunung Tambora.
Kita boleh heran, terutama untuk sosok Menteri Endang, bagaimana
kanker berat itu tidak terdeteksi ketika pemeriksaan kesehatan sebelum
menjadi menteri? Wallahu a'lam. Kita doakan roh Endang Sedyaningsih dan
Widjajono mendapat tempat yang mulia di akhirat.
Zaman berubah. Nila Djuwita, 65, yang dulu dinyatakan tidak
lolos kesehatan kini menjadi menteri kesehatan. Dinasti Moeloek pun sukses
menjadi menteri lagi, setelah suami Nila, Farid Alfansa Moeloek, menjadi
menteri kesehatan zaman Habibie. Setelah lima tahun lalu dinyatakan ’’tak
tahan tekanan’’ dari pemeriksaan sejawatnya, apakah kini Nila lebih tahan
tekanan? Tidak bisa dipastikan.
Patut ditekankan, absennya pemeriksaan kesehatan para menteri
Joko Widodo itu boleh dikatakan kemunduran. Apalagi pasal 22 ayat (2d)
Undang-Undang No 39/2008 tentang Kementerian Negara menyebut secara eksplisit
calon menteri wajib sehat jasmani dan rohani. Untuk mengeceknya, tentu tidak
hanya dilihat wujud sosoknya, tapi diperiksa dokter dan ahli jiwa.
Ingat, prosedur pemeriksaan kesehatan seperti itu juga dilakukan
bahkan untuk level jabatan yang lebih rendah seperti saat pemilihan kepala
daerah. Prinsipnya, tidak boleh ada orang yang tidak sehat fisik dan error
dalam kejiwaan memegang jabatan publik. Efektivitas pemerintahan
dipertaruhkan. Apalagi gaya pemerintahan Jokowi –blusukan plus kerja, kerja, kerja–
menuntut stamina yang tangguh. Tahan tekanan fisik dan mental.
Presiden Jokowi tidak perlu dites kesehatan lagi setelah dites
KPU saat masih capres. Apalagi secara penampilan, Jokowi tampak sehat,
ramping, dan lincah. Wajahnya tidak pernah terlihat letih. Di media, tidak
ada fotonya yang tengah tertidur atau menguap. ’’Lari, Pak… Lari…’’ Begitu
dia memerintahkan menteri yang baru diangkat untuk maju berjajar di
sampingnya saat diumumkan Minggu (26/10).
Jokowi seperti menuntut kelincahan serupa dari para menterinya.
Meskipun, para pembantu presiden itu mungkin lebih lamban karena badan mereka
lebih mekar jika dibandingkan dengan Jokowi. Menteri yang selangsing Jokowi
paling-paling hanya Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri
BUMN Rini Soemarno, dan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri.
Pemeriksaan kesehatan menjadi penting karena belum-belum ada dua
menteri Jokowi yang tidak tahan ’’tekanan mental’’. Keinginan merokok Menteri
Susi dan Menteri Hanif Dhakiri begitu tidak terbendung sehingga keduanya
merokok tanpa memedulikan kepantasan. Susi merokok saat diwawancarai wartawan
dan Hanif merokok di kompleks istana kepresidenan sampai ditegur Paspampres.
Yang terasa kurang fair, reaksi publik kepada Susi yang merokok
lebih keras ketimbang kepada Hanif. Rupanya, bias gender sangat kentara dalam
memperlakukan pria dan perempuan perokok. Atau, mungkin saja, perempuan lebih
disayangi karena di dalam tubuhnya ada organ reproduksi tempat bersemayam
janin calon manusia. Sedangkan untuk laki-laki, risikonya (menurut bungkus
rokok), antara lain, gangguan jantung dan impotensi. Apa ruginya masyarakat
kalau ada lelaki impoten karena rokok?
Bagaimanapun, dua ’’insiden tidak sehat’’ pada awal pemerintahan
Jokowi itu layak dijadikan peringatan. Ada menteri-menteri yang berperilaku
tidak sehat. Selain dua menteri tersebut, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan
juga perokok berat, meski tidak pernah tepergok merokok di lokasi yang tidak
pantas. Bagusnya, Jonan sukses menerapkan larangan merokok di setiap gerbong
kereta dan stasiun semasa menjadi Dirut PT Kereta Api Indonesia.
Memang, belum tentu tiga menteri perokok itu yang paling tidak
sehat. Karena itulah, Presiden Jokowi tetap perlu memerintahkan pemeriksaan
kesehatan mereka. Hasilnya menjadi pegangan bagi Jokowi dan para menteri agar
mereka mewaspadai potensi gangguan tubuh dan psikisnya. Kita bisa bayangkan,
melihat gaya Jokowi dan JK yang sigap, jangan sampai ada menteri yang
mengalami ’’insiden kesehatan’’ karena tidak kuat diajak maraton ’’kerja,
kerja, kerja’’.
Selain itu, kendati ’’merokok membunuhmu’’, kita tidak bisa
melarang menteri punya kesenangan pribadi merokok, termasuk Menteri Susi. Ini
bukan lagi zaman kolot, zaman Siti Nurbaya dikawin paksa Datuk Maringgih.
Tetapi, ini zaman egaliter, zaman Siti Nurbaya yang cemerlang dan menjadi
menteri lingkungan hidup dan kehutanan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar