PR
Bidang Pendidikan
Jc Tukiman Taruna ; Wakil Ketua Dewan Pendidikan
Provinsi Jawa Tengah (2012-2016)
|
KORAN
JAKARTA, 04 November 2014
Kini, terjadi “pemisahan” antara Kementerian Kebudayaan,
Pendidikan Dasar dan Menengah dengan Kementerian Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi. Selama ini, jenjang dasar, menengah, dan tinggi sudah
menjadi nomenklatur sangat mengakar. Puluhan tahun, perhatian dunia
pendidikan lebih dipusatkan ke tema-tema berikut sebagai upaya atau atas nama
peningkatan mutu.
Perbaikan secara terus-menerus guna menjamin seluruh komponen
pendidikan mengejar standar mutu yang ditetapkan. Konsekuensinya, institusi
pendidikan selalu terdorong memperbarui proses demi tuntutan dan kebutuhan
“pelanggan”. Kemudian muncul seloroh “ganti pejabat, ganti kebijakan”.
Menentukan standar mutu dari berbagai komponen seperti kualitas
materi kurikulum, evaluasi (ujian), dan proses pembelajaran. Kemudian muncul
delapan standar nasional pendidikan (SNP). Konsekuensinya antara lain,
tercipta kompetisi (sehat dan tidak sehat) menyangkut upaya mengejar mutu,
persis seperti perusahaan mengejar sertifikat ISO. Dunia pendidikan tidak ada
bedanya dengan perusahaan.
Satuan pendidikan (sekolah) dilabeli agen perubahan kultur.
Sekolah harus berhasil membentuk budaya organisasi yang antara lain
menghargai mutu sebagai orientasi semua komponen organisasi. Dampaknya,
terjadi berbagai rekayasa guna mempertahankan dan meningkatkan mutu. Sering
kali yang diutamakan adalah rekayasa meningkatkan mutu hasil. Sementara mutu
proses diabaikan.
Proses pembelajaran dari hari ke hari sering (boleh) diabaikan,
tetapi menjelang ujian disodorkanlah “kultur” baru seperti try out, pra-ujian
silang, doa massal, termasuk dengan orang tua.
Terus mengubah organisasi, mengingat institusi pendidikan sudah
bergeser menjadi semiperusahaan. Ini membuat sekolah-sekolah berlomba
mengiklankan diri untuk merebut pasar.
Gambaran semiperusahaan membuat keeping closed to the customer.
Siswa dan mahasiswa umumnya dari “pelanggan lama” tempat kedua orang tuanya
menempuh pendidikan. Sekolah terus berupaya menjaga hubungan ini
Konsep negara-bangsa sering terganggu. HAR Tilaar dalam buku
Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi (1997) menguraikan
visi, misi, program aksi pendidikan dan pelatihan menuju 2020. Dia sangat
menekankan pentingnya pemaknaan tunggal negara bangsa dalam pengembangan
identitas bangsa Indonesia.
Ada sejumlah prasyarat seperti (a) pentingnya mentransformasi
global lewat sikap akomodatif dan memanfaatkan peluang untuk meningkatkan
kualitas hidup bangsa. Selanjutnya, (b) pentingnya mengembangkan nilai-nilai
demokrasi yang semakin memberdayakan masyarakat agar menyadari hak dan
kewajibannya sebagai warga negara.
Berikutnya, (c) terus mengembangkan nilai-nilai luhur
berbangsa-bernegara dan responsif terhadap peradaban dunia modern. Terakhir
(d) pengembangan manusia sebagai bangsa agar siap ,menghadapi pergaulan
dunia. Apakah dua kementerian pedidikan dapat mewujudkan prasyarat-prasyarat
tersebut?
Teladan
Mutiara Ki Hadjar Dewantara harus tetap digelorakan. Sejumlah
pemimpin bangsa telah berhasil mengemban amanat pendidikan ing madya mangun
karsa (terus memotivasi) dan tutwuri handayani (mendukung dari belakang).
Sayang, mereka belum ing ngarsa sung tuladha karena memberi contoh memang
tidak mudah.
Syukurlah, kebiasaan blusukan dengan semangat kerja, kerja, dan
kerja ala Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla telah dicanangkan.
Semoga memberi semangat baru pengabdian kepada bangsa dan negara. Tiga
mutiara Ki Hadjar Dewantara sebagai satu kesatuan semangat, termasuk dalam
pendidikan nasional.
Menjelang wajib belajar 12 tahun, belum diketahui menggunakan
Kurikulum 2013 (K 2013) yang masih banyak dipertanyakan. Alasannya
implementasinya terkesan mempersiapkan sebanyak mungkin “tentara upahan”
lewat berbagai pelatihan masif. Pelatihan guru-guru hanya mengejar target dan
memang perlu perubahan kurikulum.
Dengan delapan kali ganti kurikulum, pendidikan nasional
senantiasa berbasis pemerintah dan sekolah. Artinya, ada kurun tertentu
kurikulum bukan saja ditentukan pemerintah, namun juga demi mengabdi
kepentingan pemerintah. Pada bagian lain, ada kurikulum ditentukan satuan
pendidikan masing-masing.
Kurikulum pemerintah menjawab rasa ingin tahu siswa dengan serba
otoriter. Maka dianggap wajar ketika segala aturan, indikator ketercapaian
dan lain-lain ditentukan pemerintah.
Rencana penerapan wajar 12 tahun, kurikulumnya perlu jelas, ikut
model pemerintah atau sekolah? Apabila dipakai K 2013, siapkah diubah bandul
pendulumnya?
Pekerjaan Rumah
Program wajar dikdas sembilan tahun masih menyisakan beberapa
pekerjaan rumah (PR). Di antaranya, menyangkut 300.000 anak (dari 30 juta
anak jenjang SD/MI), dan 180.000 anak (dari 12 juta murid SMP/MTs) putus
sekolah. Jadi, dari 42 juta anak usia 7-15, sekurangnya ada 480.000 atau 1,14
persen yang putus sekolah.
Kemudian, siswa SD/MI putus sekolah, terutama di kelas II dan
III. Sebesar 60 persennya membantu bekerja orangtua. Lalu target partisipasi
murni (APM) SD/SDLB/MI/ dan Paket A sebesar 95,75 persen (2012). Target tahun
lalu sebesar 95,8 persen , dan tahun ini 96 persen.
APM untuk tingkat SMP/SMPLB/MTs/ dan Paket B sebesar 78,8 persen
(2012). Tahun 2013 diharapkan menjadi 80 persen dan tahun ini 81,9 persen.
Ada 19 kabupaten/kota dengan perolehan APM tingakt SD dan sederajat masih di
bawah 75 persen. Sementara ada 23 kabupaten/kota dengan APM level SMP dan
sederajat di bawah 75 persen.
Rata-rata lama sekolah anak (dengan posisi dalam Indeks
Pembangunan Manusia/IPM, 121) berada pada angka 5,8. Ini sederajad dengan
rata-rata di Kamboja. Sedang di Vietnam 5,5 (peringkat IPM, 127).
Saat ini rata-rata jumlah SD sebanyak 160 siswa dan SMP 300
siswa. Artinya dilihat dari daya tampungnya, gedung SD dan SMP sederajat
sudah cukup. Jumlah SMP/SMPLB/MTs ada 35.492 unit dengan daya tampung 13 juta
siswa.
Harus ada terobosan untuk wajib belajar 12 tahun agar
pekerjaan-pekeraan rumah wajar 9 tahun tadi terselesaikan. Indonesia perlu
belajar dari pencapaian IPM Brunei Darussalam dan Filipina. Kemudian
menjadikan wajar 12 tahun benar-benar mampu meningkatkan rata-rata lama
sekolah anak-anak. Seperti program pendidikan Filipina yang lebih tinggi dari
rata-rata lama sekolah anak Brunei. Padahal dari sisi capaian IPM Filipina
pada ranking 114 dan Brunai sangat fantastis, di level 30.
Terobosan lin, satu tahun ke depan, Kementerian Kebudayaan,
Pendidikan Dasar dan Menengah hendaknya fokus semata-mata ke birokrat
pendidikan. Mereka harus membenahi cara pandang, pikir, dan mentalitas kerja
birokrat pendidikan di seluruh jenjang. Mereka harus paham betul makna,
maksud, dan tujuan wajar 12 tahun.
Mereka benar-benar mampu menyusun cetak biru wajar 12 tahun.
Sebaiknya jangan melibatkan ahli-ahli pendidikan dari perguruan tinggi, tapi
biar para birokrat itu bergelut menyusun perencanaan. Dalam satuan pendidikan
setahun ke depan ini biarlah berjalan seperti sekarang. Artinya, jangan ada
perubahan apa pun.
Apabila cetak biru wajar 12 tahun telah tersusun, para gubernur
dan bupati/wali kota diminta mempelajari bangunan wajar 12 tahun dan
mendukung legislasi serta anggaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar