Menyatukan
DPR
Agung Baskoro ; Analis Politik Poltracking
|
KORAN
TEMPO, 05 November 2014
…bahwa saya dalam
menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya
kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara
daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan….
Petikan sumpah atau janji anggota DPR di atas kini nyata
bersanding dengan pertunjukan politik DPR yang terus berlanjut. Bak sebuah
film, episode "DPR Tandingan" merupakan babak baru dari pertarungan
tak berkesudahan antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Pendukung
Prabowo (KPP). Bukannya menghibur dan memberikan pendidikan politik yang baik
kepada publik, tontonan ini justru menunjukkan wajah asli para wakil rakyat.
Secara terang, publik menyaksikan atraksi membalikkan meja, ekspresi emosi
yang berlebihan, hasrat haus kekuasaan, dan tudingan miring lainnya yang
mengikuti perilaku anggota DPR yang baru terpilih pada periode 2014-2019.
Di sisi lain, optimisme awal publik sebenarnya sempat terbit
terhadap 318 orang atau 57 persen wajah baru yang menghiasi DPR. Namun
kuantitas jumlah ini lebih banyak diwarnai oleh kualitas 43 persen anggota
DPR yang mengatur jalannya skenario politik di panggung DPR. Setelah
pelantikan, berturut-turut dinamika koalisi antara KIH dan KPP gagal dikelola
hingga akhirnya berujung pada pertikaian politik yang semakin tak
terhindarkan. Hal ini tak lain disebabkan oleh pembagian jatah pimpinan komisi
dan alat kelengkapan Dewan yang kembali disapu bersih oleh KPP sebagaimana
terjadi pada saat pemilihan paket pimpinan DPR dan MPR.
Proporsionalitas sebenarnya sudah terjadi, tapi sifatnya
eksklusif di kubu KPP yang membagi rata alat kelengkapan Dewan ataupun
sebaliknya saat KIH membuat DPR tandingan dengan mitra koalisinya. Di titik
inilah, keprihatinan banyak pihak mengemuka. Sebab, bila dibiarkan
berlarut-larut, hal itu dapat menjatuhkan wibawa DPR di hadapan publik yang
selama ini cukup lama ternoda oleh kinerja yang kurang optimal.
Di balik kehadiran DPR tandingan ini sebenarnya terdapat
beberapa fakta politik. Pertama, KIH di DPR masih terlalu kaku dengan gaya
dan komunikasi politiknya, sehingga kebuntuan politik (deadlock democracy)
semakin kompleks.
Kedua, politik balas dendam yang dipertontonkan oleh KPP di
tingkat legislatif masih terus terjadi dan hanya berfokus pada persoalan
menguasai kursi dan posisi. Padahal ada yang lebih mendasar dari semua itu,
yakni bagaimana akomodasi politik dapat terealisasi dan publik yang diwakili
tidak terluka oleh pertarungan politik yang terjadi.
Ketiga, peran Demokrat sebagai penyeimbang menjadi tak terlihat
dan perlu digugat karena belum memberikan kontribusi apa pun. Malah, pada
saat yang bersamaan, partai berlambang mirip logo Mercy ini menggusur posisi
PPP di detik-detik akhir, sehingga memperoleh posisi Wakil Ketua DPR dan
Wakil Ketua MPR.
Polemik ini semakin kompleks karena masing-masing pihak tak
menunjukkan iktikad baik untuk mencari solusi terbaik bersama (win-win
solution). Sampai pada konteks ini, sudah seharusnya beberapa pihak terkait
turun tangan untuk menyelesaikan polemik ini. Sebab, bila tidak, citra DPR di
mata publik semakin terpuruk dan pada titik tertentu lembaga ini akan digugat
legitimasinya oleh rakyat. Caranya?
Pertama, akar masalahnya muncul dari dualisme kepengurusan PPP.
Sehingga, sama-sama mengklaim antara KIH dan KPP untuk menjadi mayoritas
mengemuka. Artinya, sampai ada keputusan tetap dari PTUN, dasar dari pendapat
kedua kubu menjadi terbantahkan, sehingga tak satu pun kubu berhak mengklaim
memiliki alat kelengkapan Dewan yang sah. Di titik inilah, peran Kiai Maimun
Zubair (Mbah Moen) untuk menghadirkan islah PPP harus terus didorong,
sehingga polemik ini dapat segera disudahi.
Kedua, pimpinan DPR dan MPR sudah seharusnya lebih aktif membuka
komunikasi politik untuk mencari titik temu dari perseteruan antara KIH dan
KPP, bukan malah masuk ke dalam konflik. Hal ini penting karena setelah
terpilih, para pimpinan ini bukan lagi mengayomi partai atau kelompoknya,
tapi berdiri di atas kepentingan semua.
Ketiga, sistem presidensial-multipartai tetap bisa dirasakan
manfaatnya karena bergulirnya informal
politics. Politik informal ini merupakan aktivitas politik yang efek dan
substansinya lebih kuat dibanding kegiatan politik prosedural-normatif yang
biasanya terlaksana di Senayan dan Istana. Bentuknya, dari lobi hingga
negosiasi di Teuku Umar, Cikeas, Hambalang, Hotel Sultan, dan berbagai tempat
lainnya sebagai basis eksisnya para veto
player pada masing-masing partai. Soalnya, merekalah sebenarnya yang
lebih menentukan arah politik dan masa depan negeri ini. Pada saat yang
bersamaan, Presiden Jokowi dapat pula berpartisipasi lebih dengan menggelar
juga serangkaian pertemuan-pertemuan yang mempertemukan kedua kubu untuk
mencari solusi terbaik dari realitas politik ini, daripada harus menerbitkan
perpu untuk menjaga netralitas eksekutif di sisi lainnya.
Sampai pada titik ini, akan muncul sebuah pertanyaan krusial:
apakah prinsip kebersamaan, kebijaksanaan, dan musyawarah mufakat masih ada
dalam politik Indonesia? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar