Politik
Pahlawan
Asvi Warman Adam ; Peneliti Tamu di CSEAS Kyoto University
|
KOMPAS,
19 November 2014
PEMERINTAH telah mengangkat
pahlawan nasional baru, yakni Letjen TNI (Purn) Djamin Ginting, Sukarni
Kartodiwirjo, Mayjen HR Mohammad Mangundiprojo, dan KH Abdul Wahab Hasbullah.
Sukarni adalah pemuda pelopor
yang berperan dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia dan kemudian menjadi
Ketua Partai Murba.
Wahab Hasbullah adalah tokoh NU
yang sangat penting setelah KH Hasyim Asy’ari. Sayang, dalam alasan
pengangkatannya yang ditonjolkan hanyalah keterlibatannya dalam perjuangan di
Surabaya sekitar 10 November 1945.
Mohammad Mangundiprojo ikut
bergerilya mempertahankan kemerdekaan di Jawa Timur, sementara Djamin Ginting
bertempur di Sumatera Utara. Dalam paket pengangkatan pahlawan nasional tahun
ini, yang terkesan dominan adalah kehebatan perjuangan bersenjata.
Pengangkatan pahlawan tersebut
sudah sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Namun, yang kurang
dipahami adalah politik pahlawan.
Yang dimaksud dengan istilah itu
adalah pengetahuan tentang siapa yang telah diangkat sebagai pahlawan
nasional dan mengapa serta bagaimana proporsinya ditambah dengan nilai atau
pesan apa yang secara khusus ingin disampaikan kepada masyarakat.
Tahun 1993, 30 tahun setelah
kembalinya Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi, diangkat tiga tokoh Papua
sebagai pahlawan nasional. Pesan yang ingin diutarakan adalah masuknya
kembali Irian Barat adalah berkat perjuangan yang panjang dan
(konsekuensinya) kesejahteraan rakyat di sana harus betul-betul diwujudkan.
Dari 163 pahlawan nasional itu
terdapat 12 perempuan (hanya 7 persen). Apakah kaum perempuan itu tidak ikut
dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan di berbagai bidang?
Hal ini sudah berkali-kali
disampaikan dalam berbagai tulisan di media massa, tetapi sayang data itu
kurang diketahui Dewan Gelar. Padahal, sudah ada calon perempuan yang
diajukan, seperti Rohana Kuddus, tokoh pendidikan dan perintis pers asal
Sumatera Barat.
Album perjuangan
Kumpulan pahlawan nasional
itu—meminjam istilah Taufik Abdullah—merupakan album perjuangan bangsa.
Wajah-wajah yang ada dalam album tersebut mewakili golongan, agama, daerah,
dan profesi yang ada di Tanah Air secara utuh.
Selama 50 tahun dari
pengangkatan pertama tahun 1959 tidak ada keturunan Tionghoa yang masuk dalam
album pahlawan bangsa. Baru tahun 2009, John Lie diangkat sebagai pahlawan
nasional.
Namun, sampai sekarang tidak ada
warga Indonesia keturunan Arab yang menduduki posisi terhormat tersebut.
Padahal, sejak beberapa tahun lalu sudah diusulkan Abdul Rahman Baswedan.
AR Baswedan tahun 1934
mencanangkan ”sumpah pemuda keturunan Arab” (bertanah air Indonesia, mengabdi
bagi Indonesia, dan tidak mengisolasi diri).
Selaku Menteri Muda Penerangan,
ia berjasa dalam membawa pengakuan diplomatik dari Mesir untuk Indonesia.
Untuk menghindari pemeriksaan polisi Belanda di Bandara Kemayoran, ia
menyembunyikan nota diplomatik itu dalam kaus kakinya.
Pahlawan nasional seyogianya
tidak melulu dari kalangan militer, tetapi juga dari profesi lain. Sampai
hari ini, kita tidak memiliki pahlawan nasional dalam bidang olahraga.
Padahal, sudah ada calon yang diajukan, yakni Suratin. Ia adalah lulusan
teknik sipil dari Jerman yang membaktikan diri bagi sepak bola. PSSI
didirikan tahun 1930 sebagai realisasi dari Sumpah Pemuda.
Selama 11 tahun berturut-turut
ia menjadi Ketua Umum PSSI. Pada nama organisasi ini dengan tegas tercantum
istilah Indonesia. Klub-klub sepak bola yang dibentuk di Pulau Jawa waktu itu
menyatukan fisik dan semangat pemuda, jangan mau kalah kalau bertanding
menghadapi orang Belanda. Tragisnya ia meninggal dalam kemiskinan di sebuah
rumah berdinding bambu di Bandung.
Masih berhubungan dengan Sumpah
Pemuda, tampaknya pemerintah, meski selalu memperingatinya, selama berpuluh
tahun melupakan sejarah. Soegondo Djojopoespito yang menjadi Ketua Kongres
Pemuda II tahun 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda itu tak kunjung diangkat
sebagai pahlawan nasional.
Padahal, ”anak buahnya” dalam
kepanitiaan Kongres Pemuda II (M Yamin selaku sekretaris, Johanes Leimena
pembantu umum IV, dan WR Soepratman penggesek biola ”Indonesia Raya”) sudah
terlebih dahulu menjadi pahlawan nasional.
Soegondo adalah tokoh Taman
Siswa, murid langsung dari Ki Hajar Dewantara, yang sepanjang hayatnya
membaktikan dirinya dalam bidang pendidikan. Ia menjadi menteri ketika
Republik Indonesia di Yogyakarta menjadi negara bagian RIS. Ia tidak pernah
memiliki mobil, dan ketika menjabat menteri lebih memilih naik becak
ketimbang kendaraan dinas.
Semoga
dalam pengangkatan pahlawan nasional di masa mendatang, Presiden Joko Widodo
tidak sekadar memperhatikan prosedur sesuai undang-undang, tetapi juga
mengikuti apa yang pernah digariskan Bung Karno, yaitu ambeg parama artha (mendahulukan apa yang lebih penting). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar