Catatan
Terbuka untuk Mendikbud
St Kartono ; Guru SMA De Britto Yogyakarta
|
KOMPAS,
20 November 2014
BAPAK
Anies Baswedan yang saya hormati.
Ketika Presiden Joko Widodo
menyebut nama Anda sebagai Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan
Menengah (26/10), sebagai guru saya gembira dan antusias. Berharap pendidikan
di negeri ini lebih baik sekaligus tidak menyesakkan dada mereka yang terlibat.
Sembari menonton televisi, saya mengingat kalimat pertama Anda, ”Saya prinsipnya begini, syukuri,
perbaiki, dan siap turun tangan untuk memajukan pendidikan.”
Semangat itu semakna dengan
tulisan Anda dalam prolog buku Indonesia Mengajar (2013). ”Menjadi guru itu mulia. Menjadi guru di
pelosok itu wajar. Datangi desa-desa terpencil dengan kerendah-hatian dan
kasih sayang. Sambut kehadiran anak-anak SD itu dengan rasa cinta, berikan
yang terbaik untuk mereka. Izinkan anak-anak SD di desa-desa terpencil itu belajar
untuk maju. Tumbuhkan pengetahuan, dan tanamkan ketangguhan berjuang di dada
mereka.”
Itulah upaya memajukan dan
memperbaiki yang Anda lakukan, ketika instansi yang mestinya bertanggung
jawab justru disibukkan oleh urusan ujian nasional dan gonta-ganti kurikulum.
Ketika Anda bergelut dengan gerakan Indonesia Mengajar dan kini menjadi
menteri yang mengurusi bidang pendidikan dasar dan menengah, saya meyakini
Anda akan menjadi menteri andal.
Anda tentu telah mendengar dan
mendapatkan laporan orisinal dari para guru muda yang kembali dari
sudut-sudut Indonesia.
Izinkan saya mengingatkan bahwa
Indonesia ini bukan hanya Jawa, dan Jawa bukan hanya Jakarta. Artinya, cek
dan terus periksa apakah kebijakan pendidikan yang dirumuskan di Jakarta
benar-benar telah sampai di seluruh wilayah Indonesia.
Tiga tahun lampau saya berada di
tengah sesama pendidik selama sepekan di pedalaman Kalimantan Tengah. Ketika
blusukan ke sekolah dasar, penulis menjumpai foto wakil presiden di
ruang-ruang kelas dan ruang guru masih Jusuf Kalla. Bukankah seharusnya foto
Boediono? Betapa jauh jarak Jakarta ke pedalaman Kalimantan, sampai
membutuhkan waktu tiga tahun lebih untuk mengantarkan foto Wapres Boediono.
Untunglah masih ada tiga gambar
Garuda Pancasila di satu dinding kelas, artinya sekolah dasar itu masih dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada juga foto presiden dari zaman ke
zaman, Soekarno, Soeharto, dan SBY. Mengapa foto Gus Dur, Habibie dan
Megawati tidak ada? Jawabnya, mereka bertiga menjabat dalam waktu relatif singkat
sehingga sebelum fotonya sampai sudah berakhir tugasnya.
Lebih jauh, para guru di sana
masih menggunakan dokumen kurikulum bertahun-tahun lampau. Ketika Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan belum sampai di semua wilayah negeri ini, Kurikulum
2013 telah digulirkan.
Di sekolah-sekolah yang penulis
jumpai di pedalaman seolah pemerintah absen sehingga berbicara tentang
kebijakan pendidikan mutakhir ibarat menyeret para pendidik di sana melompat
masuk dunia asing.
Pak
Anies yang menteri.
Ada tiga hal penting dalam
pendidikan, yakni guru, murid, dan pemerataan kesempatan. Dengan semangat
memperbaiki, hal pertama yang patut mendapat perhatian adalah guru.
Hingga kini, guru di negeri ini
tetap mengalami tiga ketidakmapanan, yakni finansial, status sosial, dan intelektual.
Tunjangan profesi guru telah digulirkan lebih dari tujuh tahun lampau, tetapi
hingga kini masih saja ada masalah yang bisa dilihat dari keluhan di media
ihwal tunjangan sertifikasi guru.
Di samping terus berharap agar
semakin banyak guru mendapat tunjangan profesi dengan persyaratan yang adil,
guru yang sudah mendapatkan pun berharap tunjangan profesi ajek dan teratur
penyampaiannya.
Dengan demikian, saya, misalnya,
bisa mengembangkan diri sampai studi S-3. Seperti gaya Presiden Jokowi,
kiranya Anda berkenan terus cek ulang dan mengawasi penyaluran tunjangan
profesi guru. Tunjangan profesi membantu menciptakan kemapanan finansial,
sekaligus menuntut para guru membangun intelektualitasnya.
Pak
Menteri yang optimistik.
Saya yakin, ketika Anda menggulirkan
gerakan Indonesia Mengajar, Anda menempatkan betapa anak-anak kita atau murid
menjadi hal yang paling penting dalam pelayanan pendidikan.
Untuk itu, kiranya kebijakan
perubahan kurikulum mesti memperhitungkan anak-anak Indonesia.
Memperhitungkan murid pasti memperhitungkan guru juga. Guru bukanlah buruh
pabrik yang dihitung dengan jam kerja layaknya target produksi.
Penting Anda mendorong
penyediaan sarana fisik dan sarana pendukung teknologi terlebih dahulu. Jika
mengingat bahwa pendidikan adalah sebuah hak yang harus diterima oleh semua
anak dengan kualitas sama, pemerintah mestinya bukanlah mendirikan sekolah
unggul, tetapi membangun sekolah-sekolah dengan fasilitas yang sama yang bisa
mendidik anak-anak tanpa perbedaan.
Penyediaan sarana fisik, gedung,
misalnya, mestinya dipahami sebagai pelayanan pendidikan yang konkret
dinikmati murid secara langsung. Kesadaran ini pula yang mesti ditumbuhkan
kepada penyelenggara pendidikan swasta.
Menarik dana yang relatif besar
dari masyarakat mestinya konkret dibelanjakan untuk sarana yang langsung
dinikmati murid, seperti kelas yang representatif, buku-buku koleksi
perpustakaan, dan pelayanan untuk pengembangan murid.
Akhirulkalam
Pak Menteri,
Ungkapan hati ini bisa tersurat
karena saya merasakan mendapatkan menteri yang berhati pendidik. Anda pun
perlu mendidik para
pendidik terus-menerus, bukan menyakiti hati atau merendahkan martabat para
pendidik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar