Minggu, 02 November 2014

Politik Amubaisme Parlemen

Politik Amubaisme Parlemen

Umbu TW Pariangu  ;  Dosen Fisipol, Undana, Kupang
MEDIA INDONESIA, 01 November 2014
                                                
                                                                                                                       


ANCAMAN terjadinya ‘pemerintahan terbelah’ (devided government) semakin dikhawatirkan publik. Hal tersebut pernah terkonfirmasi oleh survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) (6-7/10). Sebanyak 77,25% publik menyatakan khawatir dengan kondisi pemerintahan yang terbelah. Hanya 17,46% yang menyatakan tidak khawatir. Menurut peneliti LSI Adjie Alfaraby, kekhawatiran terjadinya pemerintahan terbelah merata di semua segmen masyarakat. Kecemasan tersebut berpotensi menjadi puncak dari ‘teater gelap’ yang dimainkan parlemen hari-hari ini. Setelah membuat quintrick atas Koalisi Indonesia Hebat (KIH) lewat kemenangan mengegolkan UU MD3, Tatib DPR, RUU Pilkada, serta pemilihan pimpinan DPR dan MPR, kubu Koalisi Merah Putih (KMP) menyapu bersih pimpinan komisi dan alat-alat kelengkapan dewan. Permintaan KIH untuk memperoleh 16 kursi pemimpin dari total 65 kursi pemimpin alat kelengkapan dewan pun tidak digubris. Kubu KMP hanya memberikan jatah 5 kursi bagi Fraksi PDIP.

Tampaknya, prinsip bermusyawarah dengan akal sehat tidak lagi menjadi gaya berdemokrasi wakil rakyat kita. Semuanya telah lenyap oleh keserakahan politik yang mengatasnamakan kepentingan publik. Dengan mengikuti roh tesis Lord Acton, kekuasaan cenderung korup. Ada semacam amubaisme politik di parlemen saat ini yang semakin lama, semakin muncul kehausan dari politisi untuk terus memperbanyak dan mengakumulasi lahan kekuasaan secara monopolistik demi tujuan-tujuan sempit. Suara rakyat yang merepresentasikan kedaulatan politik dengan gampang dikangkangi dalam perilaku hipokritis.
Keselamatan pemerintahan ke depanlah yang akan menjadi taruhannya.

Kamuflase?

Padahal, sebelumnya, optimisme rakyat sempat bangkit ketika menyaksikan rentetan pertemuan para pemimpin DPR dan DPD dengan Jokowi menjelang pelantikan presiden. Tidak itu saja, Jokowi juga bertemu dengan Ketua Presidium KMP Aburizal Bakrie dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto demi berupaya memecah kebuntuan komunikasi dalam membicarakan persoalan-persoalan bangsa. Entah kenapa, sikap konstruktif para petinggi institusi politik tersebut tak kunjung merembet ke parlemen.

Tidak berlebihan jika rakyat pada akhirnya mulai curiga, jangan-jangan semua itu hanya politik kamuflase yang didesain secara halus untuk menghindari  resistensi publik terhadap skenario-skenario politik jangka panjang yang bakal dimainkan politisi di parlemen.

Dengan model politik kooptatif dan destruktif seperti itu, DPR secara tak langsung akan semakin mengukuhkan diri sebagai lembaga tak tersentuh yang berpotensi menjadi sarang oligarki dan serigala buas bagi pemerintah dan secara tak langsung bagi anak kandung (rakyatnya sendiri). Dalam konteks tertentu, bukan rakyat sipil saja yang bisa melakukan pembangkangan sosial atas kebijakan-kebijakan para politikus, melainkan juga ‘algojo-algojo’ politiknya di Senayan yang menjadikan demokrasi sebagai legitimasi kebrutalan mereka pun bisa merapatkan barisan sebagai penyambung lidah para kapitalis dan politisi predator (Vedi R Hadiz, 2005:2014) untuk melawan (kebijakan) pemerintah yang dianggap mengancam hunian dan eksistensi politik rente mereka.

Hari ini, mereka bisa saja berdalih akan menjadi teman seranjang yang mendukung setiap garis kebijakan pemerintah karena sadar rakyat sepertinya mulai gusar dengan berbagai manuver mereka. Namun, setelah konsolidasi dan rasionalisasi makin kuat terbangun, tak menutup kemungkinan mereka akan menjadi virus pengganggu dalam kekuasaan lewat penggerogotan checks and balances. Karenanya, membaca watak Senayan hari ini dan beberapa waktu ke depan tak cukup dengan apa yang tersampaikan secara eksplisit dengan kata-kata, tetapi dengan sikap nyata. Sungguhkah yang mereka perjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya? Atau, itu justru hanya sebuah pengejawantahan politik mimikri?

Hidrosefalus parlemen

Menurut penulis, kekuasaan parlemen kini mirip penyakit hidrosefalus, yakni virus by design yang melumpuhkan nilai-nilai demokrasi dan kepentingan publik lewat pembesaran kepala (otoritas) kekuasaan/hasrat liar politiknya. Virus itu melumpuhkan jaringan kekuasaan dan lembaga pelayanan publik. Ironisnya, virus tersebut sepertinya sengaja dipelihara karena para penghuni Senayan telanjur tersegregasi oleh blok politik dendam dan kebencian yang tak berujung semenjak pemilu dan pilpres.

Mereka sangat menyesal ketika prinsip kebebasan memilih dan dipilih yang menjadi piramida puncak demokrasi dan diinjeksikan dalam tubuh mesin (parpol) serta pribadi politik mereka malah memakan kembali kepentingan mereka. Mereka seakan tak menyangka kaum proletar bersahaja yang selama ini hanya menghuni alas kaki kekuasaan justru berhasil memikat kepercayaan dan dipilih publik di ruang-ruang demokrasi aktual yang dilaksanakan secara langsung. Itu sebabnya, mereka mencoba membalas sakit hati dengan cara membubarkan sistem pilkada langsung dan menjalankan politik pukat trawl: mereguk posisi apa saja (besar-kecil, kering-basah) di parlemen untuk menegaskan hegemoninya.

Kemenangan ‘politisi underdog’ yang diwakili Jokowi tentu saja sangat menyinggung jiwa Leviathan para elite borjuis dan pemodal yang dimaksud. Padahal, Fared Zakaria (2008) lewat tesisnya, The Rise of the Rest, enam tahun lalu sudah mengingatkan khususnya negara-negara demokrasi perihal akan bangkitnya kekuatan kaum tersisa sebagai akibat dari pengkhianatan terhadap roh demokrasi, yaitu suara para kaum terpinggir yang selama ini tak pernah masuk radar perhitungan politik. Namun, karena jiwa empati, kejujuran, dan kesahajaan, mereka dengan mudah bisa merebut pangsa hati rakyat.

Bagaimana prospek demokrasi parlemen dan eksekutif kita ke depan? Dengan intrik panas tak berkesudahan yang mewarnai panggung politik, terlebih di parlemen, mampukah program-program populis pemerintah direalisasikan bagi kemaslahatan rakyat sesuai dengan komitmen dan sumpah jabatan di hadapan Tuhan dan rakyat?

Sepertinya para politikus kita harus kembali ke akidah dasar sebagai makhluk rasional dan bermoral yang bekerja sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Harus ada revolusi mental dan konsep berpikir bahwa uang dan takhta bukan tujuan u tama kekuasaan, melainkan sarana untuk menghadirkan wajah teleologis (Tuhan) dalam kehidupan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar