Politik
Sapu Bersih di DPR RI
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor
Riset
di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 01 November 2014
SAPU bersih seluruh jabatan
pimpinan DPR RI dan alat-alat kelengkapan dewan oleh Koalisi Merah Putih
(KMP) menggambarkan dimulainya babak baru dalam sistem politik Indonesia. Di
masa Orde Baru dan awal reformasi hingga DPR periode 2009-2014, wakil dari
tiap fraksi di DPR mendapatkan posisi di pimpinan DPR atau jajaran pimpinan
di alat-alat kelengkapan dewan. Cara itu menyebabkan munculnya rasa
kebersamaan, kesatuan, dan kekeluargaan di DPR RI sehingga konfl ik
antarfraksi terkait dengan bagi-bagi posisi kursi itu dapat diminimalkan.
Gerakan sapu bersih tersebut
sebenarnya sudah tercium sejak DPR periode 2009-2014 memproses Rancangan
Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau dikenal dengan UU MD3 dan
pembuatan aturan Tata Tertib DPR yang disahkan pada 16 September 2014. UU MD3
memang dirancang agar koalisi partai pendukung calon presiden atau calon
wakil presiden Prabowo Subianto atau Hatta Rajasa yang terdiri atas Partai
Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrat
(yang awalnya menyatakan sebagai partai pengimbang, tetapi kemudian semakin
nyata warnanya) dapat menguasai parlemen melalui aturan pemilihan sistem
paket yang didukung oleh enam fraksi berbeda.
Aturan itu menutup kemungkinan
bagi koalisi partai pendukung capres atau cawapres Joko Widodo dan Jusuf
Kalla untuk dapat mengajukan calon-calon pimpinan DPR melalui sistem paket
karena jumlah anggota koalisi yang akan memiliki kursi di DPR pada saat itu
hanya terdiri atas empat partai yaitu PDIP, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Nasional Demokrat (Partai
NasDem) yang masuk DPR pada periode 2014-2019.
Tata tertib DPR RI yang
disahkan sepihak oleh koalisi pendukung Prabowo-Hatta pada 16 September 2014
juga idem dito, yaitu berupaya
menihilkan koalisi partai pendukung Jokowi-JK untuk dapat mengisi kursi
jajaran pimpinan pada alat-alat kelengkapan dewan, yakni dengan aturan bahwa
paket jajaran pimpinan diusulkan oleh sedikitnya enam fraksi berbeda di DPR
RI.
Menyeberangnya PPP dari Koalisi
Merah Putih ke Koalisi Indonesia Hebat sebenarnya telah mengubah peta politik
di DPR menjadi 5:5. Namun, konflik internal di PPP akhirnya memungkinkan faksi
pendukung Suryadharma Ali (SDA) untuk ditarik mengajukan nama-nama calon
pimpinan alat kelengkapan dewan. Itu digunakan sebagai pembenar bagi koalisi
pendukung Prabowo untuk menjalankan niat mereka menyapu bersih jajaran
pimpinan alat-alat kelengkapan dewan. PPP faksi SDA hanya digunakan sebagai
alat atau pelengkap penderita untuk melapangkan jalan bagi-bagi kursi koalisi
pendukung Prabowo-Hatta.
Kondisi di DPR tersebut bukan
hanya menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya pemerintahan yang
terbelah antara eksekutif dan legislatif, melainkan juga secara nyata sudah
menimbulkan kondisi parlemen yang terbelah antara koalisi pendukung
Prabowo-Hatta yang menguasai semua lini di DPR RI dan koalisi pendukung
Jokowi-JK yang kemudian membentuk pimpinan DPR tandingan. Apa yang terjadi di
DPR saat ini menunjukkan betapa kekuasaan, bukan kekeluargaan, kebersamaan,
dan persatuan, menjadi kata kunci dalam perpoli tikan di dewan. Kita sudah
mengarah jauh dari sistem politik yang didasari ideologi Pancasila yang
mengutamakan asas persatuan, kemanusiaan, musyawarah mufakat, dan keadilan.
Apa yang tampak saat ini ialah terjadinya dominasi mayoritas terhadap
minoritas kalau tidak dapat disebut sebagai diktator mayoritas di DPR.
Kebuntuan politik
Kondisi politik di DPR RI saat
ini bukan mustahil menciptakan kebuntuan politik di internal DPR, terlebih
lagi antara legislatif dan eksekutif. Saat ini, misalnya, koalisi partai
pendukung Jokowi-JK tidak mau menghadiri sidang-sidang yang diadakan DPR yang
dimonopoli koalisi pendukung Prabowo-Hatta.
Selain itu, Koalisi Indonesia
Hebat merekomendasikan pemerintahan Jokowi-JK untuk tidak mau menghadiri
rapat-rapat dengan mitra legislatifnya selama tidak ada keinginan Koalisi
Merah Putih untuk berbagi posisi di alat-alat kelengkapan dewan. Mereka
khawatir bahwa tidak adanya wakil Koalisi Indonesia Hebat di jajaran pimpinan
alat-alat kelengkapan dewan akan menyebabkan tidak adanya perlindungan
politik bagi eksekutif dalam semua proses politik di DPR RI, baik pada proses
legislasi, budgeting, maupun pengawasan.
Meski pimpinan DPR menyatakan
tidak ada niat untuk menjegal pemerintah dan bahkan mereka ingin mendukung
program-program pemerintah, janji-janji tersebut belum tentu diterapkan.
Buktinya, Ketua DPR RI Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi
Partai Demokrat Agus Hermanto berkali-kali menyatakan tidak ada keinginan
sapu bersih di alat-alat kelengkapan dewan, tetapi mereka ingin berbagi.
Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Agus Hermanto bahkan pernah
mengatakan kepada penulis bahwa nanti lihat saja kalau dia menjadi pimpinan
sidang, asas kebersamaan itu akan diterapkan.
Nyatanya, justru ketika dia
menjadi pemimpin sidang terjadi skandal politik yang begitu besar saat
Koalisi Merah Putih menerima paket nama calon pimpinan alat kelengkapan dewan
dari faksi PPP kubu SDA sehingga Ketua Fraksi PPP kubu Muktamar Surabaya
marah besar dan mendorong jatuhkan meja. Tidak terakomodasinya keluhan
Koalisi Indonesia Hebat juga menjadi penyebab mengapa mereka akhirnya membuat
sidang paripurna sendiri yang menetapkan jajaran pimpinan dewan versi Koalisi
Indonesia Hebat.
Cerminan politik elite
Sebenarnya, antara koalisi
pendukung Prabowo-Hatta dan koalisi Jokowi-JK sudah terjadi pendinginan suhu
politik ketika Jokowi mengadakan pertemuan-pertemuan informal dengan jajaran
pimpinan DPR RI dan MPR RI serta dengan Prabowo Subianto saat menjelang
pengambilan sumpah jabatan presiden atau wakil presiden 20 Oktober 2014.
Wakil Presiden Jusuf Kalla juga sudah bertemu dengan Ketua Umum Partai Golkar
Aburizal Bakrie, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, dan pendiri atau Ketua
Umum pertama PAN Amien Rais.
Prabowo Subianto bahkan sepakat
untuk berbagi posisi pimpinan di alat-alat kelengkapan dewan dengan
perbandingan 60% untuk KMP dan 40% untuk KIH. Bahkan, KIH sudah menurunkan
tawarannya menjadi hanya 16 kursi dari 63 kursi jajaran pimpinan alat-alat
kelengkapan dewan.
Sikap jajaran fraksi di DPR RI
tentu cerminan dari kebijakan politik pimpinan partai Koalisi Merah Putih.
Tidak mungkin fraksi berbeda keputusan dengan pimpinan partai. Itu berarti,
pendekatan-pendekatan dan komunikasi politik Jokowi-JK dengan Prabowo, ARB,
dan Amien Rais masih sebatas basa-basi politik dan masih diselimuti
`kemarahan permanen' Prabowo atas kekalahannya dari seorang wong cilik
bernama Jokowi pada Pilpres 2014.
Jika tidak ada politik
akomodatif dari Koalisi Merah Putih terhadap Koalisi Indonesia Hebat di DPR
RI, kebuntuan di DPR RI akan terus berlanjut. Peta politik di DPR RI bisa
saja berubah jika terjadi perubahan politik pada jajaran pimpinan Partai
Golkar pada munas Januari, Februari, atau April 2015, tempat kubu JK atau
gerakan anak muda berslogan Asal bukan ARB memenangi Pemilihan Ketua Umum
Partai Golkar. Tanpa itu, politik di DPR akan tetap buntu atau bahkan
menjurus pada `penjegalan elite politik lama yang licik terhadap elite
politik baru yang mewakili wong cilik bernama Jokowi'. Jika itu terjadi,
rakyatlah yang menjadi korban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar