Parlemen
Terbelah?
Arya Budi ; Research
Associate Poltracking Institute
|
KORAN
TEMPO, 01 November 2014
Kemenangan Koalisi Pendukung Prabowo (KPP)-Gerindra, Golkar,
Demokrat, PKS, dan PAN-yang berkekuatan 56 persen kursi parlemen, melumat
habis posisi pimpinan DPR, MPR, dan alat kelengkapan Dewan mengingatkan saya
akan tesis Jeffry Winters (2011: 273) bahwa "[setelah Orde Baru] para oligark pribumi mulai menanamkan
sumber daya cukup besar dalam politik partai."
Penanaman sumber daya itu kini paling tidak memasuki "masa
panen" di parlemen. Pada saat yang sama, Koalisi Indonesia Hebat-PDIP,
PKB, Nasdem, Hanura, dan PPP-yang hanya berkekuatan 44 persen kursi mulai
terkonsolidasi dengan semangat sama: menguasai kendali palu sidang. Dualisme
pimpinan DPR menjadi diskursus selanjutnya akibat kekuatan fraksi yang imbang
dari 10 fraksi DPR. Dasarnya, Tata Tertib DPR (Pasal 251 ayat 1) yang
mengamanatkan kuorum fraksi, bukan sekadar anggota. Terlepas dari prospek
politik parlemen yang cenderung destruktif alih-alih produktif, dua blok
politik di parlemen kini seolah terkonsolidasi dan mengkristal ke dalam
pelembagaan politik baru.
Tentu, terlalu terburu-buru memproyeksikan bipartisme semu di
Indonesia saat ini akan mengkristal layaknya Demokrat-Republik di Amerika.
Alasannya sederhana: dua blok politik
ini bukan lahir dari sentimen ideologis yang sama, tapi lebih pada sentimen
kalah-menang. Sentimen sakit hati bisa jadi bukan soal kalah kompetisi,
tapi juga akibat gagalnya komunikasi para pimpinan koalisi.
Dalam model kompetisi bipolar ini, meminjam istilah Sartori
(1976), competition yang ada akan
mempunyai derajat competitiveness
yang tinggi karena konfrontasi aktor dan partisipan di ekstra-parlementer
terkanalisasi pada dua kutub. Pada saat yang sama, fakta politik saat ini
mengklarifikasi tesis politik kartel. Tesis bahwa tidak ada kompetisi dalam post-election politics di Indonesia,
karena partai dan elite berbagi sumber daya dengan nalar kartel Kuskridho
Ambardi (2009), menjadi tidak relevan-paling tidak untuk periode politik saat
ini.
Sebaliknya, drama parlemen sejak periode pemilihan presiden
hingga kini menampilkan perwatakan kanibalistik partai "memakan"
partai. Blok politik mayoritas yang telah memenuhi 50 persen+1 melumat habis
posisi kunci di parlemen sambil terus menarik "elite mengambang"
masuk dalam sentimen "barisan sakit hati". Tentu, sekalipun ada sedikit
irisan, ideologi dan platform partai tidak menjadi basis yang terlalu penting
sebagai kausalitas dan mesin survival koalisi, baik koalisi pemerintahan
maupun non-pemerintah.
Dalam konteks sistem presidensialisme di Indonesia,
komisi-komisi di DPR saat ini bisa jadi adalah alat kelengkapan
"siluman" dengan nalar kerja kabinet bayangan atau shadow cabinet. Siluman karena kabinet
bayangan terjadi di negara dengan sistem parlementer. Kabinet bayangan biasa
dibentuk tak lama setelah kabinet koalisi partai pemerintahan terbentuk.
Kabinet bayangan biasanya efektif berjalan dalam sistem pemerintahan
parlementer atau sistem kepartaian dua partai dengan hanya ada dua fraksi di
parlemen: fraksi partai atau koalisi partai pemerintah, dan fraksi partai
atau koalisi partai oposisi.
Di Inggris, misalnya, kursi anggota parlemen
"terbelah" menjadi dua: di sisi kanan seorang parliament speaker adalah fraksi pemerintah, dan di sisi kiri
parliament speaker adalah fraksi oposisi. Hal ini penting karena dalam sistem
politik Westminster-seperti terjadi di Inggris, Australia, Kanada, atau
Selandia Baru-struktur susunan komposisi kabinet bayangan yang dibentuk oleh
partai non-pemerintah hampir benar-benar mereplikasi kabinet pemerintahan
dari partai atau koalisi partai yang memimpin. Artinya, menteri pemerintahan
benar-benar "diawasi" oleh menteri bayangan alias shadow minister.
Wacana KPP tempo hari untuk memekarkan sebelas komisi DPR yang
ada-"disesuaikan" dengan arsitektur kementerian Jokowi-JK-dan
rencana revisi atas 122 undang-undang adalah pertanda penting bekerjanya
nalar shadow. Lembaga legislatif
bersifat otoritatif akibat penguasaan palu sidang di bawah kendali segelintir
oligark yang terkonsolidasi tunggal. Pengambilan keputusan parlemen kolektif
kolegial parlemen hanya dalam proses, sementara keputusan sidang sudah bisa
ditebak karena kursi "kiri" lebih banyak daripada kursi
"kanan" di semua alat kelengkapan hingga pimpinan dewan.
Jika koalisi Jokowi-JK tak terkonsolidasi dan agenda pemerintah
tak bertemu dengan kepentingan politik koalisi partai non-pemerintah, yang
dominan dan terus mengkristal terkonsolidasi, Jokowi-JK berpotensi terganjal.
Akibat kekuatan kursi koalisi pemerintah di parlemen yang tak sampai 50
persen, jadilah mereka minority
government (Linz, 1990). Jokowi
mau tak mau harus mampu mengubah divided government ini menjadi divided we govern. Jika tidak, mungkin
saja pengalaman Amerika pada 2013 lalu terjadi di Indonesia: government shutdown. Pelayanan
birokrasi pemerintahan berhenti akibat deadlock antara pemerintah dan
parlemen dalam penyusunan anggaran negara alias APBN. Jokowi perlu mengubah
komunikasi politik antara pemerintah dan parlemen yang terbelah menjadi "terbelah kita memerintah". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar