Perppu
dan Pilkada Serentak
Marwan Mas ; Guru
Besar Ilmu Hukum
Universitas Bosowa 45, Makassar
|
KORAN
SINDO, 08 November 2014
Sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Pilkada)
ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu (2/10/ 2014),
sejak itu berlaku secara positif.
Perppu setara dengan UU sehingga menjadi dasar penyelenggaraan
pilkada. Minimal sampai perppu ditetapkan nasibnya oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dalam masa sidang pada 2015, apakah diterima atau ditolak. Pasal
22 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 menegaskan, perppu harus mendapat
persetujuan DPR. Jika tidak, perppu itu harusdicabut. Tetapi, biladisetujui,
perppu menjadi UU.
Menjadi perdebatan kalau perppu ditolak DPR, apakah secara
otomatis berlaku kembali UU Nomor 22/2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah
yang di dalamnya mengatur pilkada di DPRD? Dalam ranah hukum tata negara,
suatu UU yang dibatalkan oleh perppu yang ternyata kemudian perppu itu
ditolak DPR, UU bersangkutan tidak secara otomatis berlaku.
Makna penolakan perppu oleh DPR berarti perppu itu ditolak
secara keseluruhan menjadi UU sehingga akibat hukum yang dihasilkan oleh
perppu yang ditolak DPR juga tidak berlaku. Untuk memberlakukan kembali
sebuah UU, DPR harus memulai lagi dari awal. Misalnya, ada kesepakatan
politik oleh fraksi di DPR untuk membahasnya lagi sesuai mekanisme tata
tertib DPR.
Inilah yang pertama dalam sejarah penerbitan perppu negeri ini,
presiden mendesain perppu dengan mencabut berlakunya sebuah UU. Padahal
selama ini perppu hanya menangguhkan berlakunya suatu UU atau ketentuan UU,
atau membuat ketentuan baru untuk mengisi kekosongan hukum dengan
pertimbangan “ada kegentingan yang memaksa” (Pasal 22 ayat 1 UUD).
Jika Perppu Pilkada ditolak DPR, selain mengosongkan hukum
lantaran mencabut UU Nomor 22/2014, juga “mengacaukan kepastian hukum”. Lebih
celaka kalau Presiden Jokowi memenuhi permintaan Fraksi Koalisi Indonesia
Hebat (KIH) agar segera menerbitkan perppu yang mencabut pemberlakuan UU
Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) sebagai imbas
perseteruan dalam memilih pimpinan DPR.
Artinya, Perppu Pilkada yang mencabut suatu UU menjadi preseden
buruk jika presiden saat ini dan berikutnya menjadikannya sebagai dasar untuk
melawan UU yang tidak sesuai kehendak politiknya meski sudah disepakati
bersama DPR. Mayoritasnya Fraksi Koalisi Merah Putih (KMP) plus Fraksi Partai
Demokrat di parlemen bukan tidak mungkin “obral perppu” akan jadi tontonan
dalam pemerintahan Jokowi-JK.
Pilkada Serentak
Taruhlah, Perppu Pilkada itu disetujui DPR menjadi UU, satu
aspek yang patut dipikirkan adalah ada desain “pilkada serentak” secara
regional (provinsi) dimulai pada 2015. Pada 2019 sesuai putusan MK juga
dilaksanakan pemilu legislatif dan pemilu presiden secara serentak.
Tetapi, pemilu serentak akan dilakukan secara nasional pada
2020. Termasuk pemilihan kepala desa serentak di kabupaten pada hari dan
bulan yang sama. Ketentuan pilkada serentak diatur pada Pasal 201 Perppu
Pilkada bahwa pemungutan suara serentak untuk memilih gubernur, bupati/wali
kota yang masa jabatannya berakhir pada 2015 dilaksanakan pada hari dan bulan
yang sama pada 2015.
Pemungutan suara serentak bagi gubernur, bupati/wali kota yang
masa jabatannya berakhir pada 2016, 2017, dan 2018 dilaksanakan pada hari dan
bulan yang sama pada 2018 dengan masa jabatan gubernur, bupati/wali kota
sampai 2020. Jika pemilihan tidak dapat diselenggarakan karena tidak ada
calon yang mendaftar, diangkat penjabat kepala daerah sampai terpilih
gubernur, bupati/wali kota pada 2020.
Pemungutan suara serentak yang masa jabatannya berakhir pada
2019 dilaksanakan pada hari dan bulan yang sama pada 2020. Pemungutan suara
serentak secara nasional dilaksanakan pada hari dan bulan yang sama pada
2020. Salah satu tujuan pilkada serentak adalah meminimalisasi anggaran dari
APBN dan APBD. Namun, berkaca pada pengalaman selama ini, justru biaya calon
kepala daerah yang sebetulnya sangat besar dan susah dikontrol meskipun ada
pembatasan.
Perppu juga mengatur pembatasan biaya kampanye calon kepala
daerah, tetapi sangat sulit dikontrol. Misalnya, biaya untuk parpol
pengusung, biaya mengumpulkan dukungan KTP bagi calon perseorangan, biaya
kampanye, biaya sosialisasi, biaya untuk tim sukses, termasuk biaya untuk
politik uang. Inilah yang selalu dikritik, bukan hanya pada besarnya dana
negara yang dipakai menyelenggarakan pilkada.
Justru dana pribadi calon yang jauh lebih besar lantaran
mengikuti kehendak demokrasi langsung (demokrasi liberal sesuai kehendak
pasar). Setelah terpilih, sudah pasti akan mencari akal untuk mengembalikan
dana besar yang dikeluarkan dengan menyalahgunakan kekuasaan.
Itulah yang sering saya sebut kalau secara terselubung “korupsi
sudah menjadi citacita”. Selain mengemplang APBN dan APBD, menerima suap dan
gratifikasi untuk pengeluaran izin usaha atau izin pertambangan juga balas
jasa proyek yang dibiayai APBN/APBD buat pengusaha hitam yang menjadi donatur
kampanye.
Tidak Berpasangan
Yang juga menarik dalam perppu adalah pemilihan tidak lagi
berpasangan dalam satu paket. Ini sudah pasti memberatkan kandidat lantaran
harus maju sendirian dan membiayai dirinya sendiri. Kecuali sudah main mata
dengan calon wakil kepala daerah yang akan diusulkan setelah terpilih.
Semua wakil yang diusulkan bisa berasal dari pegawai negeri
sipil, juga bisa nonpegawai negeri sipil. Itu diatur dalam Pasal 170 Perppu
bahwa pengisian wakil gubernur dan wakil bupati/ wakil wali kota dilaksanakan
paling lambat satu bulan setelah pelantikan dengan masa jabatan yang sama.
Untuk wakil gubernur diangkat oleh presiden atas usul gubernur
terpilih melalui menteri dalam negeri. Sedangkan wakil bupati/wakil wali kota
diangkat menteri dalam negeri atas usul bupati/walikota terpilih melalui
gubernur. Pilihan pilkada serentak yang hanya memilih gubernur dan
bupati/wali kota tanpa pasangan tentu mengubah konstelasi dan atmosfer
politik di daerah.
Selain memberatkan calon kepala daerah dari sisi pembiayaan dan
sosialisasi, mengubah partisipasi rakyat juga menutup kasak-kusuk sosok
tertentu yang selama ini hanya memburu wakil. Tetapi, secara gagasan perppu
ingin meredam konflik antara kepala daerah dan wakilnya menjelang akhir
jabatan lantaran ingin maju sendiri-sendiri untuk periode kedua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar