Pembunuhan
dan Mutilasi, Kenapa Terjadi?
Nadia Egalita ; Mahasiswi
Faculty of Art, Monash University Australia;
Belajar tentang Media Studies and Social Behaviour
|
JAWA
POS, 08 November 2014
PEMBUNUHAN yang disertai tindakan mutilasi kembali memakan
korban orang Indonesia. Setelah sebelumnya dialami Mayang, seorang
transgender asal Indonesia yang dibunuh dan dimutilasi pacarnya di Australia,
kini kembali terjadi kasus mutilasi di Hongkong dengan korban dua perempuan
WNI asal Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara.
Seneng Mujiasih alias Jesse Lorena Ruri, 30, dan Sumarti
Ningsih, 25, dilaporkan tewas mengenaskan karena dibunuh Rurik Geoge Caton
Jutting, 29, banker asal Inggris, di apartemen mewah miliknya. Jutting yang
sehari-hari dikenal pekerja keras dan kaya diketahui memiliki sikap
temperamental dan sering bertindak kasar kepada para perempuan yang
di-booking-nya. Di berbagai berita di dunia maya, Jutting disebut-sebut
sebagai sosok nyata Batemen, seorang tokoh dalam film American Psycho yang sadis dan senang memutilasi para PSK yang
menjadi korbannya.
Kenapa seseorang yang memiliki status sosial terhormat dan hidup
bergelimang harta tiba-tiba bisa berubah menjadi monster yang menakutkan?
Pertanyaan ini menarik untuk dikaji lebih mendalam karena meski pelaku kasus
pembunuhan dan mutilasi selama ini senantiasa tertangkap dan dijatuhi hukuman
berat, kenapa para pelaku seolah tak pernah jera untuk melakukan hal yang
sama? Apa sebetulnya yang menjadi pendorong seseorang tega melakukan tindakan
sadis membunuh dan memotong-motong tubuh korban seolah yang mereka hadapi
bukan manusia?
Faktor Penyebab
Membunuh dan memutilasi korban sesungguhnya adalah tindak
kejahatan yang mengerikan dan sulit diterima nalar. Dalam pandangan psikologi
klasik, kekerasan, perilaku sadistis –termasuk di dalamnya tindak kejahatan
memutilasi korban– atau yang disebut perilaku agresif manusia pada dasarnya
diyakini terjadi karena insting bawaan yang telah terprogram secara
filogenetik. Menurut teori insting ini, agresi berasal dari dorongan fitrah
biologis manusia untuk bertindak merusak dan destruktif. Sigmund Freud
(1915), misalnya, mengemukakan bahwa agresi manusia pada dasarnya berasal
dari insting thanatos atau
keinginan untuk mati (death wish)
yang dimiliki setiap manusia secara alamiah. Sedangkan, menurut Konrad
Lorenz, agresi sesungguhnya bersumber dari semangat bertempur (fighting spirit) yang dimiliki manusia
seperti juga spesies binatang yang lain (Khisbiyah,
2000).
Memang, pada masyarakat yang telah mengenal budaya dan
berbudaya, naluri biologis manusia untuk bertindak agresif sering kali dapat
diendapkan dan disublimasikan secara simbolis dalam bentuk peraturan dan
tatanan yang mendasari terwujudnya sebuah kehidupan bersama yang stabil,
harmonis, dan damai. Tetapi, ketika ada anggota masyarakat yang hidup dalam
situasi yang teralienasi, mengalami anomi, dan dibesarkan dalam lingkungan
sosial yang keliru, bukan tidak mungkin tatanan dan norma sosial-budaya yang
berlaku akan dihindari, bahkan disingkirkan karena desakan nafsu agresif yang
meledak-ledak di kepalanya.
Menurut Gupta dan Arora (2013), tindakan mutilasi kepada korban
oleh pelaku dipicu berbagai macam alasan. Pertama, seseorang memutilasi korban
karena ingin menghilangkan barang bukti atau membuat badan korban susah untuk
diidentifikasi. Kedua, dipicu temperamen dan agresi. Ketiga, semata merupakan
tujuan tindak kejahatan tersebut. Keempat, fetisisme, yaitu seseorang
melakukan tindakan mutilasi sebagai simbol kegemaran mereka.
Seseorang yang sejak kecil tumbuh dalam iklim kekerasan dan
terbiasa sejak awal melakukan tindak kekerasan untuk mencapai tujuan hidupnya
cenderung sangat rentan dan mudah dipengaruhi oleh faktor atau lingkungan
sosialnya. Seorang anak yang sejak kecil menjadi korban tindakan child abuse
tidak mustahil ketika dewasa tanpa sadar cenderung bertindak agresif dan
melakukan berbagai kekerasan kepada anak-istrinya atau orang lain seperti
yang sering dia alami di masa lalunya yang penuh penderitaan. Di mata
penganut teori behavioristik, agresi dan tindakan jahat seseorang pada
dasarnya terbentuk karena pembelajaran dari lingkungan sekitarnya melalui
pengalaman atau mengamati perilaku orang lain.
Erich Fromm dalam bukunya yang terkenal, The Anatomy of Human Destructiveness (1973), membedakan agresi
lunak dan agresi jahat. Agresi lunak bersifat defensif bagi manusia, biasanya
dimaksudkan untuk mempertahankan hidup spesies atau individu, bersifat
adaptif biologis dan hanya muncul jika memang ada ancaman. Sementara itu,
agresi jahat, yakni sifat kejam dan destruktif, merupakan karakter manusia
yang biasanya mempergunakan ancaman dan kekerasan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan instrumentalnya. Substansi agresi jahat ini dapat dikurangi
bila kondisi sosial ekonomi yang merugikan seseorang digantikan dengan
kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan penuh tuntutan dan kemampuan
murni manusia untuk perkembangan aktivitas diri manusia dan daya kreasi
mereka sesuai tujuan masing-masing (Fromm,
2000). Tetapi, ketika seseorang terus-menerus mengalami eksploitasi,
alienasi dan anomi, semua itu niscaya akan mengerdilkan dan menghilangkan
sifat-sifat baik manusia dan menjadikannya sebagai orang yang sadis dan
destruktif.
Seorang psikopat umumnya justru akan menikmati tindakan kejam
yang mereka lakukan, baik sebagai ekspresi balas dendam maupun media
penyaluran nafsu jahat yang ada di kepala mereka. Tindak membunuh dan
memutilasi korban, bagi manusia normal, tentu tidak mungkin dilakukan. Tetapi,
bagi seseorang yang tumbuh di lingkungan sosial yang salah, jangan kaget jika
kemudian menjelma menjadi sosok yang mengerikan: menjadi monster yang tak
segan menghilangkan nyawa orang lain hanya gara-gara dipicu hal yang sepele.
Media sebagai Penyedia
Referensi
Dalam berbagai kasus pembunuhan, yang menarik adalah kasus-kasus
itu tampaknya menjadi seperti dunia mode. Artinya, ketika di satu kasus media
memberitakan terjadinya tindakan pembunuhan dan mutilasi, lantas di
kesempatan berikutnya seolah-olah berita itu menjadi referensi bagi pelaku
untuk melakukan modus yang sama dengan menjadi pelaku kejahatan yang sama.
Pemberitaan media massa tentang tindak kejahatan di satu sisi
memang memberikan penjelasan sekaligus pemahaman kepada masyarakat agar lebih
hati-hati dalam menjalani kehidupan. Tetapi, di era revolusi informasi
seperti sekarang, pemberitaan kasus pembunuhan dan mutilasi di berbagai
wilayah jangan-jangan justru menjadi ilham bagi pelaku tindak kejahatan untuk
mengembangkan modus yang makin rapi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar