Luruskan
Orientasi Pengabdian DPR
Aditya Anugrah Moha ; Wakil
Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI
|
KORAN
SINDO, 08 November 2014
Bukan hanya memperburuk citra parlemen di mata publik, berlarut-larutnya
kisruh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa merusak seluruh tatanan. Tidak ada
yang diuntungkan.
Kerusakan itu bahkan akan dibebankan ke pundak rakyat dan
negara. Sebelum kerusakan itu terjadi, Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi
Indonesia Hebat (KIH) di DPR harus musyawarah dan bermufakat meluruskan
kembali fokus pengabdian DPR. Hingga pekan kedua November 2014, DPR RI terus
dihujani kecaman oleh berbagai elemen masyarakat karena konflik KMP versus
KIH tak kunjung terselesaikan. Pimpinan DPR yang sah secara legal dipegang
oleh KMP ditolak oleh KIH dengan membuat “DPR tandingan”.
Publik melihat DPR seperti anak kecil yang tak mampu
menyelesaikan persoalan akibat ulahnya sendiri. Di ruang publik, kesan yang
mengemuka bukan hanya citra parlemen yang semakin bertambah buruk, melainkan
juga DPR yang tidak produktif karena sibuk dengan urusannya sendiri. DPR
telah menjadi objek tontonan yang bukan hanya tidak lucu, tetapi justru
membuat marah banyak orang.
Alih-alih membahas program yang berkait langsung dengan
kepentingan rakyat, anggota DPR malah saling cakar. Publik sudah sampai pada
kesimpulan final bahwa DPR periode sekarang ini sudah terbelah; Kubu KMP di
sini dan KIH di sana. Publik akhirnya harus mengajukan pertanyaan klise ini;
ke arah mana orientasi pengabdian DPR? Kepada rakyat dan negara, atau kepada
dirinya sendiri?
Jika situasi di DPR sekarang ini dihadap-hadapkan dengan langkah
dan gerak pemerintah, pemandangannya tampak sangat kontras. Roda pemerintahan
baru berputar dengan kecepatan tinggi. Rakyat di berbagai pelosok Tanah Air
antusias menyimak dan menyikapi cara kerja KabinetKerjapimpinanPresiden Joko
Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) serta para menterinya.
Kesimpulannya, DPR seperti terisolasi dari dinamika rakyat dan
pemerintah. Kini pertanyaannya, sampai kapan DPR akan terus terisolasi dari
dinamika itu? Tidak ada jawaban lain kecuali DPR harus segera bersinergi
dengan pemerintah dan rakyat. Komunitas bangsa ini akan tampak sangat bodoh
jika DPR tidak bisa segera keluar dari perangkap kisruh sekarang ini.
DPR, seperti masyarakat kebanyakan, harus mampu move on. Apa
yang sedang berkembang di DPR saat ini adalah bibit instabilitas. Diyakini,
baik KMP maupun KIH menyadari betul risiko ini. Kalau berlarut-larut,
kecenderungan berikutnya adalah munculnya kesan ketidakpastian. Kalau
ketidakpastian itu berkepanjangan, bangsa dan negara ini bukannya bergerak
maju, melainkan set back.
Kepercayaan rakyat terhadap semua institusi negara, termasuk
pemerintah dan DPR, akan merosot. Bukan tidak mungkin rakyat akan memberi
respons dengan cara-nya sendiri. Persepsi komunitas internasional terhadap
Indonesia pun akan berubah jadi negatif.
Dalam konteks mewujudkan pembangunan berkelanjutan sangat
berbahaya jika negara selalu dalam kondisi tidak stabil atau berselimut
ketidakpastian. Semua potensi kekuatan ekonomi lokal akan dihantui keraguan.
Komunitas internasional, terutama investor asing, pun akan enggan menanam
modal di negara ini.
Fokus Pengabdian
Upaya memulihkan dan menegakan kembali wibawa DPR harus dimulai
dengan inisiatif dari semua unsur kekuatan politik di DPR. Semua perlu
bersepakat menyesuaikan persoalan oleh DPR sendiri. Wacana atau saran
penyelesaian konflik dengan melibatkan serta menghadirkan pihak eksternal,
seperti peran ketua umum partai politik (parpol) atau pimpinan lembaga tinggi
negara lainnya, sebaiknya tidak diikuti.
Kalau melibatkan unsur eksternal, para politisi di Senayan bisa
menjadi bahan olok-olok publik karena akan dinilai tak mampu
mengatasipersoalannya sendiri. Inisiatif itu harus diawali dengan iktikad
baik dan keberanian kubu KMP dan KIH di DPR duduk satu meja dan berdialog
denganagenda utamameluruskan orientasi pengabdian DPR kepada negara dan
rakyat.
Dengan proses pelurusan orientasi itu, DPR secara institusi
harus melihat keluar, menyelami aspirasi rakyat, serta menyimak apa saja
program yang sedang dan akan dijalankan pemerintah sebagai mitra. Dalam
kondisi DPR yang terbelah masing-masing kubu memang tetap bisa melihat
keluar.
Tetapi, tidak mungkin terbangun keseragaman dalam memahami
aspirasi rakyat atau menyikapi program-program yang akan maupun sedang
dijalani pemerintah. Padahal, demi disiplin anggaran misalnya, cara pandang
DPR yang utuh menjadi syarat mutlak. Pemerintah tidak mungkin harus
dipaksa-paksa untuk hanya mendengar KMP ataumenunggu persetujuanKIH di DPR.
Tak perlu ditutup-tutupi lagi bahwa alokasi kursi pimpinan alat
kelengkapan dewan (AKD) menjadi akar masalah yang menyebabkan KMP dan KIH
harus berhadap-hadapan di DPR. Kini, setelah masalah ini menyebabkan DPR
terbelah, baik KMP maupun KIH harus berinisiatif serta berdialog mencari jalan
keluar agar persoalannya tidak berkepanjangan.
Pijakan utamanya, KMPKIH harus saling menghormati posisi
masing-masing dan realistis terhadap fakta tentang siapa yang menggenggam
posisi mayoritas dan siapa di posisi minoritas. Tak kalah pentingnya adalah
menghormati dan mengakui hak masing-masing. KMP dan KIH harus mau saling
mendengar apa yang menjadi keinginan masing-masing kubu.
Jika sampai pada persoalan yang pelik, KMP dan KIH secara moral
harus berani menempuh cara musyawarah. Kedua kubu juga perlu menahan diri
untuk tidak saling menyerang di ruang publik serta bersepakat tidak lagi
menjadikan DPR tontonan yang menguras emosi publik. Kalau hari-hari
sebelumnya, hampir semua rincian masalah diobral ke ruang publik, sudah
waktunya untuk melokalisasi sejumlah masalah teknis di ruang rapat.
Tujuannya, ruang publik tidak melulu dibisingkan oleh silang
pendapat atau saling serang kubu KMP versus kubu KIH. Sangat elegan jika
masingmasing tidak mengedepankan ego kubu. Ketika DPR secara institusi
melihat keluar akan tampak bahwa pemerintah sedang bergerak sangat cepat
untuk menangani sejumlah persoalan kenegaraan.
Salah satu persoalan terkini yang harus digarap bersama oleh
pemerintah dan DPR adalah upaya menyehatkan postur anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN). Opsi yang dipilih pemerintah adalah mengoreksi
kebijakan atau politik subsidi, utamanya subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Sebelum memfinalkan rumusan kebijakan baru tentang subsidi BBM, pemerintah
tentu perlu berkonsultasi dengan DPR.
Kalau DPR-nya belum utuh, kepada siapa pemerintah harus
berkonsultasi? Apalagi, pemerintahan Jokowi-JK mengeskalasi menu proyek di
sektor kemaritiman dan perikanan. Karena proyek di sektor kemaritiman dan
perikanan itu akan melibatkan kepentingan puluhan juta warga negara,
pandangan, saran dan rekomendasi DPR yang utuh pasti sangat dibutuhkan
pemerintah.
Begitu pula di bidang kesehatan. Kasus meninggalnya bayi dalam
perawatan inkubator di sebuah rumah sakit di Kota Makassar, Sulawesi Selatan,
beberapa waktu lalu misalnya. Seharusnya DPR melalui Komisi IX sudah wajib
turun lakukan fungsi pengawasan.
Tetapi, karena alat kelengkapan DPR baru terbentuk akhirnya
harus menunggu prosesnya. Padahal rakyat sudah menjerit, bahkan merenggang
nyawa. DPR harus segera move on
agar bisa berbaur dalam dinamika pembangunan bangsa. Demi negeri yang sama
kita miliki. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar