Menang
dan Kalah dalam Politik
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti ; Mantan
Dubes RI untuk AS;
Mantan Menko Perekonomian
|
KOMPAS,
08 November 2014
SAYA tak akan pernah lupa pada kejadian mendadak di Gedung
Putih, Washington DC, pada pertemuan terakhir antara Presiden Bill Clinton
dan Presiden Abdurrahman Wahid. Sesudah pertemuan ketiga itu, Gus Dur
dilengserkan MPR. Tak lama kemudian, sebelum balik ke Indonesia (karena tugas
sebagai duta besar telah selesai), saya sempat mengantar presiden keempat RI
ini ke pemeriksaan kesehatan rutin di Johns Hopkins Hospital, Baltimore.
Mengagetkan. Tak seperti biasa, Clinton mengantar Gus Dur sampai ke pintu
mobil KBRI. Seperti biasa saya mendampingi Gus Dur di sebelah kiri beliau;
Clinton mendampingi rapat beliau di sebelah kanan dan masih sempat mengobrol
kecil. Di pintu mobil Clinton menjabat tangan Gus Dur dengan erat dan
menyampaikan pesan: ”Mr President, I
wish Indonesia a great success. A successful Indonesia will help to
characterize the 21st century. Indonesia is now world’s third largest
democracy. Indonesia is the fourth largest population. Indonesia has the
largest Moslem population in the world. Mr President, if Indonesia can show
to the world that Islam and democracy are compatible, you show the way.”
Saya bangga mendapat peluang sebagai Menko Perekonomian pada
Kabinet Gotong Royong Presiden Megawati Soekarnoputri untuk turut
mempersiapkan Pemilu Presiden 2004 yang merupakan langkah awal perjalanan
demokrasi terbuka di Indonesia. Tidak sekadar menyiapkan dana serta logistik
yang luar biasa besar dan kerumitannya, tetapi juga mengisi kekosongan di
tingkat menko dan beberapa menteri. Maklum, hampir separuh kabinet terjun
dalam pemilu itu, bahkan sebagian sebagai calon presiden/wakil presiden.
Sambil saya merampungkan program IMF warisan Presiden Soeharto
(yang terdiri atas sekitar 130 kegiatan besar), bersama Menkeu Boediono dan
Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, Indonesia telah berhasil melaksanakan
Pemilu 2004 yang langsung dan terbuka itu dengan tertib dan damai. Saya
membawa satu bus para duta besar negara sahabat keliling Jakarta hampir
sepanjang hari. Mereka kagum atas partisipasi rakyat yang bersemangat tanpa
ketegangan apa pun. Hasil kegiatan pemilu ini diolah dengan komputer di
kantor pusat KPU dan di auditorium besar Hotel Borobudur. Termasuk kegiatan
hitung cepat yang berlangsung mulus dan diikuti ribuan wartawan sejumlah
media dalam dan luar negeri.
Dengan kesertaan para pemilih dan rakyat Indonesia yang pada
umumnya bersemangat dan ikhlas ini, saya menyaksikan hal serupa pada Pemilu
2009 dan Pemilu 2014. Saya menyaksikan bagaimana harapan Clinton kepada Gus
Dur terbukti di tengah gabungan reformasi/desentralisasi/demokratisasi di
negara yang kita cintai ini.
Sumbangan pikiran
Sambil merenung dan menganalisis, saya punya beberapa sumbangan
pikiran yang—dengan ucapan maaf—ingin disampaikan kepada yang menang atau
yang kalah dalam pergulatan politik beberapa bulan terakhir ini.
Betul bahwa politik adalah penentu ”siapa yang dapat apa”. Itu
sebabnya tak jarang yang menang dengan gampang bersikap ”yang menang dapat semua dan apa saja pada setiap saat”. Namun,
jangan juga dilupakan, politik mencerminkan kepiawaian, bahkan seni, buat
mencari kompromi. Atau, tak ada yang tak mungkin dalam politik. Sejarah kita
mencatat, bagaimana para pendiri RI kuat di dalam kemauan berkompromi saat
membahas Mukadimah dan batang tubuh UUD 1945 beserta pasal-pasal
penjelasannya serta konflik fisik PRRI–Permesta dan pemerintah pusat yang
diakhiri dengan kompromi pada tingkat militer di bawah pimpinan Jenderal AH
Nasution.
Karena politik melibatkan berbagai aktor, mulai dari calo-calo
politik di bagian paling bawah, lalu kelompok lobi yang berkerumun di seputar
politisi, untuk memengaruhi para negarawan di bagian teratas, yang menonjol
adalah kepentingan jangka pendek. Makin demokratis suatu sistem politik,
makin menonjol peran kepentingan jangka pendek di dalam pergulatan politik.
Situasi seperti ini pernah kita lihat dalam praktik dagang sapi yang mencuat
pada era Demokrasi Parlementer 1950-1957. Sejak Pemilu 2004, praktik itu
berkecamuk kembali di hampir semua lembaga eksekutif, legislatif, dan
yudikatif.
Kepentingan politik jangka pendek ini bertebaran di dalam sistem
politik, mulai dari yang bersifat oportunisme, lalu yang bersifat
pragmatisme, dan sedikit saja yang tak bersifat transaksional—yang ditujukan
untuk merumuskan macam kebijakan bagi kelangsungan kehidupan bangsa-negara.
Itulah yang dicoba kekang Presiden Soekarno dengan sistem Demokrasi
Terpimpinnya dengan didekritkannya ”kembali ke UUD 1945” pada 1959. Sejak
saat itu sampai dengan saat Reformasi, GBHN digunakan mengendalikan dan
meredam politik dagang sapi itu.
Tak heran, politik kemudian sering diwarnai rujukan yang paling
rendah nilainya karena tarikan kepentingan jangka pendek itu. Maklum, yang
menentukan keberhasilan bertahan di dalam posisi sebagai pemenang adalah
keberhasilan memuaskan beragam kepentingan jangka pendek pendukungnya dan
peserta koalisi. Pihak yang kalah pun akan melakukan oposisi dengan serangan
bersifat kepentingan jangka pendek.
Karena itulah, sekali koalisi politik mau ditarik keluar dari
oportunisme atau pragmatisme, koalisi itu terancam keutuhannya. Ini terjadi
saat pihak tertentu di koalisi ingin memanfaatkan koalisi buat mengejar
kepentingan berjangka lama atau yang bersifat mendasar, bahkan yang bersifat
ideologis. Pemerintah Orde Baru selalu mengingatkan akan bahaya besar dari
terseretnya kepentingan yang bersifat SARA itu. Ini sebenarnya telah
diletakkan landasannya dalam perumusan Pancasila dan Mukadimah UUD 1945.
Politik selalu muncul sebagai peristiwa pisau bermata dua. Yang
menang selalu harus siap buat kalah; yang kalah selalu harus pandai
memanfaatkan peluang terbuka. Apalagi, kalau sistem kepartaian masih diwarnai
sifat ”aliran politik” dan/atau dikuasai oligarki para elite politik, koalisi
sulit bertahan lama dalam keadaan utuh seperti yang ada pada awal
perjalanannya. Tipu muslihat, bahkan tindakan menggunting dalam lipatan atau
menohok kawan seiring, merupakan hal biasa dalam politik. Itulah sumber dari
kesan bahwa politik itu kotor. Bagaimanapun kukuhnya koalisi, selalu terbuka
peristiwa bajing loncat atau desersi.
Oleh karena itu, kemenangan saat ini bukan jaminan buat
kemenangan di mana-mana, di dalam kehidupan politik, apalagi pada saat pemilu
berikutnya. Ini berlaku selama periode antarpemilu, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah. Patut diingat: melontarkan janji sewaktu kampanye
tak akan mudah dipenuhi pada saat menang, apalagi pada bulan-bulan awal.
Perlu selalu waspada bahwa antusiasme dan kekecewaan mudah berganti posisi
seperti membalik telapak tangan. Politik adalah kuda liar yang sulit
ditunggangi.
Itu terjadi karena politik memerlukan aneka sumber untuk
keberhasilan dalam memenuhi janji-janji tadi. Sumber politik bukan sekadar
dana, tenaga, waktu, atau kapasitas organisasi, melainkan juga dukungan
informasi, opini publik, loyalitas para pemilih. Yang menang atau yang kalah
tak bisa selalu yakin bahwa semua sumber itu akan selalu ada dan pada saat
diperlukan. Isu yang bermunculan dari dalam dan luar akan berpengaruh kepada
perilaku sumber tersebut sebagai pemangku kepentingan. Di tengah globalisasi:
sumber dana yang diperlukan suatu ekonomi bisa segera masuk, tetapi juga bisa
segera keluar. Di tengah demokrasi: opini publik bisa berubah cepat.
Yang terpenting
Yang terakhir dan terpenting, sikap pemenang yang ikut garis the winner takes all rasanya tak cocok
dengan budaya bangsa Indonesia. Rezim demi rezim sejak kemerdekaan
menunjukkan bagaimana sikap itu merupakan sumber keruntuhan. Saat rezim itu
krisis dan jatuh, pada saat itulah rakyat Indonesia biasanya akan balik
bersatu ke garis budaya politik musyawarah-mufakat. Demikian dari masa ke
masa, seperti sebuah dalil tentang bandul jam penunjuk perubahan waktu yang
terus saja bergoyang ke kiri ke kanan. Saat Proklamasi 1945 didengungkan,
saat itu persatuan yang utuh dari rakyat Indonesia muncul. Ini juga terjadi
saat Konfrontasi Irian Barat dan krisis dahsyat Gestapu. Terakhir, saat
Indonesia diserang krisis multidimensi 1997-2001.
Saya kira pelajaran sejarah politik Indonesia di atas
menunjukkan keperluan kita semua untuk selalu ingat pesan: kekuasaan, seperti
apa pun wujudnya, selain memiliki sumber awal, juga pasti ada sumber akhirnya
yang merongrong eksistensinya. Maka, jangan tahu apa itu kekuasaan sesudah
kekuasaan itu lewat. (Seperti juga: jangan tahu muda saat sesudah tua, atau
tahu sehat saat sakit). Harus selalu ingat pada saat menang dan saat kalah
bahwa sebetulnya kita berhadapan muka ke muka dengan nasib, destiny, yang
penuh rahasia. Sejarah selalu berjalan ke depan.
Demokrasi memerlukan keadaban, yang buat bangsa Indonesia adalah
hidup secara musyawarah-mufakat dan dengan jiwa gotong royong. Landasan
perjuangan bangsa ini telah disimpulkan Sumpah Pemuda 1928. Reformasi,
demokratisasi, desentralisasi sejak 1998 sudah berhasil selamat menjalani
Pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014. Sayang kalau negara-bangsa yang mau
berubah dan yang bersemangat ini justru berhadapan dengan aktor politik yang
tak mau berubah, malah mau kembali ke masa lalu demi kekuasaan berlandaskan
rujukan bernilai rendah. Semoga generasi milenium yang berpuluh juta terjun
sebagai pemilih pemula pada Pemilu 2014 belajar dari masa lalu NKRI yang kaya
pengalaman itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar