Mendobrak
Formalitas
Anton Kurnia ; Lulusan
SMA, Editor-in-Chief Penerbit Serambi
|
KORAN
TEMPO, 01 November 2014
Salah satu karakter menonjol dari Kabinet Kerja yang dipimpin
Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah keberanian mendobrak formalitas. Itu
sudah tampak sejak pengumuman para menteri di Istana Merdeka, 26 Oktober
lalu. Pada momen itu, para menteri terpilih tampil senada dengan kemeja putih
yang tampak kasual dengan lengan tergulung dan sebagian dibiarkan lepas
ujungnya, tak dimasukkan ke pantalon. Gaya bersahaja ini memberi kesan
kesiapan bekerja keras tanpa terhambat oleh formalitas. Gestur yang
seakan-akan menafikan aturan formal itu memang telah lama melekat pada sosok
Jokowi.
Saat pelantikan anggota kabinet, 21 Oktober, suasana formal yang
biasanya disimbolkan dengan seragam setelan jas para menteri (khususnya untuk
pria) juga diterobos dengan kode busana yang berbeda, tapi justru sebetulnya
lebih bernuansa Indonesia, yakni batik bernuansa cokelat yang sengaja tidak
dibikin seragam. Selain mencerminkan budaya khas Indonesia (batik) dan
melambangkan keragaman Nusantara (tampak dari corak yang beraneka), baju
batik lebih nyaman dipakai ketimbang setelan jas double breast gaya Eropa di
iklim tropis seperti Indonesia yang cenderung panas.
Aroma keberanian mendobrak formalitas juga tampak dari para
menteri yang dipilih Jokowi sebagai pembantunya. Ini terutama berlaku bagi
sosok Susi Pudjiastuti, pengusaha perikanan dan penerbangan berlatar
otodidak, yang dipercayai memimpin Kementerian Perikanan dan Kelautan.
Penunjukan Susi memicu kontroversi karena dia "hanya" lulusan SMP.
Ditambah lagi dengan kepribadiannya yang nyeleneh: bertato (saat dilantik
menjadi menteri, rajahan di betisnya tersingkap dari balik kain batiknya) dan
perokok (dia diwawancarai wartawan sambil lesehan dan merokok di halaman
Istana Merdeka).
Pendobrakan formalitas yang sesuai dengan semboyan "revolusi
mental" itu tentu mengejutkan mereka yang terbiasa oleh simbol-simbol
formal dan kultur basa-basi yang menafikan substansi.
Sayangnya, alih-alih menyorot program kerja, keributan di
seputar Susi lebih mengarah ke sosok pribadi. Hal itu berkaitan pula dengan
kebiasaannya yang konon kerap tampil tanpa bra-yang dianggap tak senonoh-dan
pernikahannya yang ketiga dengan seorang pilot berkebangsaan Jerman-yang
dianggap sebagai bukti bahwa dia tidak nasionalis. Tapi yang paling
kontroversial tentu saja pendidikan formalnya yang dianggap amat rendah dan
karena itu kompetensinya diragukan.
Sesungguhnya, fenomena Susi, yang tak menyelesaikan pendidikan
SMA untuk terjun ke sekolah kehidupan sebagai entrepreneur dan merintis usaha
dari bawah sebagai pengepul ikan di pantai Pangandaran, hingga berhasil
menjadi eksportir udang dan memiliki maskapai penerbangan Susi Air, justru
menunjukkan kehebatannya sebagai seorang manajer serta pribadi yang gigih dan
mau bekerja keras demi mencapai keberhasilan. Seperti pernah dinyatakan Tan
Malaka, ijazah hanyalah tanda kecakapan. Namun keberhasilan dicapai melalui
kemauan untuk bekerja dan pengabdian.
Selayaknya, kita sambut kabinet ini dengan harapan agar mereka
mampu bekerja keras demi kesejahteraan rakyat. Selanjutnya, mari kita nilai
para menteri dari kinerja mereka, bukan dari simbol-simbol formal yang acap
menipu dan menyesatkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar