Merenungi
Epistemologi Bencana
Eko Yulianto ; Peneliti Paleotsunami dan Kebencanaan LIPI
|
KOMPAS,
24 November 2014
MESKI
tak menyebabkan jatuhnya korban jiwa, gempa kuat dengan skala magnitudo 7,3
di Laut Maluku Utara pada 15 September 2014 kembali mengejutkan masyarakat. Media
cetak, media elektronik, dan media sosial nasional berlomba-lomba memuat
penjelasan para ahli dan para birokrat penanggulangan bencana tentang mengapa
gempa ini bisa terjadi. Pola ini selalu terulang dalam setiap kejadian
bencana. Meski mungkin menarik dari sudut pandang keilmuan, penjelasan para
ahli itu justru lebih sering melahirkan ketakutan generik di masyarakat. Ini
karena penjelasan-penjelasan itu sering menyebutkan secara tersamar ataupun
terbuka bahwa wilayah Indonesia adalah rawan bencana. Posisi geografis dan
geologis Indonesia dijadikan alasannya. Namun, apakah dengan posisi geografis
dan geologis itu, bencana, khususnya yang selama ini disebut sebagai bencana
alam, adalah sebuah keniscayaan di wilayah Indonesia?
Egoistik manusia
Sesungguhnya
bencana bukanlah bencana alam atau bencana non-alam, atau bencana sosial
seperti didefinisikan di dalam UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Kalau ini anggapan kita dan yang kita ajarkan kepada masyarakat dan anak-
anak kita, ibaratnya kita sedang mengajarkan kepada mereka untuk menyalahkan
kodok saat terjatuh ketika sedang berjalan. Karena, perilaku alam bersifat
netral. Anggapan baik dan buruknya muncul karena pandangan egoistik manusia.
Alam dikodratkan bersifat pasif sehingga hanya bisa merespons. Alam ibarat
sebuah cermin yang hanya bisa memantulkan apa yang dihadapkan kepadanya. Jika
kebaikan yang kita hadapkan kepadanya, kebaikan pula yang akan kita terima.
Keburukan yang kita sodorkan kepadanya, keburukan pula yang kita dapatkan.
Gunung
meletus, gempa bumi, longsor, banjir, tsunami, dan angin puting beliung sudah
ada sejak ada bumi, jauh sebelum kehadiran manusia. Semua itu termasuk kodrat
yang telah ditetapkan bagi bumi. Ada atau tidak ada manusia, bumi tetap akan
berperilaku sesuai kodratnya itu. Gunung-gunungnya tetap akan meletus,
gempa-gempanya tetap akan terjadi, tsunaminya tetap berulang kali melanda
daratan, longsornya tetap menyambangi lereng-lereng terjal, hujan-hujan
derasnya setia mengguyur wilayah-wilayah tropisnya, angin puting beliungnya
akan berulang kali mengunjungi. Karena, itu semua adalah ”napas bumi”, bukti
bahwa bumi ini hidup.
Sebagai
gambaran nyata, tsunami Aceh pada 26 Desember 2004, yang merenggut ratusan
ribu nyawa manusia, bukanlah yang pertama kali terjadi. Hasil penelitian
geologi terkini memberikan bukti bahwa tsunami serupa pernah terjadi di
tempat yang sama sekitar 550, 1.700, dan 2.400 tahun yang lalu.
Seandainya
penelitian geologi dilakukan untuk rentang waktu yang lebih panjang, mungkin
kita akan mendapatkan bukti untuk ratusan tsunami serupa yang terjadi dalam
rentang waktu ribuan, ratusan ribu, atau jutaan tahun yang lalu. Yang
membedakan tsunami 2004 dengan tsunami-tsunami sebelumnya adalah tsunami
sebelumnya tidak mengakibatkan bencana. Karena sangat sedikit manusia atau
tidak ada manusia sama sekali yang tinggal di dataran pantai saat
tsunami-tsunami itu terjadi.
Gempa,
bahkan dengan magnitudo terbesar sekali pun, tidak ada dan tidak akan
mengakibatkan kematian. Yang menyebabkan kematian adalah robohnya bangunan,
terjadinya tanah longsor, kebakaran, atau hal lain akibat guncangan gempa.
Jadi, kalau kita mampu membuat bangunan dan rumah yang tahan atau ramah
gempa, niscaya kita tidak akan menjadi korban gempa akibat tertimpa rumah
kita sendiri. Kalau kita tidak tinggal di dataran pantai yang rawan tsunami,
tetapi di atas bukit di belakangnya, niscaya kita tak akan jadi korban
tsunami. Kalau kita tak membangun rumah di lereng terjal, niscaya kita tak
akan menjadi korban tanah longsor. Kalau kita tidak menebangi hutan secara
membabi buta, tidak tinggal di bantaran sungai, dan tidak membuang sampah di
sungai, niscaya kita tidak akan kebanjiran. Kalau kita berlaku baik dan
sewajarnya kepada semua orang tanpa pandang bulu, niscaya tidak akan ada
kerusuhan sosial.
Pada
sisi lain, mekanisme yang menghasilkan gempa-gempa inilah yang mengangkat
daratan Indonesia dari dasar lautan sejak jutaan tahun lalu, membentuk pulau-pulau,
bukit, dan gunung dengan segala keindahan di dalamnya. Gempa-gempa itu pula
yang retakan-retakannya menjadi ruang-ruang yang saat ini ditempati oleh
minyak bumi, emas, perak, tembaga, dan berbagai bahan tambang yang lain.
Gunung
meletuslah yang membuat tanah-tanah menjadi subur dan air tersimpan melimpah
di dalam tanahnya. Longsor dan banjirlah yang menghamparkan sedimen dan
membentuk tanah-tanah datar yang subur dan nyaman ditinggali. Curah hujan
yang sangat tinggilah yang menghidupkan tumbuhan setelah matinya dan
menghidupi semua makhluk lainnya. Lalu, adilkah kalau kita menyalahkan
perilaku-perilaku bumi sebagai penyebab terjadi bencana?
Membangkitkan kesadaran
Maka,
jika kita tidak menghendaki gempa, gunung meletus, longsor, dan banjir itu karena
menuduhnya sebagai biang keladi semua bencana yang terjadi selama ini,
adilnya kita mesti menolak anugerah minyak, segala bahan tambang, kesuburan
tanah, melimpahnya air, serta kekayaan flora dan fauna yang ada di bumi
Indonesia saat ini. Kalau hingga saat
ini gempa, tsunami, tanah longsor, banjir, musim kemarau panjang, angin
puting beliung, kebakaran, kerusuhan sosial, dan kegagalan teknologi masih
menyebabkan banyak kerugian dan korban, semua itu terjadi karena perilaku
kita. Ini berarti masih banyak perilaku kita yang harus diperbaiki. Selama
perilaku kita masih belum baik kepada alam sekitar dan kepada sesama kita,
niscaya bencana-bencana masih akan terus terjadi.
Banyak
dari kita yang bahkan ”menyalahkan” Tuhan ketika bencana menimpa. Katanya,
Tuhan sedang murka atau sedang menghukum karena perilaku buruk kita. Namun,
bukankah kasih sayang-Nya jauh mendahului murka-Nya? Dia jadikan bencana itu
pantulan cermin atas perilaku kita. Ia jadikan bencana itu jalan untuk
membangkitkan kesadaran kita untuk segera mengubah perilaku buruk kita
menjadi perilaku baik. Karena itu, cermin tersebut masih akan terus
disodorkan oleh-Nya sepanjang perilaku kita kepada diri kita sendiri,
lingkungan, dan sesama manusia masih buruk. Dia menginginkan manusia bisa hidup
nyaman di bumi yang sejak semula diciptakan dipenuhi-Nya dengan berbagai
keindahan.
Jadi,
untuk bagian bumi yang saat ini disebut sebagai wilayah Indonesia, kejadian
gempa, tsunami, letusan gunung api, banjir, dan tanah longsor adalah sebuah keniscayaan.
Karena, begitulah kodrat bagi bumi tempat kita tinggal ini telah ditetapkan
oleh-Nya. Semua fenomena itu adalah tanda-tanda bahwa ”bumi kita hidup”.
Namun, bahwa kejadian-kejadian itu akan mengakibatkan bencana bagi kita,
barulah sebatas kemungkinan.
Sebagai sebuah perenungan, dapatlah disampaikan bahwa bencana
sesungguhnya adalah jalan Tuhan untuk membangkitkan kesadaran. Adalah tangan
yang membuat seorang anak mampu merangkak dari semula duduk, lalu berdiri,
berjalan tertatih dan kemudian sempurna, lalu berlari. Inti dari bencana
bukanlah kerugian, kehilangan, kesakitan, kepedihan, atau penderitaan. Ia
adalah sebuah cermin besar yang disediakan. Ia mestinya membangkitkan
kesadaran tentang masih banyaknya noda yang mengotori wajah-wajah peradaban
kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar