Stimulus
Fiskal Pun Kini Tersedia
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik
Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS,
24 November 2014
PASAR
menyambut baik kebijakan pengalihan subsidi bahan bakar minyak menjadi
kegiatan ekonomi yang produktif melalui kenaikan harga eceran BBM dari Rp
6.500 menjadi Rp 8.500 per liter. Akhir pekan lalu, rupiah ditutup menguat ke
Rp 12.150 per dollar AS, sedangkan Indeks Harga Saham Gabungan naik ke 5.112.
Yang
menarik, pada saat yang sama harga minyak dunia tengah terjun bebas hampir 30
persen dalam lima bulan terakhir. Harga minyak Brent yang biasa dipakai
sebagai acuan internasional turun dari level tertinggi tahun ini, dari 115
dollar AS per barrel (Juni) menjadi 87 dollar AS per barrel (Oktober), dan
sekarang 80 dollar AS per barrel (November). Karena penurunan harga minyak
dunia inilah, harga BBM nonsubsidi (pertamax) kini diturunkan dari Rp 10.500
per liter menjadi Rp 9.950 per liter.
Pertanyaannya,
dengan harga BBM jenis premium Rp 8.500 per liter, apakah pemerintah masih
memberi subsidi? Kalau masih, berapa jumlahnya? Selanjutnya, berapa dana
subsidi yang bisa dihemat sehingga bisa menciptakan ruang fiskal?
Mari
kita berhitung sedikit. Harga pertamax saat ini Rp 9.950 per liter, maka
harga keekonomiannya katakanlah (harga tanpa subsidi) Rp 9.500 per liter.
Karena kualitas BBM jenis premium lebih rendah, harga keekonomiannya
diperkirakan Rp 8.500 hingga Rp 9.000 per liter. Taruhlah harga titik
impasnya Rp 9.000 per liter, berarti masih terdapat subsidi Rp 500 per liter.
Ketika
menyusun RAPBN 2015 pada Agustus 2014, pemerintahan lama menghitung subsidi
BBM akan mencapai Rp 291 triliun, dengan asumsi harga minyak dunia 105 dollar
AS per barrel. Pada titik ini, harga keekonomian minyak sekitar Rp 10.000 per
liter (dengan harga pertamax Rp 12.000 per liter). Jika harga eceran premium
tidak dinaikkan, subsidi per liter adalah Rp 3.500.
Kini,
dengan harga eceran premium Rp 8.500 per liter, berarti subsidi hanya Rp 500
per liter. Maka, subsidi total akan berkurang menjadi sepertujuh dari semula.
Dengan kata lain, subsidi total akan berkurang dari Rp 291 triliun menjadi
tinggal Rp 42 triliun per tahun. Berarti, terdapat penghematan dana sekitar
Rp 250 triliun bagi APBN 2015 yang berasal dari penghematan subsidi BBM.
Angka
ini jauh lebih besar daripada estimasi Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro
mengenai penghematan Rp 100 triliun saat Presiden Joko Widodo mengumumkan
kenaikan harga BBM sepekan yang lalu. Taruhlah kalkulasi saya Rp 250 triliun
tersebut salah (terlalu besar). Namun, saya yakin penghematan akibat
berkurangnya subsidi BBM masih lebih besar daripada angka Menkeu yang Rp 100
triliun. Bisa jadi Rp 150 triliun atau Rp 200 triliun.
Sementara
itu, prospek harga minyak ke depan tampaknya juga bakal menguntungkan kita
sebagai negara pengimpor neto. Saat ini ekuilibrium permintaan dan penawaran
minyak dunia berada di kisaran 90-92 juta barrel per hari. Permintaan dunia
cenderung turun karena melesetnya pertumbuhan ekonomi.
Di sisi
lain, negara-negara produsen minyak semakin rajin mengeksploitasi
sumur-sumurnya sehingga terjadi banjir suplai minyak dunia. Produksi minyak
pun naik, juga sekitar 1 juta barrel per hari, terutama dari negara
non-Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), yang menguasai 70 persen
pasokan dunia. Akibatnya, produksi minyak (92 juta barrel) melebihi
permintaan (91 juta barrel) per hari.
Kalangan
industri minyak dunia memproyeksikan situasi belum bakal berubah tahun depan.
Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan 2 persen, dengan perekonomian AS
tumbuh 3 persen serta Tiongkok 7 persen saja. Negara produsen mintak
terbesar, Arab Saudi, diduga sulit diharapkan mengerem produksinya.
Konsekuensinya, harga minyak dunia rata-rata hanya 83 dollar AS per barrel
pada 2015.
Pemerintah
harus segera merevisi APBN 2015 yang sejumlah asumsinya sudah ketinggalan.
Dengan harga minyak dunia terkoreksi 25 persen dibandingkan dengan asumsi,
serta harga eceran BBM dalam negeri sudah dinaikkan, diduga akan terjadi
kenaikan belanja infrastruktur. Semula anggaran infrastruktur 2015 hanya Rp
200 triliun. Angka ini bisa berubah drastis ke Rp 275 triliun, atau bahkan Rp
300 triliun. Pemerintah juga memiliki lebih banyak dana untuk skema
kesehatan, pendidikan, dan pemberian dana tunai langsung. Perkiraan saya,
bakal tersedia dana untuk pos-pos ini sekitar Rp 75 triliun hingga Rp 100
triliun.
Upaya
pemerintah memerangi ”mafia migas” juga akan menjadi nilai positif lain dalam
rangka memperbaiki efisiensi industri migas kita. Semua inisiatif hebat
tersebut akan bermuara pada penghematan dan menambah kekuatan APBN dalam
memberi stimulus ekonomi.
Berbagai
inisiatif tersebut akan mendorong sentimen positif terhadap perekonomian Indonesia.
Bertambahnya kekuatan fiskal kita akan menyedot perhatian investor asing
untuk mengarahkan dananya ke Indonesia pada 2015.
Dalam konteks ini, saya justru terkejut karena Bank Indonesia
terburu-buru menaikkan suku bunga acuan BI menjadi 7,75 persen. Padahal, jika
mau bersabar sedikit, masih banyak sentimen positif dari sisi fiskal yang
bisa membantu suku bunga acuan BI untuk tetap dipertahankan pada 7,5 persen.
Stimulus fiskal dengan tambahan belanja produktif Rp 200 triliun sungguh akan
menjadi motor penggerak yang dahsyat bagi perekonomian Indonesia pada 2015. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar