Bermimpi
1.000 Tahun Lagi…
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
22 November 2014
ZHU
Yuanzhang (1328-1398) berdiri perkasa. Matanya tajam menatap arah utara, menyaksikan
pasukan Mongol lari pontang-panting. Zhu memimpin bangsa Tiongkok (Han)
mengusir bangsa Mongol (Dinasti Yuan) yang menganeksasi Tiongkok hampir
seabad (1271-1368). Zhu yang berasal dari masyarakat kebanyakan (bukan
ningrat) akhirnya membangun Dinasti Ming dan menobatkan diri sebagai Kaisar
Hongwu. Hampir tiga abad (1368-1644), Ming bertahan dalam percaturan dunia.
Imperium besar itu melemah setelah konflik internal dan maraknya
pemberontakan. Imperium lain, seperti Turki Usmani (The Ottoman), bertahan enam abad (1299-1922). Imperium Mughal
bertahan tiga abad (1526-1857).
Mengapa
imperium-imperium besar itu runtuh? Jika mengikuti tesis Paul Kennedy (The Rise and Fall of The Great Powers:
Economic Change and Military Conflict from 1500 to 2000, 1987), runtuhnya
imperium-imperium itu tak lepas dari konflik dan pemborosan penggunaan
anggaran sumber daya ekonomi. Sumber daya ekonomi terlalu banyak tersedot
untuk anggaran militer dalam proyek penaklukan bangsa-bangsa dan perluasan
wilayah.
Lalu,
teringat rapat-rapat instansi pemerintah yang digelar di hotel, itu
pemborosan. Sebab, instansi pemerintah sesungguhnya punya ruangan yang layak.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kaget saat melihat anggaran rapat Rp 18 triliun
di APBN 2015. Perjalanan dinas terlalu sering, itu juga pemborosan. Presiden
lebih terkaget-kaget karena anggaran perjalanan dinas mencapai Rp 30 triliun
itu. ”Perjalanan dinas Rp 30 triliun itu untuk apa, anggaran rapat Rp 18
triliun itu rapat apa?” kata Jokowi dalam acara penyerahan roadmap bidang perekonomian oleh
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), 18 September 2014.
Membeli
mobil dinas baru untuk kabinet 2014-2019 senilai Rp 104 miliar juga
pemborosan. Sebab, mobil dinas lama ternyata masih laik dipergunakan
menteri-menteri sekarang ini. Jokowi menolaknya meskipun sudah dianggarkan
dalam APBN 2014 oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Subsidi
bahan bakar minyak (BBM) yang tidak tepat sasaran juga pemborosan.
Saya
jadi teringat kata-kata Presiden Jokowi di Forum CEO Kompas 100, 7 November
lalu. ”Saya ingin menyampaikan
keborosan-keborosan,” kata Presiden Jokowi. Dalam lima tahun ini, subsidi
BBM Rp 714 triliun, tetapi anggaran kesehatan hanya Rp 229 triliun dan
infrastruktur Rp 574 triliun. ”Boros
enggak kita? Sangat boros. Setiap hari kita bakar. Karena itu, keborosan yang
harus kita hentikan. APBN kita untuk sasaran produktif, bukan konsumtif,”
tambah Presiden Jokowi.
Jadi,
menaikkan (atau mencabut subsidi) BBM adalah bagian memotong pemborosan? Saat
mengumumkan harga baru BBM, Presiden Jokowi mengakui hal itu sebagai
keputusan yang sulit, tetapi tetap harus diambil. Ternyata, sejak Presiden
Soeharto, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang
Yudhoyono, semuanya pernah memutuskan menaikkan harga BBM. Mungkin cuma di
era Presiden BJ Habibie yang tidak ada kenaikan harga BBM. Sebagai gantinya,
Presiden Jokowi menyiapkan Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan
Kartu Keluarga Sejarah agar rakyat kecil tetap mendapatkan haknya. Jadi,
kenaikan harga BBM bukan soal fluktuasi harga BBM dunia, melainkan soal
pencabutan subsidi.
Namun,
bagaimanapun juga, kenaikan harga BBM pahit dan memberatkan. Pro dan kontra
terhadap kebijakan itu adalah dinamika dalam demokrasi kita. Tetapi,
efisiensi dan tepat sasaran harus menjadi agenda besar lima tahun ke depan.
Masyarakat tetap boleh berdemonstrasi agar demokrasi tetap hidup asalkan
bertanggung jawab dan tidak anarkis. Unjuk rasa menjadi cara berkomunikasi
antara rakyat dan pemerintah. Dan, menjadi tugas pemerintah merespons atau
mengajak duduk bersama untuk memberi informasi sejelas-jelasnya kepada
rakyat. Bukankah Presiden Jokowi pernah melakukannya saat menyelesaikan kasus
Tol Lingkar Luar (JORR) saat menjadi Gubernur DKI, atau lebih lama lagi saat
memindahkan pedagang kali lima di Solo.
Pemborosan
anggaran adalah pintu masuk maraknya korupsi. Semua anggaran digelembungkan
karena menjadi bancakan eksekutif, legislatif, yudikatif. Dalam 10 tahun, KPK
setidaknya menyelamatkan uang rakyat senilai Rp 16 triliun. Memang perlu
kerja ekstra-keras karena uang yang dirampok koruptor sekitar Rp 170 triliun
dalam 10 tahun ini. Bagaimana negeri ini bertahan bila kebocoran ada di
mana-mana? Bagaimana kita menjaga kedaulatan negeri ini?
Kita
tersadarkan ketika beberapa kali pesawat tempur Sukhoi memaksa
pesawat-pesawat asing mendarat (force
down) karena tak punya izin melintas. Jadi teringat insiden tahun 2003
ketika pesawat F-16 Fighting Falcon TNI AU mencegat pesawat F-18 Hornet milik
AL Amerika Serikat di udara sekitar Pulau Bawean, Jawa Timur. Kala itu,
pesawat kita yang justru digertak, satu F-16 dikunci dan satu lagi mesti
bermanuver untuk menghindari target F-18. Untunglah, komunikasi terjadi
hingga tidak ada insiden. Sadar bahwa kekuatan militer kita belum seberapa.
Kita
selalu uring-uringan karena ikan-ikan di Laut Banda, Arafura, Kepulauan
Natuna, Kepulauan Anambas, dijarah nelayan asing. Tetapi, kita sadar bahwa
tak ada solusi signifikan yang bisa dilakukan. Kita berteriak-teriak ketika
dikabarkan ada desa-desa di Kalimantan Timur bergabung ke Malaysia. Padahal,
selama ini kita abai memperhatikan mereka dan lupa membangunkan infrastruktur
yang terakses dengan pusat kekuasaan negeri ini. Juga bagaimana kita dianggap
berdaulat jika server e-KTP saja tidak berada di dalam batas negeri ini?
Kita memang abai mengurus negeri ini. Politisi terlalu asyik bertikai.
Untung saja Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat sudah berdamai
karena lebih 40 hari DPR cuma ribut. PPP masih gaduh, juga Golkar. Konflik,
pemborosan, dan korupsi membuat bangsa ini keropos, dan negeri ini makin
melemah. Paul Kennedy sudah mengingatkan: imperium-imperium kuat saja bisa
runtuh. Dan, saya bermimpi Indonesia tetap jaya sampai lebih 1.000 tahun
lagi.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar