Memaknai
Pembangunan Manusia
Tommy F Awuy ; Dosen
Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI
|
KOMPAS,
30 Oktober 2014
PRESIDEN Joko Widodo mendirikan kementerian baru dengan nama
Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Segera saja
muncul pertanyaan, ”pembangunan manusia”? Sebuah frase macam apakah ini?
”Pembangunan” dan ”manusia”, mungkinkah kedua istilah yang jelas memiliki
pemahaman dengan latar yang berbeda disatukan menjadi sebuah frase yang mampu
memberikan isian yang bertujuan praktis untuk kemajuan nyata sebuah bangsa
dan negara?
Sesungguhnya konsep ”pembangunan manusia” itu bukanlah sesuatu
yang sama sekali baru. Pada masa Orde Baru, konsep ini sudah muncul dan
termasuk problem hakiki dalam pembangunan bangsa dan negara secara umum.
Konsep ini tentu tidak muncul begitu saja. Benih pembangunan ekonomi (economic development) khususnya sudah
muncul terlebih dulu sejak awal Orde Baru yang dianggap sebagai panglima
menggantikan politik sebagai panglima bagi Orde Lama dengan semboyan
character building (pembangunan karakter).
Konsep ”pembangunan ekonomi” mengandung pengertian kuat dari
perspektif positivistik yang serba terukur di mana fakta-fakta ekonomi padu
dengan perhitungan-perhitungan matematis sebagaimana terwakili dalam
pengukuran nan sakti, gross national
product (GNP) atau produk nasional bruto. Ukuran pembangunan sebuah
bangsa diukur dari sana, apakah sebuah negara layak disebut negara maju (developed country) atau negara
berkembang (developing country).
Teori ”tinggal landas” yang sangat terkenal dan menjadi begitu paradigmatis
dari WW Rostow kala itu tak lepas dari pengukuran tersebut.
Pergeseran makna
Pada tahun 1990, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(UNDP) membuat langkah maju dalam konsep pembangunan bangsa dan negara dengan
memublikasikan human development report
(HDR). Dari sini muncul kritik dan revisi terhadap konsep ”development” yang
dihegemonik oleh pengukuran positivistik, khususnya ketika konsep pembangunan
tersebut diterapkan pada keberadaan diri manusia menjadi ”human development”.
HDR pun pada hematnya bukanlah barang baru diukur dari publikasi pertama UNDP
itu. Pada tahun 1968, seorang ekonom dan negarawan asal Pakistan, Mahbub Ul
Haq, mengeluarkan konsep ”human development” yang lalu
mendapatkan partner yang sangat tepat, yakni Amartya Sen, dalam mengembangkan
konsep ”human development” tersebut.
Baik Mahbub Ul Haq maupun Amartya Sen tak sekadar menyoroti
pembangunan ekonomi dari dalam diri ekonomi itu sendiri. Mereka memaknai
hubungan pembangunan ekonomi yang tak terlepas dari pembangunan manusia secara
lebih luas, terutama dari filsafat dan lebih khususnya lagi ethics di antara
bidang filsafat lainnya seperti ontology
(being) dan epistemology (knowledge).
Program utama dari Mahbub Ul Haq dan Amartya Sen adalah
menyampingkan pendekatan positivistik dengan alasan bahwa manusia bukanlah
obyek dalam pembangunan ekonomi, melainkan subyek, dan sebagai subyek,
manusia tidak semata-mata bisa dilihat sebagai makhluk yang total
rasionalistik lalu mengurung dirinya dalam pengukuran GNP. Sebuah pendekatan
yang mendapat dukungan kuat dari UNDP.
Amartya Sen misalnya menginterpretasikan lagi etika Aristoteles,
Adam Smith, filsafat politik John Locke, Thomas Hobbes, JJ Rousseau, John
Rawls, dan lain-lain. Dua konsep tentang etika eudaimonia (kebahagiaan) dari
Aristoteles dan konsep ”kebebasan” (freedom)
dari para filsuf pendiri negara demokrasi itu diramu menjadi sebuah pemikiran
etika ekonomi yang bercorak khas dan baru. Tepatnya Sen dianggap sangat
cemerlang memasukkan konsep etika filosofis ke dalam ekonomi yang mengantarkannya
menjadi pemenang Hadiah Nobel untuk bidang ekonomi.
Mahbub Ul Haq mengartikan pembangunan manusia itu pada ”pilihan
manusia” (people choices).
Pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia dilihat sebagai ruang
pilihan-pilihan sebagaimana manusia memiliki berbagai potensi dalam dirinya
untuk kemudian mampu memilih di antaranya untuk eksis. Musuh pembangunan
manusia dan ekonomi tak lain adalah menutup ruang-ruang pilihan itu sehingga
manusia tak mampu menemukan dan memenuhi kebutuhannya sendiri sebagaimana
jika kita sekadar tunduk pada perhitungan GNP.
”Kebebasan” (Sen) dan ”pilihan manusia” (Haq) merupakan dua
konsep yang membuka berbagai dimensi kualitas kemanusiaan bagi makna
pembangunan manusia yang lalu tercakup dalam tiga kategori besar: kesehatan (health), pendidikan (education), dan standar kehidupan (living standards). Dari sinilah makna indeks pembangunan
manusia (human development index)
itu muncul dan digunakan hingga saat ini. Intinya pada ”kebebasan memilih”
sebagai landasan etika.
Kementerian pembangunan
manusia?
Dalam perkiraan yang sangat optimistik, Kementerian Koordinator
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang dikemukakan Presiden Jokowi sangatlah
terkait dengan latar belakang di atas. Dengan hadirnya kementerian baru ini, harapan
untuk mewujudkan semboyan ”revolusi mental” terbuka luas sekaligus sebagai
sebuah tantangan yang luar biasa berat.
Becermin pada masa Orde Baru, pembangunan manusia melahirkan
jargon yang enak disebut tetapi berbeban makna alangkah berat, yakni ”manusia
seutuhnya”. Seperti apa dan siapakah manusia seutuhnya itu sebagai panutan?
Manusia menjadi sempurna apabila dalam kehidupan keseharian bermasyarakat dan
bernegara sepenuhnya mengikuti doktrin Pancasila (versi penguasa). Siapakah
panutannya? Tak mudah menunjuk langsung, tetapi secara semiotik (interpretasi
tanda) kita bisa membacanya pada slogan ”bapak pembangunan”, siapa lagi kalau
bukan Soeharto?
Sebuah kementerian baru dan menteri yang dari segi usia,
pengalaman, dan pengetahuan (?) tergolong ”belia”, Puan Maharani. Layaklah
apabila muncul reaksi spontan dari berbagai kalangan atas kementerian baru
ini terkait dengan kemampuan Puan Maharani untuk menghidupi lembaga tersebut.
Program macam apa yang bisa dibuat dan diaplikasikan? Tantangan paling signifikan
tertuju pada konsepsi tentang manusia itu sendiri sekaligus kekhawatiran
apabila Puan Maharani tak memiliki model khas dan terbuka, reformis, maka
berjaga-jagalah untuk terjerumus pada slogan manusia seutuhnya ala Orde
Baru—Soehartoistik itu.
Tantangan lain adalah pada nama kementerian itu sendiri yang
terkesan sekadar menerjemahkan ”human
development” menjadi ”pembangunan
manusia”. Apa yang mau dibangun dari manusia? Sedangkah dia tertidur
pulas lalu sudah saatnya harus dibangunkan?
”Pembangunan manusia” sebagaimana HDR jelas tertuju pada dimensi
kualitas atau mutu eksistensial bukan melihat manusia sebagai seonggok tubuh
yang menyimpan potensi yang bisa diekspos menjadi seperti mesin yang bekerja
secara mekanistik lalu berujung pada eksploitasi demi keuntungan ”pihak-pihak tertentu”. Jika mungkin
kementerian ini bisa dibaca sebagai ”kementerian
peningkatan kualitas manusia dan kebudayaan” atau ”kementerian peningkatan mutu kemanusiaan dan kebudayaan”. Lebih
manusiawi maknanya. Siapa tahu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar