Indonesia
Pintar
Mohammad Abduhzen ; Direktur
Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta;
Ketua Litbang PB PGRI)
|
KOMPAS,
30 Oktober 2014
DARI Sembilan Agenda Prioritas (Nawacita) Joko Widodo-Jusuf
Kalla, lima di antaranya—dalam skala berbeda—terkait dengan pendidikan. Pada
agenda nomor lima disebutkan bahwa pemerintahan JKW–JK akan menjalankan
program ”Indonesia Pintar” yang kegiatan utamanya meningkatkan kualitas
pendidikan dan menjalankan wajib belajar 12 tahun bebas pungutan. Rumusan ini
tampaknya sebagai ikhtisar semua program pendidikan pemerintah baru. Memang
masalah pendidikan, di mana saja, berkisar pada ”akses” dan ”kualitas”.
Wajib belajar 12 tahun adalah persoalan akses, yaitu upaya
memperluas kesempatan masyarakat memperoleh pendidikan lebih tinggi. Langkah
ini penting karena, selain berimplikasi pada peningkatan angka partisipasi
sekolah, juga berdampak pada angka rata-rata lama sekolah (mean years schooling/ MYS) yang
merupakan satu indikator kemajuan pembangunan manusia. Angka rata-rata lama
sekolah kita masih rendah daripada Singapura 10,1 tahun, Malaysia 9,5 tahun,
Filipina 8,9 tahun, Brunei 8,6 tahun, dan Thailand 6,6 tahun. Laporan UNDP
2013 (Ritonga, Kompas 24/3) menyebutkan, rata-rata lama sekolah Indonesia
hanya 5,8 tahun, artinya setara dengan sekolah dasar.
Pemerintah belum secara tegas menjalankan wajib belajar 12
tahun, apalagi bebas pungutan. Wajib belajar 9 tahun saja—yang dimulai 1994
dan ditegaskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun
2003—hingga sekarang belum terkontrol secara baik sehingga aneka pungutan
dengan beragam alasan tetap terjadi.
Saat ini, pemerintah menggunakan istilah ”pendidikan universal”
untuk melaksanakan wajib belajar 12 tahun. Alasannya, belum ada payung hukum
dan mempertimbangkan, anggota UNESCO tidak mengenal wajib belajar pendidikan
menengah. UU Sisdiknas Pasal 34 Ayat (2) hanya menyebutkan wajib belajar
”minimal” pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Atas dasar ini,
barangkali di bagian lain visi-misi JKW–JK ditegaskan akan memperjuangkan UU
Wajib Belajar 12 tahun dengan membebaskan biaya pendidikan dari segala
pungutan.
Terlepas dari implikasinya pada sistem penganggaran dan tradisi
UNESCO, adanya kata ”minimal” dalam ayat di atas memungkinkan pemerintah
menjalankan program wajib belajar 12 tahun tanpa disamarkan dengan
”pendidikan universal.” Pemerintah bahkan tak harus menunggu—juga tidak
memerlukan—UU tersendiri. Kelak, ketentuan ini cukup diakomodasi dalam pasal
terkait saat revisi UU Sisdiknas yang memang mendesak.
Terkait perluasan akses pendidikan tinggi, pemerintahan JKW-JK
akan meningkatkan pemberian subsidi kepada perguruan tinggi negeri sehingga
akses warga miskin untuk mendapatkan pendidikan tinggi semakin besar. Dengan
demikian, diharapkan angka partisipasi kasar dan murni pendidikan tinggi yang
rendah—menurut Badan Pusat Statistik, angka partisipasi kasar dan murni
pendidikan tinggi tahun 2013 adalah 23,06 persen dan 18,08 persen—segera
meningkat.
Ke depan, peningkatan akses pendidikan hendaknya senantiasa
mempertimbangkan dan bersama upaya peningkatan mutu. Pengalaman pada masa
lalu mengajarkan bahwa memprioritaskan akses dengan mengesampingkan kualitas
menjebak kita dalam situasi buruk berkepanjangan sehingga kini Indonesia
tampak belum juga pintar.
Kualitas pendidikan
Arah dan upaya peningkatan mutu mendatang tampaknya bertumpu
pada pendidikan karakter seperti tergambar dalam agenda nomor delapan: ”Kami
akan melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali
kurikulum pendidikan nasional. Kurikulum akan mengedepankan aspek pendidikan
kewarganegaraan; menyeimbangkan pendidikan budi pekerti dan karakter bangsa
dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”.
Penataan kurikulum adalah suatu keniscayaan bagi pemerintahan
baru. Keniscayaan itu bukan hanya karena Kurikulum 2013 penuh anomali,
melainkan lebih daripada itu karena pemerintahan JKW-JK memiliki paradigma
baru, yaitu revolusi mental yang tidak kompatibel dengan Kurikulum 2013.
Kurikulum 2013, meskipun sering diklaim untuk pendidikan karakter, senyatanya
hanyalah konglomerasi hal-hal bagus yang tak membentuk suatu koherensi yang
lugas sehingga sering kali membingungkan.
Maka, pada awal masa transisi ini, pemerintah sebaiknya
menghentikan terlebih dahulu pelaksanaan Kurikulum 2013 yang menyedot dana
triliunan itu. Sembari mempersiapkan cetak biru (blue print) yang holistis, pemerintah perlu membuat kebijakan (short cut) yang menyederhanakan
program-program pembelajaran. Alokasi dana untuk Kurikulum 2013, jika
dimungkinkan oleh sistem, dialihkan buat pelatihan motivasi dan kinerja guru
dalam rangka revolusi mental.
Pengutamaan pendidikan karakter dan kebudayaan dalam program
Indonesia Pintar secara implisit menggambarkan bahwa ”pintar” tidak sekadar
bersifat kognitif. Term ”pintar” dapat merupakan obyektivikasi kata ”cerdas”
sebagaimana cita-cita bangsa. Jika didefinisikan dengan tepat, pendidikan
karakter akan relevan dengan Pasal 3 UU Sisdiknas yang menyatakan, pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa.
Dalam platform JKW-JK ditegaskan, 10 prioritas utama pendidikan
karakter yang intinya, pertama, kurikulum akan mengedepankan pendidikan
kewarganegaraan (civic education)
yang proporsional. Untuk pendidikan dasar, pembobotan menekankan 70 persen
substansinya pada budi pekerti dan karakter, sedangkan untuk pendidikan
tinggi, 60 persen politeknik dan 40 persen sains. Kurikulum juga akan
diarahkan membangun pemahaman hakiki tentang kebinekaan yang tunggal ika
dengan menjaga keseimbangan aspek muatan lokal dan nasional. Untuk itu,
pemerintah telah berkomitmen tidak akan memberlakukan lagi model penyeragaman
dalam sistem pendidikan nasional, di antaranya ujian nasional.
Kedua, meningkatkan kualitas guru dengan merekrut tenaga
berkualitas dan mendistribusikannya secara merata. Kualitas guru tentunya
disesuaikan dengan kebutuhan revolusi mental dan model pembelajarannya.
Selain memerlukan desain baru pelatihan, agenda ini juga menuntut perubahan
peran, eksistensi, dan substansi LPTK. Distribusi guru akan didukung oleh
perbaikan sarana dan prasarana serta fasilitas pendidikan. Guru daerah
terpencil akan diberikan jaminan hidup memadai melalui tunjangan fungsional,
asuransi, fasilitas memadai, dan promosi karier.
Ketiga, memprioritaskan pembiayaan pendidikan untuk penelitian
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi unggulan yang diberikan secara
reguler dan terintegrasi dengan pengembangan pendidikan tinggi.
Cetak biru baru pendidikan
Pendidikan karakter adalah sebuah labirin yang mudah membawa
pada kesesatan logis sehingga memerlukan kecermatan. Pertama, pendidikan
karakter bukanlah suatu atau beberapa mata pelajaran atau program yang
diajarkan tersendiri, tetapi meliputi ”semua” proses pendidikan. Terbentuknya
watak/karakter (personal) dan kebudayaan/peradaban (komunal) merupakan efek
kumulatif dan sinergis dari seluruh upaya pembelajaran dengan berbagai faktor
bawaan dan lingkungan.
Kedua, pembobotan dengan persentase penekanan substansi
pembelajaran tidak salah sejauh tidak bersifat dikotomis. Proses pembelajaran
memang harus disesuaikan dengan tingkat kepekaan psikologis murid yang
biasanya terkait dengan usia.
Pembobotan akan berbahaya jika didasarkan pada dikotomi atas
kelompok mata pelajaran pembentuk karakter, seperti Agama, Budi Pekerti,
Kewarganegaraan, dengan kelompok mata pelajaran sains dan Matematika yang
dianggap tidak atau kurang berhubungan dengan karakter. Dikotomi seperti ini
akan cenderung mengabaikan pengembangan nalar saintifik yang induktif dan
nalar matematik yang deduktif, terutama pada kelas yang lebih rendah.
Padahal, nalar yang sehat merupakan basis karakter yang baik dan kuat yang
mesti dibentuk sejak belia.
Ketiga, mengutamakan pendidikan karakter melalui sekolah
berpotensi menggiring proses pendidikan ke lorong sempit konservatisme dan
fundamentalisme pendidikan yang menekankan masa silam sebagai orientasi
korektif atas masa kini dan antisipatif atas masa depan. Proses pendidikan
akan dipenuhi pelatihan watak dan pencekokan moral di satu sisi dan
indoktrinasi serta penjejalan pikiran—bukan mengajar berpikir—dengan
nilai-nilai dan informasi yang akan diuji pada sisi yang lain. Alhasil, bangsa
ini bukannya semakin pintar, malah akan menjadi irasional dan tidak kreatif.
Keempat, lembaga pendidikan, di mana saja, merupakan sebuah
subsistem sosiopolitik sehingga yang terjadi di dalamnya adalah turunan dari
induk sistemnya. Mengharapkan karakter baik dan kuat tumbuh melalui
pendidikan dalam sebuah sistem korup dan feodal, tanpa melakukan reformasi
menyeluruh, adalah kesia-siaan. Guru bukanlah Si Pahit Lidah (tokoh dalam
legenda Sumatera Selatan) yang dapat mengubah apa saja melalui kata-kata. Maka,
Indonesia Pintar membutuhkan cetak biru baru pendidikan yang mengubah dengan
menderivasi ide revolusi mental dan Trisakti dalam satu kerangka strategi
operasional yang utuh, padu, dan rasional.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar