Ancaman
Terorisme di ASEAN
Arfin Sudirman ; Atase
Pendidikan dan Kebudayaan KBRI New Delhi
|
KOMPAS,
30 Oktober 2014
AKHIR tahun 2015, ASEAN akan
memasuki fase baru: integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN yang lebih dikenal
sebagai MEA. Sebagai kawasan yang tidak lepas dari isu terorisme, ASEAN
menyadari bahwa terorisme merupakan isu yang bersifat lintas batas negara.
Karena itu, dalam cetak biru Pilar Politik dan Keamanan ASEAN dicantumkan
mengenai peningkatan kerja sama dalam kerangka pembangunan politik keamanan.
Sebetulnya ratifikasi sudah
dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN, tetapi implementasinya belum
komprehensif dan menyeluruh terutama ketika kita melihat beberapa sektor yang
diatur dalam lingkup kerja sama di antaranya sektor imigrasi, perbatasan,
keuangan, penegakan hukum, pelatihan kontra-terorisme menghadapi ancaman
cyber terrorism, senjata biologi, kimia dan nuklir, pembagian informasi
intelijen, interfaith dialogue, dan program deradikalisasi. Salah satu
hambatannya adalah perbedaan persepsi mengenai ancaman terorisme dan
kesenjangan penanganan terorisme antar-negara anggota ASEAN.
Kebijakan keamanan dan
pertahanan selalu diawali dengan kerentanan yang dipersepsikan sebagai
ancaman oleh elite pemegang kebijakan. Dalam kasus terorisme, kompleksitas
wujud dan sasaran gerakan terorisme menjadi hal yang sangat subyektif bagi
para pemegang kebijakan. Dalam beberapa referensi mengenai terorisme, tidak
pernah ada satu perspektif bersama mengenai definisi terorisme. Sulitnya
mengidentifikasi wujud terorisme inilah yang membuat perang global melawan
terorisme disebut the new kind of war.
Aparat keamanan dan pertahanan
harus berhadapan dengan musuh yang tidak memiliki seragam dan tidak memiliki
arena atau front line yang jelas, berbeda dengan perang konvensional di mana
musuh dan indikator kemenangan mudah diidentifikasi. Salah satunya adalah
munculnya kelompok teroris Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) sebagai
dampak dari kekisruhan politik di Suriah dan Irak.
Khusus mengenai NIIS, sejauh
ini baru Indonesia melalui pernyataan pemerintah, media massa, dan berbagai
seminar yang sudah mempersepsikan NIIS sebagai ancaman signifikan terutama
setelah tersebarnya video ajakan jihad oleh aktivis NIIS di situs Youtube.
Indonesia adalah negara anggota ASEAN yang paling merasakan aksi terorisme
skala besar, seperti peristiwa Bom Bali I tahun 2002 yang didalangi oleh
kelompok Jamaah Islamiyah (JI). Meskipun demikian, tampaknya negara anggota
ASEAN yang lain tidak terlalu hirau karena jenis terorisme yang mereka hadapi
berbeda karakter.
Kelompok Abu Sayyaf, MNLF, dan
MILF di Filipina, misalnya, lebih berkarakter terorisme untuk perjuangan
separatisme. Hal yang sama dialami Thailand dalam menghadapi Gerakan
Mujahidin Islam Pattani (GMIP) yang akhir-akhir ini tidak terdengar lagi
aksinya. Negara seperti Malaysia dan Singapura mungkin menjadi mimpi buruk
bagi NIIS karena memiliki Undang-Undang Internal Security Act (ISA) sehingga
sulit bagi kelompok teroris mana pun, bahkan bagi NIIS, untuk mengembangkan
gerakannya.
Sementara isu terorisme di
Myanmar masih relatif baru terutama setelah Junta Militer Myanmar tidak lagi
dominan. Kelompok teroris di Kamboja, seperti simpatisan Khmer Merah dan Cambodian
Freedom Fighters (CFF), pun tidak terlalu menunjukkan gerakan berarti
dibandingkan dengan NIIS, JI, ataupun MILF. Adapun Vietnam, Laos, dan Brunei
hampir tidak pernah tersentuh terorisme.
Konsekuensi logis dari
perbedaan persepsi ancaman terorisme menghasilkan kesenjangan penegakan hukum
dan strategi penanganan terorisme antara negara-negara anggota ASEAN. Hal ini
muncul karena isu terorisme belum menjadi persepsi ancaman kolektif dan
prioritas bagi negara-negara anggota ASEAN. Kesenjangan inilah yang muncul
sebagai hambatan dalam meningkatkan kerja sama ASEAN Convention on Counter Terrorism.
Penanganan bersama
Kegiatan latihan bersama
penanggulangan terorisme pernah dilakukan anggota ASEAN pada bulan November,
tahun lalu. Latihan bersama bertajuk ”Counter Terrorism Exercise (CTx)” di
Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian TNI di Sentul, Bogor, Jawa Barat, itu
merupakan bagian dari program kegiatan ASEAN
Defence Ministers Meeting (ADMM-Plus), tetapi kenyataannya tidak efektif
memberikan efek deterrence bagi kelompok teroris NIIS untuk beroperasi di
Indonesia.
Jika memang salah satu wujud
integrasi ASEAN 2015 dalam konteks ASEAN
Political and Security Community adalah untuk implementasi penuh ASEAN Convention on Counter Terrorism
yang tujuannya adalah mencegah dan menekan ancaman terorisme dalam segala
bentuk dan manifestasinya, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla harus
meyakinkan negara anggota ASEAN bahwa Indonesia tidak dapat bekerja sendiri
menangani terorisme.
Kerangka kerja sama ASEAN Convention on Counter Terrorism
sudah meliputi bidang-bidang kerja sama yang dibutuhkan bagi Indonesia, yaitu
peningkatan pengawasan perbatasan, kerja sama pemblokiran dana aksi
terorisme, pelatihan kontra-terorisme bersama, dan sharing intelligence information, serta pertukaran best practices
and lessons learn terutama dalam upaya pencegahan ideologi radikal
(deradikalisasi). Maka, yang dibutuhkan ASEAN adalah implementasi dan
optimalisasinya saja.
Indonesia tidak perlu sungkan
mengambil beberapa model pendekatan yang telah dilakukan para anggota ASEAN
yang memiliki ketahanan yang lebih baik meski tidak perlu seekstrem Malaysia
dan Singapura. Namun, diharapkan juga model deradikalisasi yang dilakukan
Indonesia khususnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme juga dapat
dijadikan model alternatif penanganan terorisme bagi negara anggota ASEAN
lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar