Saat
Orang Sukses Jadi Pencabut Nyawa
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus
Psikologi Forensik The University of Melbourne,
Anggota Asosiasi Psikologi Islam
|
KORAN
SINDO, 08 November 2014
Dua tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia, yakni Sumarti
Ningsih dan Seneng Mujiasih alias Jesse Lorena Ruri, kehilangan nyawa di Hong
Kong. Menggegerkan, karena orang yang menghabisi kedua TKW tersebut adalah
seorang bankir profesional bernama Rurik Jutting.
Belasungkawa untuk Ningsih dan Mujiasih. Terlepas dari itu,
pertanyaan punmuncul: bagaimana seorang eksekutif profesional yang sukses bisa
sekonyong-konyong menjelma menjadi pembunuh berdarah dingin. Bahkan tidak
hanya pekerja selevel Rurik.
Sejumlah usahawan papan atas pun tercatat melakukan pembunuhan,
aksi yang sangat jauh dari imajinasi publik akan kata “kemapanan”. Bob Ward,
John Brooks, Haissam Safetli, Freddie Young, John Dupont, Calvin Harris, dan
Harold Landry, adalah beberapa di antaranya.
Kekagetan khalayak akan kelakuan jahat para pengusaha bonafide
semestinya tak terjadi apabila masyarakat ingat bahwa gambaran pebisnis
sukses yang secara tiba-tiba berubah tabiat sebenarnya sudah terwakili dengan
baik oleh sosok Batman. Siang hari, siapa pun mengenal Bruce Wayne sebagai
pemilik imperium bisnis di kota Gotham. Intuisi dagangnya mengagumkan.
Bruce Wayne seolah tak memiliki apa pun di dalam tempurung
kepalanya, kecuali sebuah kalkulator bisnis. Otak yang seakan hanya terdiri
dari satu belahan itu mengakibatkan Bruce Wayne memiliki mempunyai temperamen
yang begitu dingin, termasuk terhadap lawan jenis. Tapi begitu matahari
beringsut ke peraduan, laksana pemilik kepribadian majemuk, Bruce Wayne
“menghilang” digantikan figur Batman.
Si manusia kelelawar bergentayangan di seantero kota dengan
warna kostum serba hitam dan membawa hati yang penuh sesak dengan amarah
terhadap para bandit. Bruce, saat berperan sebagai Batman, tidak peduli pada
bisnisnya. Sebagai gantinya, ia menggila, meneror para penjahat laksana
binatang buruan.
Batman menikmati setiap detik ketakutan yang menjalari para
kriminal, sehingga mereka mati dengan sendirinya. Tabiat beda siang dan beda
malam itu disebabkan oleh trauma Bruce Wayne alias Batman yang tidak pernah
tertangani secara tuntas.
Untuk menjadi raja diraja di dunia bisnis bukan perjuangan
sepele. Untuk menduduki singgasana di gedung pencakar langit, si profesional
harus melakukan pengorbanan luar biasa besar. Rumusan Imam Ghazali tentang
ritme ideal hidup harian manusia, yakni sepertiga waktu untuk bekerja,
sepertiga untuk beristirahat, dan sepertiga untuk beribadah, jauh panggang
dari api.
Konkretnya, jam kerja berlipat ganda, sementara jam istirahat
berkurang drastis. Stamina terkuras, namun pasokan energi tak seimbang akibat
pola makan yang kacau dan olah raga yang dihapus dari agenda rutin. Kehidupan
personal yang serba jujur terkesampingkan, kegiatan membasuh dimensi
religusitas ternihilkan, tergeser oleh alam berpikir yang serbakompetitif
atas nama profesionalisme. Lebih parah lagi, terjadi penyimpangan dalam
menilai diri.
Workaholic menjadi sebutan yang dirasa membanggakan. Insomnia atau
gangguan tidur parah, yang aslinya berkonotasi negatif, justru diidentikkan
dengan komitmen dan dedikasi penuh pada pekerjaan. Keharmonisan keluarga
kalah penting dibandingkan kemajuan karier. “Kerja, kerja, kerja”, menduduki posisi sebagai semboyan tunggal
yang mewakili semangat untuk maju.
Jatah cuti dibuang, akhir pekan diisi dengan sosialisasi semu,
memperparah guncangan hormonal yang dialami si sosok profesional. Dinamika
hidup yang menjadi serba sibuk itu sesungguhnya membuat tubuh si usahawan
menjadi ringkih. Gangguan mental gampang mendera. Laurence Stybel, misalnya,
menduga kuat bahwa sangat banyak kalangan eksekutif yang mengidap dysthymia,
yaitu depresi ringan namun kronis yang telah berlangsung selama setidaknya
dua tahun.
Sam Ozersky bahkan menyebut manik depresi atau gangguan afektif
bipolar sebagai ironisnya sumber energi utama pada sekian banyak profesional
bisnis paling ambisiusdinegaranegara maju. Selain guncangan psikis, pola hidup
profesional juga mengganggu kesehatan fisiknya. Seperti penyakit jantung,
impotensi, ketergantungan pada narkoba, dan lainnya.
Celakanya, untuk menjamin agar kerajaan bisnis tidak hancur, si
usahawan harus menyembunyikan segala kelemahan dan berbagai gangguan yang ia
derita. Separah apa pun, ia harus senantiasa mempertontonkan kondisi
kesehatan prima, keceriaan yang tanpa batas, serta produktivitas 24 jam per
hari dan 7 hari per pekan.
Terkuaknya kondisi sebenarnya si pengusaha dianggap sangat
memalukan, bahkan berisiko pada kaburnya mitra bisnis. Jadi, tidak hanya si
pengusaha menutup-nutupi segala masalahnya, ia pun tidak akan berinisiatif
mencari bantuan guna mengatasi gangguan-gangguan yang ia derita. Padahal,
semakin terlambat problem kesehatan tertangani, semakin menurun peluang
kesembuhannya.
Dan pada gilirannya, keputusan untuk mengabaikan pola hidup
sehat itu berkonsekuensi kian fatal terhadap bisnis yang sudah ia bangun atau
pun pekerjaan yang ia tangani. Di Inggris saja, sebagai gambaran, masing-masing
karyawan tidak bekerja hingga ratarata 23 hari per tahun akibat stres,
depresi, dan kecemasan yang mereka alami.
Ketiga problem psikologis tersebut mencakup 39 persen dari total
hampir 1,3 juta kasus kesakitan terkait kerja pada setiap tahun.
Dikhawatirkan, kondisi tersebut tidak berbeda bahkan mungkin lebih buruk
dibandingkan dengan tahun 1999 silam ketika Organisasi Buruh Internasional
menyebut stres kerja sebagai epidemi global.
Pada titik kritis itu, senyatalah bahwa Batman hanya hidup di
alam fantasi. Bisa dibilang tidak mungkin seorang pebisnis sukses mampu terus-menerus
memendam kepenatan lahir batinnya dari pandangan orang lain, lalu
mengompensasikannya dengan menjadi pahlawan pembela kebenaran. Yang kerap
terjadi adalah kebalikannya; gagal menyamarkan serbaneka kelainan psikologis,
si pebisnis bisa tiba-tiba meledak akibat tersulut peristiwa provokatif.
Meminjam pernyataan hakim yang menyidangkan Harold Landry,
usahawan kaliber puncak seperti memiliki suatu sifat bawaan yang manakala
terpantik, akan kuat mendorong individu tersebut untuk meletupkan aksi
kekerasan nan berbahaya. Konkretnya, dari kondisi yang semula seolah sehat
lagi produktif, sosok profesional sukses itu akan berbalik secara drastis
dengan menampilkan tindakan destruktif, baik menyakiti diri sendiri maupun
membahayakan orang lain.
Kemungkinan buruk sedemikian rupa kian kentara pada masa krisis.
Hantaman perekonomian dan iklim usaha yang suram berakibat pada meruyaknya
perasaan tidak memiliki masa depan, dan ini gerbang depresi. Individu juga
menghadapi keterbatasan sumber daya, sehingga memperparah perasaan tak
berdaya.
Tak aneh jika lantas angka bunuh diri di Amerika Serikat
melonjak pada masa krisis perekonomian, khususnya yang dilakukan oleh
orang-orang berusia produktif 25 hingga 64 tahun. Memang, tidak serta-merta
kalangan profesional memupuk watak dasamuka. Betapa pun begitu, satu
pembelajaran: Kerapuhan, yang diselubungi jubah keperkasaan, pada gilirannya
akan menggerogoti si empunya badan dan mengerosi pikiran. Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar