Keseimbangan
Pendidikan dan Difusi Trims
Iwan Pranoto ; Atase
Pendidikan dan Kebudayaan KBRI New Delhi
|
KOMPAS,
29 Oktober 2014
SISTEM pendidikan yang
mengembangkan pengetahuan ilmiah serta memberlatihkan keterampilan tentu
merupakan pemasok pekerja berpengetahuan.
Adapun difusi atau penyebaran
pengetahuan ilmiah salah satunya akan membangkitkan permintaan atas pekerja
berpengetahuan. Keserasian antara pasokan-permintaan ini mendasari
berjalannya pembangunan berbasis pengetahuan.
Di sisi riset, benar adanya
bahwa administrasi pendanaan kegiatan riset masih belum sempurna. Juga
keserasian riset antar-kementerian masih perlu ditingkatkan. Disatukannya
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi dalam pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla diharapkan bisa mengantisipasi permasalahan masa kini yang
kompleks serta perkembangan dunia riset yang gencar pada ranah
antar-disiplin. Misalnya, pemanfaatan game theory dalam ilmu politik dan
pemanfaatan teori peluang dalam mengkaji terorisme.
Permasalahan pengembangan dan
penerapan Teknologi, Rekayasa, Ilmu Pengetahuan, Matematika, dan Seni (Trims)
termasuk desain, sejatinya tidak terbatas pada peran pemerintah. Justru yang
paling utama sebenarnya strategi dalam menyokong, melibatkan, dan
memberdayakan badan usaha milik negara (BUMN) dan masyarakat guna
memanfaatkan Trims untuk menyelesaikan permasalahan masing-masing. Ini
sejalan dengan gagasan Presiden Jokowi yang menekankan masyarakat sebagai
subyek dalam pembangunan.
Dalam upaya mendorong
masyarakat berTrims, mendesain, dan berinovasi, tak harus mulai dengan
memaksakan Trims yang canggih. Strategi pelibatan BUMN dan masyarakat
ber-Trims dapat mengadopsi semangat di balik Jugaad Innovation (Radjou et al, 2012) atau inovasi hemat
yang berkembang di layanan usaha milik negara dan swasta, sampai desa-desa di
India.
Masyarakat di daerah terpencil
disokong dalam memanfaatkan Trims sederhana, dengan cara mendasar serta
sesuai fasilitas dan kearifan lokal untuk menyelesaikan permasalahannya.
Misalnya, menciptakan lemari pendingin untuk menyimpan produk susu
nir-listrik sampai jamban nir-air yang memanfaatkan bakteri anerobik guna
meluruhkan kotoran menjadi gas metan. Perguruan tinggi (PT), LSM, pemda, dan
pemerintah pusat mendampingi sekaligus menggelorakan budaya penyelesaian
masalah sendiri.
Pemanfaatan Trims berbasis
bahan lokal dan melibatkan masyarakat sebagai penerap Trims menguntungkan,
karena masyarakat akan merasa memiliki dan akan memperjuangkan
keberlangsungannya. Khususnya, masyarakat akan mampu memodifikasi dan merawat
inovasinya, tanpa perlu mendatangkan dan menunggu teknisi khusus.
Difusi Trims
Dalam Capital in The Twenty-First Century, Thomas Piketty, berpendapat,
dibutuhkan upaya negara guna menjamin berimbangnya kelajuan pendidikan dan
difusi (penyebaran) teknologi (Piketty,
2014, pp. 304-315). Ini untuk menjamin penyebaran kesejahteraan.
Walau dengan catatan, Piketty
sesungguhnya mengadopsi gagasan tersebut dari buku The Race Between Education and Technology (Goldin & Katz, 2008). Terkhusus, Piketty menyepakati pendapat
Goldin dan Katz bahwa investasi dalam pendidikan mutlak dibutuhkan untuk
pembangunan ekonomi. Investasi harus ditujukan pada pembukaan peluang di
dasar piramida ekonomi untuk mengenyam pendidikan bermutu.
Harus ada difusi pengetahuan
ilmiah. Di Indonesia ke depan, masyarakat disokong lembaga-lembaga terkait
perlu menjadi pelaku pemanfaat Trims untuk menyelesaikan masalah lokalnya.
Tanpa kelajuan difusi Trims, institusi pendidikan akan kelebihan menyuplai
tenaga kerja berpengetahuan. Akibatnya, penyerapan tenaga kerja terhambat dan
mengakibatkan sistem pendidikan sekadar menyediakan tenaga kerja bagi negara
lain dan perusahaan luar negeri. Pengangguran pekerja berpengetahuan di dalam
negeri akan menumpuk. Dampaknya, masyarakat luas tak dapat langsung merasakan
manfaat investasi negara dalam pendidikan tinggi, sehingga kesejahteraan
terhambat.
Sebaliknya, jika laju difusi
Trims lebih tinggi ketimbang laju pengembangan pengetahuan dan keterampilan
di sistem pendidikan, akan terjadi kekurangan pasokan tenaga berpengetahuan
di dalam negeri. Dampaknya, memperparah kesenjangan.
Sistem pendidikan serta
pelatihan di satu pihak dan upaya difusi Trims di lain pihak perlu senantiasa
dikelola kelajuannya agar seimbang, tetapi keduanya tak boleh
dicampuradukkan. Ini salah satu tugas utama tim pemikir di pemerintah
mendatang. Sebenarnya difusi teknologi dan pengetahuan ilmiah sudah menjadi
strategi Prof DR BJ Habibie saat menjadi Menristek. Kehadiran beberapa
industri berbasis teknologi tinggi diharapkan mampu menyebarkan, memicu, dan
mengimbas pemanfaatan Trims pada industri pendukung dan masyarakat.
Adapun pada sistem pendidikan
tinggi, lulusannya juga dituntut andal berkarya dalam dunia riset. Artinya
walaupun pendidikan merupakan bisnis intinya, institusi pendidikan tinggi
mutlak harus mengembangkan keilmuan sekaligus keterampilan dan sumbangsihnya
ke masyarakat.
Kemudian, yang tak boleh
diabaikan, pendidikan mempunyai tujuan luhur ketimbang sekadar menyiapkan
pekerja. Yang utama, pendidikan ditujukan agar warga memiliki noble life atau
kemuliaan hidup. Ini berarti bahwa pendidikan dasar, menengah, sampai
pendidikan tinggi harus menyatu dan menjamin kebersambungan antar-jenjangnya
guna mewujudkan kemuliaan hidup warga. Profil calon mahasiswa ideal harapan
PT harus menjadi profil lulusan sekolah menengah. Profil calon murid sekolah
menengah harus dipenuhi oleh lulusan sekolah dasar.
Pemisahan dirjen berdasarkan
jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi (di Kemenristek) layak
ditinjau ulang. Dapat dikaji alternatif pembagian kerja berdasarkan teritori,
seperti di sistem komando pertahanan keamanan sehingga rancang bangun
pendidikan akan gamblang, kokoh, dan terpadu utuh.
Sistem pendidikan yang terpadu
utuh dan difusi Trims yang melaju berimbang akan menguatkan pembangunan
bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar