Era
Baru BUMN Size Does Matter (3)
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 30 Oktober 2014
Barangkali Anda memiliki kegemasan yang sama dengan saya, setiap
kali menyaksikan begitu banyak peluang lalu lalang di hadapan bangsa ini,
tapi kita tidak bisa berbuat apapun. Lalu, ketika itu tak kunjung berubah,
rasa gemas itu berubah menjadi stres.
Lucius Annaeus Seneca, filsuf Romawi, mengatakan, keberuntungan
itu terjadi ketika peluang bertemu dengan kesiapan. Peluang yang
terus-menerus hanya lalu-lalang, menunjukkan betapa kita sama sekali belum
mempersiapkan diri untuk menangkapnya. Lagian, siapa yang bisa menangkap
peluang kalau tak siap?
Fenomena itulah yang saya saksikan dalam industri maritim selama
bertahun-tahun. Sebagai ilustrasi, saat ini sekitar 70% kegiatan perdagangan
dunia terjadi di kawasan Asia-Pasifik bergeser dari sebelumnya di kawasan
Atlantik. Lalu, dari seluruh perdagangan diAsia-Pasifik, 75% nya dikirimkan
melalui transportasi laut.
Di mana peluang bisnisnya? Selama ini kapal-kapal kontainer yang
mengangkut barang di seputar kawasan Asia-Pasifik tersebut selalu lalu lalang
melalui Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Makassar, dan perairan Indonesia
lainnya. Nilainya luar biasa, bisa mencapai USD1.500 triliun, atau hampir
9.000 kali nilai APBN kita.
Sayangnya dari nilai perdagangan yang sebesar itu, kita belum
berhasil memetik banyak manfaat. Itu akibat ketidaksiapan kita sendiri. Di
mana saja masalahnya, sehingga kita tak kunjung siap" Kita bisa
melihatnya dari banyak faktor. Saya ajak Anda untuk melihat beberapa di
antaranya.
Empat Faktor
Pertama, kebijakan pembangunan yang sama sekali tidak berpihak
ke laut. Meski dua per tiga wilayah kita terdiri atas lautan, dan kita
memiliki 17.508 pulau, kebijakan pembangunan kita selama ini terlalu
berorientasi ke darat. Kita bangga menyebut diri kita sebagai bangsa agraris,
bukan bangsa maritim.
Kondisi ini, antara lain, tecermin dari minimnya anggaran.
Contohnya, pada APBN 2013, anggaran untuk sektor kelautan kita hanya 0,3%
dari volume APBN. Contoh lainnya, setelah 69 tahun merdeka, baru kita
memiliki UU Kelautan. Lama sekali.
Kedua, sebagai akibat kurangnya keberpihakan terhadap kelautan,
transportasi kita pun lebih berorientasi ke darat ketimbang ke laut. Utamanya
untuk transportasi barang.
Contohnya, angkutan barang untuk jalur Jakarta-Surabaya yang
jaraknya sekitar 800 kilometer, hanya kurang dari 10% yang menggunakan
angkutan laut. Selebihnya menggunakan angkutan darat yang terdiri atas truk
termasuk truk kontainer sebanyak 89% dan kereta yang hanya berkisar 1%.
Kondisi ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara
maju. Di Jepang, misalnya, untukangkutanbarangrute Tokyo-Miyagi, 51%
menggunakan angkutan laut. Hanya 44% yang memakai truk dan 5% dengan kereta.
Begitu pula di Norwegia. Penggunaan angkutan laut berimbang dengan angkutan
darat.
Masih dominannya penggunaan angkutan darat ini sungguh ironis.
Sebab biaya angkutan laut sejatinya lebih murah jika dibandingkan dengan
angkutan darat. Kondisi inilah, antara lain, yang menjadi salah satu penyebab
tingginya biaya logistik kita.
Ketiga, kurang keberpihakan juga tercermin dari industri
perkapalan kita. Sekarang ini bagi perusahaan-perusahaan pelayaran kita,
membeli kapal impor lebih murah ketimbang membeli kapal dari industri
galangan kapal di dalam negeri. Mengapa? Sebab tingginya bea masuk impor
komponen kapal. Kondisi ini pulalah yang menyebabkan perbankan nasional kurang
tertarik untuk mengucurkan kredit ke industri pelayaran.
Keempat, kurangnya keberpihakan juga membuat pelabuhan-pelabuhan
kita menjadi kurang terurus. Kita bisa melihat potret itu dari rendahnya
kinerja pelabuhan-pelabuhan kita. Contohnya, waktu yang dibutuhkan oleh satu
kapal untuk singgah di pelabuhan, membongkar muatannya, lalu mengisinya
kembali dengan muatan dan akhirnya berlayar lagi meninggalkan pelabuhan
tersebut bisa mencapai 80 jam. Bandingkan dengan Pelabuhan Singapura yang
hanya membutuhkan waktu 12 jam.
Kondisi itu pula yang menyebabkan rasio pemanfaatan dermaga,
atau kerap dikenal dengan istilah Berth
Occupancy Rate (BOR), terbilang rendah. Menurut data dari AT Kearney,
angka BOR dari pelabuhan-pelabuhan kita ratarata hanya 57,6%.
Semua itu diperburuk dengan belum samanya Service Level Guarantee dan Service
Level Agreement dari pelabuhan-pelabuhan kita. Masih banyak urusan
administrasi di pelabuhan yang dikelola secara manual, dengan format dokumen
yang berbeda-beda dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. Sistem TI
masing-masing pelabuhan juga belum terkoneksi satu sama lain.
Belum lagi masalah yang terkait dengan kedalaman masingmasing
pelabuhan. Ini menyebabkan tak semua pelabuhan kita siap disinggahi oleh
kapalkapal yang berukuran besar sekelas Panamax, atau lebih dari 3.000 TEUs.
Apalagi untuk kapal kapal yang berukuran lebih besar, seperti jenis ultra
large container vessel (>14.500 TEUs).
Momentum
Baiklah kita punya segudang masalah. Lalu, apa yang mesti kita
lakukan untuk membenahinya?
Saat ini saya lihat kita punya momentum yang luar biasa untuk
membenahi industri kelautan kita. Kita punya Presiden Joko Widodo dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla yang menaruh perhatian luar biasa terhadap industri
maritim. Kita juga punya menko kemaritiman, yang dijabat oleh Indroyono
Soesilo. Kita juga punya Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang
berlatar belakang entrepreneur. Lalu, kita juga punya Ignasius Jonan sebagai
menteri perhubungan, yang terkenal dengan gerak cepatnya dan kemampuannya
dalam melakukan transformasi perusahaan.
Sosok-sosok tersebut, saya lihat, punya daya ungkit yang luar
biasa untuk membenahi industri kelautan kita. Kini, bagaimana kita
memulainya? Bicara soal ini, saya punya resep sederhana. Kita bisa mulai dari
hal-hal yang paling mudah, dan harus mulai sekarang juga (baca, secepatnya).
Ini perlu sebab akhir tahun 2015 kita akan memasuki era ASEAN Economic Community (AEC).
Pada era ini, saya lihat, dunia usaha akan berkompetisi dengan
mengandalkan size (ukuran) dan efisiensi. Semakin besar skala usahanya, dan
semakin efisien perusahaan tersebut, semakin besar peluangnya untuk
memenangkan persaingan bisnis.
Kita tahu, sinergi merupakan masalah besar di negeri ini. Juga,
sinergi antar-BUMN. Tapi, di industri perkebunan dan kehutanan kita sudah
berhasil melakukannya. Mereka sudah membentuk holding company. Saya lihat
kini tiba gilirannya untuk perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri
kelautan, termasuk pelabuhannya. Saya berangan-angan, andai PT Pelindo I, III
dan IV, serta Indonesia Port Corporation bisa bergabung menjadi satu, betapa
besar daya ungkitnya bagi perekonomian nasional.
Biaya logistik pasti akan jadi lebih murah. Produk-produk kita
akan menjadi lebih kompetitif di pasar ekspor. Keseimbangan perdagangan
antara kawasan barat dan timur Indonesia akan bisa kita wujudkan. Indonesia
pasti akan jauh lebih diuntungkan. Jadi, mari kita manfaatkan momentum ini.
Jangan sampai lepas lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar