Dosa
Lima Perkara
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk
Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 03 November 2014
Pak Jokowi, presiden kita yang tampak selalu informal, punya
agenda dan siap bekerja. Kabinetnya pun disebut Kabinet Kerja. Seolah yang
lain-lain, para pendahulunya, hanya kabinet tamasya. Seolah yang dulu sibuk
membahas persoalan sensitif, semata hanya untuk membangun sebuah wacana
politik, yang menggambarkan kesungguhan, tapi kemudian, sesudah lelah selama
bekerja berhari-hari, dan rakyat menantikan pemecahan dan jalan keluarnya,
ternyata keputusannya hanya berupa perintah atau ajakan,untuk
mengendapkannya.
Kalau hanya begini, banyak sekali jenisnya. Masyarakat kita
penuh dengan semangat bicara, dan kemudian mengendapkannya, karena itu yang
paling mudah. Bahwa ajakan presiden dulu itu membuat banyak sekali orang yang
kecewa, dan merasa dilecehkan kewarganegaraan, dan hak-hak politiknya, ya
”monggo mawon ”. Tapi sang presiden, yang sudah memutuskan begitu, siapa
bakal melawannya? Presiden memang memiliki kekuasaan untuk berbuat seperti
itu.
Kekuasaan presiden besar. Dan jika kekuasaan besar itu masih
dirasa kurang, bisa ditambah lagi, supaya menjadi lebih besar. Tapi apakah
perbuatan itu memang merupakan bagian dari apa yang bisa dianggap mewakili
aspirasi warga negara? Pak Jokowi punya agenda, dan rakyat pun punya agenda.
Para pendukung, yang kelihatan siap bekerja keras, juga mendorong Pak Jokowi
melakukan hal-hal penting lainnya, yang menambah agenda Pak Jokowi menjadi
lebih panjang, lebih mendalam, lebih berat.
Dan, bagaimana jika yang mereka sarankan itu ternyata di luar
jangkauan kemampuan Pak Jokowi? Gagasan Pak Jokowi mengenai ”tol laut”, yang
berarti bukan sekedar membenahi sistem transportasi laut, melainkan juga
penegakan hukum di laut, yang jelas merupakan pekerjaan yang tak terbayangkan
kompleksitas dan kesulitan-kesulitannya, ditambah banyak agenda baru, yang
secara idealistis didesakkan berbagai kalangan.
Pak Jokowi punya agenda, para pendukung menambah kompleks agenda
beliau. Kalau duitnya ada, sumber daya manusianya ada, dan sebagai agenda,
beberapa di antaranya memang bisa dilaksanakan, kita tahu betapa bagusnya.
Tapi untuk menghidupkan kembali pelabuhan demi pelabuhan, yang bakal
kelihatan sebagai usaha mengembalikan kejayaan kemaritiman Majapahit dan
Sriwijaya dulu, bagaimana menempatkannya di dalam agenda kerja kabinet, yang
memiliki prioritas, dibatasi dana, dan dihadapkan pada kekurangan sumber daya
manusia?
Pak Jokowi dibuat tak berkutik oleh saran-saran idealistis, yang
kelihatan mendukungnya, siap membantunya bekerja keras, dan mewujudkannya
menjadi prestasi kabinetnya. Bagaimana kalau hanya sebagian saja dari agenda
itu yang bisa dilaksanakan?
Kerja kabinet itu realis, bukan idealis. Dalam jangka lima
tahun, saran-saran itu mustahil dicapai. Dan, kabinet tidak boleh bekerja
dalam kemustahilan. Kita bicara mengenai apa yang mungkin. Apa yang tak mungkin,
tak usah terlalu menjadi pertimbangan, sebab siapa tahu hal itu kelak hanya
menjadi jebakan politik, untuk membuatnya malu, tapi sudah terlanjur tak
berdaya?
Agenda bidang pendidikan dan kebudayaan itu ibaratnya sudah
segunung. Membenahi hutan dan lingkungan sudah segunung lagi. Agenda
memberantas kemiskinan juga segunung. Menjaga gengsi pertumbuhan ekonomi
merupakan tambahan lain yang juga segunung besarnya. Siapa bakal menangani
itu semua hanya dalam masa lima tahun? Apalagi, kerja keras mewujudkan agenda
demi agenda yang beberapa gunung besarnya itu merupakan bagian dari cara
mewujudkan kemandirian bangsa. Semangat mandiri itu banyak wajahnya.
Bisa mewujudkan agenda kemandirian bangsa melalui kemandirian di
bidang hukum, hingga aturan-aturan hukum kita tak terlalu penuh dengan campur
tangan kepentingan politikekonomi bangsa lain? Kalau satu agenda ini saja
yang diprioritaskan, dan bisa kita capai, Pak Jokowi akan dikenang sebagai
orang besar, presiden besar, pemimpin besar.
Dalam idealisme Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang
penuh semangat berbicara mengenai ”Trisakti” itu, sebenarnya kemandirian di
bidang hukum ini tidak terlalu istimewa. Ini wujud kedaulatan kita di bidang
kebudayaan, yang kita damba-dambakan. Tapi beranikah Pak Jokowi berjanji,
bakal bisa mewujudkan perkara sederhana ini? Gagasan idealis mengenai apa
yang kita sebut ”Trisakti”, itu membutuhkan kerja keras, dan perjuangan
politik yang tak mudah.
”Trisakti” tak cukup hanya dipidatokan, dan sesudah itu seolah
sudah tercapai. Tidak bisa. Kemandirian di bidang hukum, salah satu wujud
kedaulatan bangsa di dalam kebudayaan ini bukan lagi wacana di atas mimbar,
melainkan agenda kerja, sebutannya ”kerja keras”, memeras keringat,
membanting tulang, tak mengenal siang tak mengenal malam. Kerja, kerja dan
kerja itu pengabdiannya.
Dan jika hal sederhana, yaitu kehendak untuk merdeka di bidang
yang sempit dan khusus, bidang hukum, tak tercapai, apa arti perjuangan
mendambakan ”Trisakti” itu? Selebihnya, agenda kemandirian bangsa juga bisa
diwujudkan dalam corak lebih sederhana lagi, lebih praktis, lebih nyata:
jangan biarkan bangsa kita kleleran mencari kerja, dan dilecehkan di negeri
asing.
Mereka menjadi, maaf, ”koeli ” murah, murahan, menderita, dan
teraniaya. Bangsa mandiri macam apa yang membiarkan warganya, harus mencari
kehidupan di negeri asing? Kemandirian apa yang didambakan bangsa itu, bila
warganya disiksa di luar batas kemanusiaan, disetrika tubuhnya, digantung dan
bahkan diperkosa, tapi negara diam, membisu seribu bahasa?
Kalau tata kehidupan kerja dan usaha mencari penghidupan macam
ini tak berubah sesudah kita berniat mewujudkan kemandirian bangsa, kita
memikul ”doso limang perkoro ” (dosa lima perkara): dosa pada negara, dosa
pada bangsa, dosa pada rakyat, dosa pada diri sendiri, dan dosa pada
kemanusiaan. Pak Jokowi, presiden, orang baik, orang serius, orang jujur,
pasti takut dengan ini semua.
Dan tak mungkin berani melanggarnya. Jadi, saya kira begini Pak:
silakan menjadi diri sendiri, secara otentik, dan mandiri. Pemimpin yang
hendak mewujudkan gagasan membuat bangsanya mandiri, lebih dulu dirinya harus
mandiri.
Banyak saran, banyak permintaan, tapi kalau yang banyak itu
menjadi kebanyakan, dan bakal menjerat langkah Pak Jokowi, dan menjerumuskan
nama baik di kubangan politik Senayan, lebih baik lupakan. Dosa lima perkara
itu tidak main-main. Jauh dari itu, kredibilitas politik sang presiden takkan
tergoyahkan. Dosa lima perkara itu tanggung jawab ”fi dunya wal akhirah”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar