HP
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 02 November 2014
Pada tahun 1975, ketika saya beruntung mendapat rumah dinas dari
UI di Ciputat, wilayah itu masih tempat jin membuang anak. Jalan akses
satu-satunya ke Jakarta adalah lewat Pondok Pinang dan Kebayoran lama. Pondok
Indah belum ada, apalagi jalan tol. Tetapi pada waktu itu, setiap pagi saya
mengantarkananaksaya yangmasih sekolah di kawasan Menteng, saya berangkat jam
06.15 dan sampai di sekolah sebelum jam 07.00. Tidak pernah terlambat.
Di sisi lain, rumah yang jauh dari mana-mana dan belum ada
aliranlistriknya, tentunya sangat membutuhkan sambungan telepon. Tetapi, saya
perlukan tiga tahun untuk mendapat sambungan telepon ke rumah. Alasan PT
Telkom (entah nama perusahaan pelat-merah itu apa ketika itu) macam-macam.
Belum ada sambungan, nunggu giliran, harus memasang tiang dan menarik kabel,
dan lain-lain. Ketika akhirnya telepon itu terpasang tiga tahun kemudian,
ongkosnya pun mahal banget. Jauh diatas kemampuan seorang PNS muda yang bukan
pegawai Kantor Pajak atau Bea Cukai.
Pada pertengahan tahun 1980-an, mulai ada telepon genggam atau
HP (handphone) untuk menggantikan radio panggil (biasa disebut Starko, yaitu merek
dari salah satu provider-nya) yang biasa dipakai oleh para dokter dan
salesman supaya cepat dihubungi jika perlu.
Tetapi, HP model pertama berukuran besar, lebih besar dari
genggaman orang dewasa, berat dan kalau buat melempar anjing, anjingnya bisa
mati. Tetapi yang lebih penting, daya jangkau HP model lama itu hanya
terbatas Jakarta, dan yang terpenting harganya luar biasa mahal, antara Rp8
juta sampai Rp20 juta (ketika nilai tukar dolar masih Rp2.500/ USD). Karena
itu, yang bisa memiliki HP ketika itu hanya elite masyarakat Jakarta kelas
Ali- Baba (Ali mewakili pejabat pribumi, Baba mewakili pengusaha non-pribumi
yang semuanya papan atas).
Tetapi hari ini, di saat nilai tukar dolar AS seputaran Rp12.000
lebih, dengan beberapa ratus ribu rupiah para PO (pilot ojek) dan ART
(asisten rumah tangga) pun sudah bisa punya HP. Pulsanya pun bisa dibeli
mulai dari harga Rp5.000, atau bahkan kurang dari itu. Tetapi,
perusahaan-perusahaan provider HP tidak ada yang bangkrut, malah makin
banyak, bukti bahwa bisnis HP sangat menguntungkan. Tidak heran jika sekarang
semua orang punya HP, bukan hanya para orang dewasa, anak-anak SD pun sudah
pegang HP, karena ukuran HP sekarang mungil-mungil, sehingga bisa digenggam
tangan anak-anak usia SD dengan nyaman.
Lebih dari itu, yang lebih dahsyat lagi, adalah bahwa di dalam
HP mungil jaman sekarang ini ada banyak fungsi. Selain untuk menelepon ke
seluruh dunia (bukan hanya Jakarta) bisa untuk mengirim teks (SMS, BBM,
Whatsapp dll), bisa untuk memotret, ada kamera videonya, sekaligus bisa
memutar video, ada jam, ada agenda, ada mesin ketik, dan spread sheet (untuk
membuat daftar-daftar), ada kalkulator, ada e-book, ada internet, dan
lain-lain yang biasa ada dalam komputer, dan sebagainya dan seterusnya. Makin
mahal HP, makin banyak fiturnya, namun ukurannya tidak makin besar, tetap
bisa digenggam anak SD.
Padahal ketika saya masih sekolah SD dulu, kalau kita mau
berlibur ke luar kota dan mau membawa kamera foto, kamera video, pesawat
telepon, buku agenda, jam wekker (untuk membangunkan kita dari tidur), buku
buku bacaan untuk diperjalanan, maka kita harus menyewa bus carteran, tidak
bisa naik kereta api, karena barang-barang itu tidak bisa dimasukkan ke
koper. Ketika sudah ada mesin faks dan komputer, mungkin kita perlu menyewa
satu kontainer, karena komputer di tahun 1970-an besarnya masih satu gedung
berlantai tiga. Tetapi, semua itu hari ini dengan nyaman bisa dibawa bawa
oleh seorang anak SD dan masuk ke dalam ransel sekolahnya (dengan risiko bisa
kena rampas guru kalau ada razia HP). Luar biasa!
Saya bukan ahli fisika, juga bukan insinyur elektro. Tetapi dari
yang saya ketahui, semua itu dimungkinkan oleh teknologi yang dinamakan
teknologi nano (bukan mereka permen yang rasanya ramai). Teknologi ini
memungkinkan orang untuk mereduksi volume semua benda menjadi hanya 1/50.000.
Dengan teknologi nano itulah, semua benda yang sebanyak satu kontainer itu,
berikut fungsinya masing-masing, bisa direduksi menjadi hanya sebesar
genggaman anak SD. Ini suatu lompatan teknologi yang luar biasa, yang di
tahun 1970-an saya bayangkan hanya mungkin terjadi dalam ceritacerita James
Bond, mata-mata Inggris berkode 007.
Dampak dari lompatan teknologi ini juga luar biasa. Dunia
tiba-tiba jadi kampung kecil, karena dengan HP kita bisa menjangkau seluruh
pelosok dunia. Struktur masyarakat, perdagangan, politik, pemerintahan,
sosial, budaya dan sebagainya, berubah drastis. Maka terjadilah apa yang oleh
Alfin Toffler dinamakan ”kejutan budaya” (culture
shock). Orang tidak siap menghadapi kejutan budaya yang berbasis loncatan
teknologi informasi ini. Maka orang curhat diInstagram, yang buntutnya
menghinaoranglain, dan dilaporkan ke polisi. Di tengah rapat serius, menerima
telepon dengan suara keras. Di dalam kelas, bukannya mendengarkan guru, malah
BBM-an. HP pun digunakan untuk mengirim jawaban contekan ketika ujian atau
ulangan, dan HP bisa jadi alat untuk menghasut oleh teroris atau untuk
merekam adegan-adegan mesum sesama kawan sekolah, dan pesan SMS dijadikan
”Sarana Menuju Selingkuh”.
Umat manusia sedang dihadapkan pada masalah yang sangat serius
dengan hadirnya HP ini, yaitu masalah kejutan budaya dan masalah penyesuaian
norma etika sehubungan dengan kemajuan teknologi yang makin pesat dan akan
terus bertambah pesat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar