Babak
Baru Krisis Politik DPR
Muhammad Tri Andika ; Ketua
Program Studi Ilmu Politik Universitas Bakrie, Direktur Eksekutif Institute
for Policy Studies
|
KORAN
SINDO, 01 November 2014
Dideklarasikannya pimpinan DPR tandingan menandai babak baru
krisis politik dilembaga legislatif. Peristiwa politik ini sontak mengejutkan
publik dan memunculkan rasa keprihatinan terhadap perilaku elite politik DPR.
DPR yang diharapkan bisa bekerja optimal dalam mengawal jalannya
eksekutif justru masih sibuk terlibat konflik internal yang tidak jelas
penyelesaiannya. Secara kelembagaan, proses konsolidasi DPR harusnya bisa
berjalan lebih cepat. Sebab, selain pelantikan DPR dilakukan lebih awal dibandingkan
dengan pelantikan presiden, DPR juga harus sudah mulai bisa bekerja ketika
susunan kabinet yang dibentuk presiden selesai dilantik.
Banyaknya fungsi DPR yang harus sudah dijalankan seharusnya
mendorong DPR untuk semakin cepat dalam mengonsolidasikan lembaganya. Namun,
apa yang terjadi di DPR saat ini tidaklah demikian. Agenda penetapan pimpinan
Alat Kelengkapan Dewan (AKD) justru menjadi momen terciptanya krisis politik
baru di DPR. Setelah melewati pertarungan perebutan kursi pimpinan DPR dan
kemudian dilanjutkan pemilihan pimpinan MPR, kini hubungan Koalisi Merah
Putih/KMP (Golkar, Gerindra, PKS, PAN, Demokrat) dan Koalisi Indonesia Hebat/
KIH (PDIP, Nasdem, Hanura, PKB, PPP) kembali menegang dalam proses penetapan
pimpinan AKD.
Di satu sisi KIH meminta kebijaksanaan Koalisi Merah Putih untuk
berbagi kursi pimpinan AKD, di sisi lain Koalisi Merah Putih memandang
permintaan yang diajukan oleh KIH masih terlalu banyak. Situasi inilah yang
kemudian membuat KIH tidak mau menyerahkan daftar nama anggotanya untuk
mengisi AKD dalam rapat paripurna DPR. Situasi inilah yang selanjutnya
dimanfaatkan Koalisi Merah Putih untuk menyapu bersih kursi pimpinan AKD.
Terhadap situasi ini, penulis mengangkat dua buah pertanyaan,
yakni bagaimana sebenarnya pengaruh terbentuknya pimpinan DPR tandingan yang
dideklarasikan oleh KIH terhadap kinerja DPR dan apa dampak politiknya?
Frustrasi Politik
Deklarasi pimpinan DPR tandingan menurut hemat penulis
mencerminkan beberapa hal. Pertama, deklarasi pimpinan DPR tandingan lebih
merupakan ekspresi frustrasi politik yang dialami oleh KIH ketimbang sebagai
mekanisme percepatan pengonsolidasian di DPR. Kefrustrasian ini semakin
nampak ketika KIH justru mendorong Presiden Jokowi untuk mengeluarkan perppu
guna membatalkan UU MD3.
Satu langkah yang justru bisa mempersulit jalannya pemerintahan
Jokowi-JK dalam mengimplementasikan agenda- agenda strategisnya. Kedua,
keberadaan pimpinan tandingan DPR bisa dikatakan sebagai manuver politik yang
sebenarnya tidak perlu dilakukan oleh KIH. Sebab sekalipun dibentuk
kepemimpinan tandingan, keberadaannya tidak diatur dalam peraturan mana pun.
Sehingga, pemimpin DPR tandingan tidak bisa melakukan apa pun
selain hanya sebagai simbol perlawanan politik terhadap Koalisi Merah Putih.
Sebenarnya, dengan status KIH sebagai bagian dari kelompok yang tengah
berkuasa, masih banyak mekanisme lain di parlemen yang bisa ditempuh guna
memperkuat kinerja Pemerintah Jokowi-JK. Membuat tandingan pimpinan DPR yang
saat ini dipegang oleh Koalisi Merah Putih hanya akan memperlebar jarak
politik antar- kedua belah pihak, yang kemudian justru bisa menghambat
kinerja Presiden Jokowi.
Dampak Manuver KIH
Meski demikian, adanya deklarasi pimpinan DPR tandingan
berpotensi memunculkan dampak yang tidak kecil. Setidaknya ada tiga dampak
yang diakibatkan dari manuver politik KIH ini. Pertama, deklarasi pimpinan
DPR tandingan sangat berpotensi memunculkan konflik politik yang tidak
substansial.
Hal ini dikarenakan deklarasi yang dilakukan KIH lebih nampak
sebagai simbol perlawanan politik ketimbang kebajikan niatnya untuk
meningkatkan kinerja DPR. DPR yang seharusnya sudah mulai sibuk berkoordinasi
dengan eksekutif, pada akhirnya masih harus terjebak dalam konflik internal
yang sangat prosedural. Kita juga bisa membaca peristiwa tersebut sebagai
refleksi dari sebagian elite yang masih belum bisa bersikap ksatria dalam
berpolitik.
Kita bisa rasakan bahwa gesekan di masyarakat bawah akibat
warisan pertarungan pilpres relatif menurun setelah Jokowi dan Prabowo
menunjukkan sikap ksatrianya, di mana kedua tokoh bertemu
dalamsuasanayanghangat. Suatu peristiwa yang telah menyentuh emosi masyarakat
Indonesia. Dampak kedua adalah akan menurunnya kualitas kinerja DPR. Dengan
situasi saat ini, secara prosedural DPR memang sudah bisa menjalankan
fungsinya untuk melakukan pengawasan dan berkoordinasi dengan eksekutif.
Namun, selagi KIH masih pada posisinya saat ini, maka praktis
hanya 314 dari 560 anggota dewan yang bekerja. 216 lainnya baru bisa bekerja
setelah KIH menyerahkan daftar nama anggotanya dan disahkan dalam paripurna
DPR untuk masuk ke dalam AKD yang sudah terbentuk. Terhadap kondisi ini kita
sangat bisa pastikan bahwa kualitas kinerja DPR tidak akan maksimal. Sebab,
hampir separuh dari anggota DPR yang semuanya dari KIH tidak bisa terlibat
dalam proses yang dilaksanakan di dalam AKD.
Kondisi ini akan semakin buruk jika KIH terus mendesak Presiden
Jokowi untuk mengeluarkan Perppu menggantikan UU MD3. Kalau langkah ini yang
selanjutnya ditempuh dan Presiden Jokowi mengamininya, maka krisis politik
akan semakin meluas. Dampak ketiga dari peristiwa ini yaitu akan semakin
terpuruknya citra DPR di mata masyarakat.
Dengan adanya deklarasi pimpinan DPR tandingan oleh KIH, penulis
melihat hal ini bukan akan meningkatkan legitimasi publik terhadap DPR,
justru malah semakin menguatkan bayangan masyarakat mengenai sikap para elite
politik di DPR yang belum mampu mendahulukan kepentingan bangsa dan negara
daripada kepentingan kelompok dan pribadi.
Menuju Konsolidasi DPR
Konsolidasi DPR adalah prasyarat agar kinerja DPR bisa maksimal.
Dan, melihat situasi saat ini, faktor sikap politik para anggota Dewan yang
lebih mengedepankan kepentingan publik menjadi cara yang harus ditempuh.
Dalam pertarungan politik ada yang menang dan ada yang kalah. Kekalahan dalam
pertarungan demokrasi harus disikapi sikap secara ksatria oleh siapa pun.
Ksatria dalam makna menerima keputusan yang telah ditetapkan dan
meresponsnya secara konstitusional, bukan dengan melakukan pemboikotan
politik atau dengan mendeklarasikan tandingan dari kepemimpinan yang sah,
yang pada akhirnya justru akan merugikan masyarakat. Lebih jauh daripada itu,
terbelahnya dua kekuatan di DPR, KIH dan KMP, merupakan kenyataan politik
kita hari ini yang harus diterima oleh setiap pihak.
Pembelahan tersebut jangan dipandang sebagai penghambat
demokrasi, namun justru sebaliknya, sebagai peningkat kualitas demokrasi.
Perjalanan lima tahun ke depan akan sangat dinamis. Namun sepanjang
dijalankan secara konstitusional, dinamika yang terjadi bisa menjadi energi
besar bagi pembangunan demokrasi Indonesia ke depannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar