Kisruh
DPR dan Harapan yang Hilang
Mohammad Nasih ; Pengajar
di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Guru di Rumah
Perkaderan Monash Institute
|
KORAN
SINDO, 01 November 2014
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki tiga fungsi dasar, yaitu:
legislasi, pengawasan, dan penganggaran. Tiga fungsi tersebut sangat penting
untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang berorientasi kepada pembangunan
negara yang baik. Jika fungsifungsi tersebut dijalankan secara optimal, maka
cita-cita kenegaraan juga akan bisa dicapai secara akseleratif. Dan untuk
itu, diperlukan suasana politik yang “kondusif”.
Konflik politik harus dikelola secara dewasa, sehingga konflik
politik yang bisa dikatakan menjadi sebuah keniscayaan dalam negara demokrasi
bisa membuat lembaga negara tetap produktif menghasilkan kebijakan dan
program yang positif untuk menyejahterakan rakyat. Jika suasana politik tidak
kondusif, maka yang akan terjadi justru sebaliknya. Capaian-capaian yang
sudah ada, bisa mengalami degradasi. Negara akan mengalami kerugian, dan
ujung-ujungnya rakyatlah yang akan menjadi korban.
Karena itu, kekisruhan yang terjadi di DPR dengan adanya
pimpinan DPR “tandingan” oleh kelompok Koalisi Indonesia Hebat (KIH)
merupakan sebuah insiden politik yang sangat disayangkan. Sebagian rakyat
yang sebelumnya cemas karena dihantui oleh wacana bahwa akan terjadi
pergantian kekuasaan dalam suasana tidak normal bahkan kekisruhan, telah lega
karena menyaksikan kenyataan bahwa proses politik di Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) ternyata terjadi dengan sangat mulus, dalam suasana
kekeluargaan.
Bahkan disebut sebagai prosesi politik yang paling baik
sepanjang sejarah Republik ini. Pihak- pihak yang sebelumnya terlibat dalam
kompetisi sangat sengit dan dianggap berseteru ternyata hadir dalam acara
serah terima jabatan tertinggi negeri ini dalam satu majelis. Bahkan, Prabowo
yang sering disebut tidak legawa dengan kekalahannya dalam Pilpres, tidak
seperti dugaan banyak orang, hadir dalam Sidang Paripurna MPR pada 20 Oktober
2014 dan menunjukkan sikap kesatrianya.
Setidaknya, itulah yang terlihat di permukaan. Sebaliknya, yang
kemudian membuat suasana kembali kisruh adalah kelompok KIH. KIH yang
sebelumnya dengan sangat intens membangun wacana bahwa Koalisi Merah Putih
(KMP) tidak siap menerima kekalahan, justru bagai menepuk air di dulang,
tepercik di muka sendiri. Justru merekalah yang kemudian menghambat
proses-proses politik di DPR dengan tidak mengirimkan nama-nama untuk mengisi
keanggotaan di alatalat kelengkapan DPR, sehingga menyebabkan kinerja DPR
tidak berjalan optimal, bahkan bisa dikatakan mandek.
Sikap KIH ini dipicu oleh KMP yang mengambil secara total
posisi-posisi kepemimpinan di DPR maupun MPR. Dan dengan mekanisme yang ada,
berdasarkan kalkulasi hal yang sama akan terjadi pada perebutan pimpinan di
alat kelengkapan DPR. Nampaknya, KIH mengidap kekhawatiran bahwa jika KMP
berkuasa secara dominan, apalagi total, maka hal itu akan mengganggu kinerja
pemerintahan Jokowi-JK. Kekhawatiran ini, dalam konteks suasana politik yang
sangat terbuka sekarang ini, bisa dikatakan berlebihan. Justru dengan
eksistensi KMP yang kuat, ada harapan bahwa pemerintahan baru di bawah
kepemimpinan Jokowi-JK akan berjalan dengan kontrol yang ketat dari DPR.
Kekuatan KMP yang relatifsolid untuk menjadi kekuatan
penyeimbang, sesungguhnya layak dianggap sebagai berkah politik tersendiri.
Karena, baru terjadi pada periode politik ini terdapat partai politik dalam
jumlah besar tetap bertahan di luar kekuasaan eksekutif yang biasanya
dianggap sangat menggiurkan. Sejarah politik sebelumnya mencatat bahwa
partai-partai politik yang kalah dalam pilpres, terutama Partai Golkar, ikut
bergabung dalam kekuasaan eksekutif.
Bahkan, KMP telah diprediksi oleh banyak pihak hanya akan
permanen jika menang pilpres. Jika kalah, maka akan bubar jalan. Namun
ternyata, pasca-Pilpres 2014, Partai Golkar sebagai kekuatan politik terbesar
kedua di DPR menyatakan dengan tegas, walaupun tentu saja dengan bahasa
retorik, akan membantu pemerintah dari DPR. Hanya PPP, yang karena ketua
umumnya mengalami masalah hukum, maka konflik internalnya tidak bisa
terkelola dengan baik dan berimplikasi kepada sikap politik yang dalam
momentummomentum tertentu mendua.
Dengan KMP menjadi kekuatan politik dominan di DPR,
praktik-praktik korupsi yang selama ini terjadi dalam penyelenggaraan
pemerintahan bisa ditekan. Sebagai kekuatan penyeimbangdiDPR, makafraksi-
fraksi yang tergabung dalam KMP akan bertindak secara ekstra hati-hati dengan
menjauhi praktik-praktik penyelewengan kekuasaan, terutama korupsi. Sebab,
jika mereka melakukan penyelewengan kekuasaan, maka mereka akan kehilangan
“taji” untuk melakukan kontrol atas pemerintah.
Dalam konteks ini, peluang korupsi berjamaah antara pihak
pemerintah dengan DPR akan bisa ditekan. Sebab, DPR secara umum tidak akan
bisa korupsi jika hanya sendirian. Secara umum, korupsi yang dilakukan oleh
oknum-oknum di DPR hanya bisa terjadi apabila ada kesepakatan dengan oknumoknum
yang ada di rumpun kekuasaan eksekutif. Jika pun terdapat peluang korupsi
yang ada di DPR, maka dengan adanya dua kubu di DPR, keduanya akan “saling
intai”. Dengan demikian, peluang korupsi di DPR akan menjadi semakin kecil.
Dua periode politik sebelumnya yang di dalamnya penguasa
eksekutif mendapatkan dukungan sangat dominan dari kekuatan politik di DPR
seharusnya menjadi pelajaran berharga. Dengan dukungan dominan itu, justru
yang terjadi adalah penyelewengan kekuasaan yang terbilang besar.
Tidak sedikit anggota DPR dan juga pejabat eksekutif yang
berurusan dengan aparat penegak hukum karena mereka berkomplot untuk korupsi.
Dalam konteks ini, harmoni yang terjadi antara rumpun kekuasaan eksekutif dan
legislatif tidak menghasilkan sesuatu yang positif. Justru sebaliknya,
harmoni di antara dua rumpun kekuasaan ini lebih banyak melahirkan
penyelewengan kekuasaan. Karenaitu, mestinya dominasi KMP di DPR tidak perlu
dikhawatirkan.
Bahkan, walaupun seandainya KMP membangun kebijakan-kebijakan
politik yang tidak objektif kepada pemerintah, semisal dengan menghambat
program-program pemerintah. Situasi yang sangat terbuka sekarang ini, dengan
keberadaan media yang sangat kuat, juga dengan media sosial yang memungkinkan
cukup banyak masyarakat bisa mengakses informasi secara cepat dari
sumbersumber yang akurat, maka tindakan politik yang menghambat
program-program politik pemerintah justru akan merugikan pihak yang
melakukannya.
Akibat lainnya, Pemerintahan Jokowi-JK dalam situasi tersebut
tidak memiliki pilihan lain selain menjalankan kekuasaan dengan benar untuk
rakyat. Jika pemerintah Jokowi-JK benarbenar secara konsisten membuat dan
berusaha menjalankan program-program yang menguntungkan rakyat, tetapi
dihalang- halangi oleh KMP melalui lembaga DPR, maka partai-partai yang
tergabung dalam KMP akan mendapatkan resistensi dari masyarakat. Asumsi
sederhananya, dalam pemilu selanjutnya partai-partai tersebut tidak akan
didukung oleh rakyat.
Jokowi dan JK juga tidak perlu dikhawatirkan akan digulingkan di
tengah jalan. Sebab, untuk bisa memakzulkan presiden di tengah jalan bukanlah
perkara mudah, bahkan dengan konstitusi yang ada sekarang bisa dikatakan
hampir mustahil. Hanya jika presiden dan/ atau wakil presiden melakukan
tindakan-tindakan tertentu yang membuatnya tidak layak lagi menjadi presiden
sajalah, salah satu atau keduanya bisa dimakzulkan.
Mestinya kubu KIH di DPR membangun politik yang kondusif untuk
keberhasilan pemerintahan yang mereka dukung. Sebab, tanpa dukungan DPR
secara institusional, pemerintahan tidak akan bisa berjalan. Dominasi KMP di
DPR saat ini mesti dianggap sebagai sebuah dinamika politik yang biasa saja.
Posisi yang sama juga bisa dialami oleh partai-partai yang tergabung dalam
KIH dalam periode politik yang lain. Apalagi secara faktual, tidak ada aturan
main yang dilanggar. Dengan sikap dewasa, pemerintahan akan bisa berjalan.
DPR juga akan menjadi lembaga yang mampu memberikan harapan baru
bagi masyarakat untuk melakukan kontrol atas kekuasaan eksekutif yang
memiliki peluang korupsi secara mandiri. Jika di dalam DPR terdapat sikap
yang tidak dewasa, maka masyarakat akan semakin membangun generalisasi untuk
bersikap antipati kepada DPR.
Dan jika DPR sibuk dengan dirinya sendiri, maka
fungsi-fungsinya, terutama untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintahan,
akan tidak bisa dijalankan. Di sinilah peluang korupsi akan menjadi semakin
besar. Wallaahu aWallaahu alam bi
al-shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar