TNI
Profesional dalam Konsep MEF
Danang Probotanoyo ; Center for Indonesia Reform Studies (CIRS), Alumni UGM
|
REPUBLIKA,
09 Oktober 2014
Seperempat abad silam, dalam suatu konferensi angkatan udara di
Canberra, kepala Studi Strategi dan Pertahanan Universitas Nasional Australia
Prof Desmond Ball mencemaskan peningkatan kemampuan militer negara-negara
Asia Tenggara. Ball sangat mencemaskan pembelian pesawat tempur modern dan kapal
perang yang dilengkapi dengan rudal mutakhir oleh negera-negara Asia
Tenggara.
Pembelian senjata itu dikatakan akan mengurangi keunggulan Australia
dalam hal teknologi militer. Dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya,
Indonesia tentu sebagai sumber utama kecemasan Ball. Australia memiliki
kedekatan hubungan dengan Malaysia, Singapura, dan Brunei sebagai sesama Commonwealth Nations. Bahkan,
Australia bersama dengan Selandia Baru, Inggris, Malaysia, dan Singapura
tergabung dalam pakta pertahanan Five
Power Defence Arrangement (FPDA).
Jauh sebelum Ball melontarkan kecemasannya, Australia sudah fobia
terhadap Indonesia di era Soekarno. Panglima ABRI (sekarang TNI) saat itu
Jenderal Try Sutrisno, cukup berang dengan sikap Indonesia-phobia sebagaimana
diidap Ball. Try berkata, "Australia
harus belajar sejarah agar tahu bahwa Indonesia bukanlah negara ofensif
melainkan defensif. Indonesia baru berperang bila kedaulatannya
terancam!"
Kekhawatiran beberapa pihak di Australia sejatinya menyimpan intellectual exercise dalam dua sisi.
Secara internal, mendorong Pemerintah Australia agar selalu meningkatkan
anggaran pertahanannya. Secara eksternal, meminta perhatian Amerika sebagai
sekutu utamanya agar selalu melindungi Australia.
Benarkah secara militer Indonesia bisa mengancam negara-negara
tetangganya sebagaimana ditakutkan Australia? Pembangunan postur dan kekuatan
TNI dengan paradigma minimum essential force (MEF) yang digenjot sejak 2009
hingga 2024, apakah akan mengubah doktrin defensif TNI menjadi kekuatan
ofensif regional?
Di dalam buku putih Pertahanan Negara tahun 2008 disebutkan, pemerintah
menetapkan kebijakan strategis penyelenggaraan pertahanan negara. Di dalamnya
menyangkut postur kekuatan pertahanan negara, gelar kekuatan, alat utama
sistem senjata (alutsista), dan program pembangunan jangka panjang. Acuannya
adalah kepentingan nasional. Kepentingan nasional suatu negara akan
terlindungi bila negara memiliki postur pertahanan yang kuat dan profesional,
yang berdaya tangkal dan berdaya penghancur.
Kepentingan nasional adalah dasar menentukan sistem pertahanan dan
keamanan negara serta strategi pertahanan sebagaimana diamanatkan alinea
keempat Pembukaan UUD 1945. Kepentingan nasional merupakan arah yang harus
dicapai dalam strategi pertahanan negara untuk menjamin keutuhan wilayah
NKRI, kedaulatan negara dan keselamatan segenap bangsa Indonesia.
Berdasarkan kondisi lingkungan strategis, baik global, regional, maupun
nasional, pemerintah menetapkan kepentingan nasional Indonesia. Kepentingan
nasional yang bersifat mutlak adalah tetap tegaknya NKRI. Fungsi pertahanan
negara, dengan TNI sebagai tulang punggungnya, wajib menjaga dan melindungi
kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI serta keselamatan segenap bangsa
dari ancaman.
Pembangunan pertahanan negara yang kuat harus didasarkan pada definisi
ancaman terhadap kepentingan nasional. Kemampuan mengidentifikasi ancaman dan
perumusan kepentingan nasional merupakan langkah awal strategis membangun
kekuatan sistem pertahanan dan postur TNI.
Paradigma MEF sejatinya belum mencerminkan kekuatan ideal yang
dibutuhkan untuk mempertahankan kedaulatan dan keutuhan NKRI. Untuk menjaga
dan mempertahankan negeri seluas lebih dari 5 juta km persegi, terdiri dari
lebih 17 ribu pulau dan berpenduduk sekitar 240 juta jiwa, dibutuhkan
angkatan perang kategori middle power. MEF merupakan format kekuatan minimal
yang disiapkan sesuai sumber daya yang terbatas, tapi tetap mampu menjaga
kedaulatan negara.
Karena tak ada kepentingan nasional yang bersifat minimum, maka
penetapan MEF seharusnya berdasarkan pada identifikasi ancaman terhadap
kepentingan nasional. Dalam merumuskan strategi MEF, yang harus dilakukan
pertama kali adalah mendefinisi dan mengidentifikasi lebih dulu: siapa lawan.
Karena, suatu kekuatan militer dibangun guna menghadapi suatu ancaman militer
dengan level tertentu. Dalam penyusunan MEF, acuannya adalah faktor ancaman yang disesuaikan dengan
anggaran yang tersedia.
Lalu, pihak mana saja yang dipersepsikan dapat mengancam kedaulatan dan
keutuhan NKRI? Berdasarkan hasil analisis, invasi oleh bangsa lain terhadap
Indonesia, sangatlah kecil, setidaknya hingga 25 tahun ke depan. Kondisi
objektif yang terjadi selama beberapa tahun belakangan, adanya silang
sengketa dan aksi main klaim beberapa titik teritorial Indonesia oleh negara
tetangga.
Konflik di Laut Cina Selatan yang melibatkan beberapa negara ASEAN dan
Cina juga bisa mengancam kedaulatan NKRI yang berbatasan langsung dengan area
sengketa. Meski kedua kondisi objektif tadi masih kental segi politisnya,
Indonesia harus mempersiapkan diri sedini mungkin bila sewaktu-waktu
bermetamorfosis menjadi konflik senjata. Sebagaimana dikatakan ahli strategi
legendaris, Von Clausewitz, bahwa perang tak lain merupakan kelanjutan dari
konflik politik.
Hal paling menonjol dalam upaya mencapai MEF adalah pengadaan alutsista
bagi tiga matra TNI. Pembelian alutsista baru dengan teknologi terkini
memiliki arti ikut menjaga profesionalisme anggota TNI. Dengan
profesionalisme ini, niscaya mampu menjauhkan TNI dari dunia politik praktis.
Sebagaimana disampaikan Samuel P Huntington (1957) bahwa semakin profesional
militer, semakin memperkecil keinginannya mengintervensi arena politik.
Jadi, dengan paradigma MEF, postur TNI yang kelak terbentuk hanya
terbatas untuk menjalankan fungsi pertahanan negara yang bersifat defensif.
Dengan konsep MEF pula, TNI menjadi militer profesional yang dijauhkan dari
ranah politik praktis sehingga TNI mampu berdiri di tengah semua aliran,
kelompok, dan partai politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar