Adu
Kuat Legislatif-Eksekutif
Sukamta ; Anggota DPR 2014-2019 Fraksi PKS Dapil DI Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
09 Oktober 2014
Hampir sepekan anggota DPR/MPR yang baru sudah dilantik. Dinamika utama
di parlemen adalah pemilihan pimpinan DPR/MPR.
Selain soal pimpinan, hal penting lain terkait konstelasi eksekutif dan
legislatif. "Saya akan perkuat
sistem presidensial," demikian kira-kira pernyataan Joko Widodo
selaku presiden terpilih sebelum UU MD3 disahkan DPR. Bagaimana peluang
terlaksananya keinginan ini?
Tentu ini menarik dikaji dengan disahkannya UU MD3 yang spiritnya
memperkuat lembaga legislatif yang mencakup MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Bagaimana hubungan ketika legislatif dan eksekutif ingin memperkuat diri?
Spirit UU MD3 ini memperkuat lembaga legislatif dalam fungsinya sebagai
checks and balances eksekutif yang meliputi fungsi legislasi, penganggaran,
dan pengawasan. Salah satu kuatnya wewenang DPR tercantum dalam UU MD3 Pasal 74.
Yaitu, (1) DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya berhak
memberikan rekomendasi kepada pejabat negara, pejabat pemerintah. (2) Setiap
pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, warga negara, atau penduduk
wajib menindaklanjuti rekomendasi DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6)
Dalam hal badan hukum atau warga negara mengabaikan atau tidak melaksanakan
rekomendasi DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR dapat meminta kepada
instansi yang berwenang untuk dikenai sanksi.
Pada Pasal 74 ayat (1), (2), dan (6) ini jelas terlihat powerfull-nya
DPR yang bisa memberikan rekomendasi yang wajib dijalankan pejabat negara,
pejabat pemerintah, badan hukum, dan penduduk. Pada sisi lain, Paripurna DPR
baru saja memilih paket pimpinan DPR yang diketuai Setya Novanto dengan empat
wakil, yaitu Fadli Zon, Agus Hermanto, Fahri Hamzah, dan Taufik Kurniawan.
Kesemuanya berasal dari Koalisi Merah Putih (KMP).
Konstelasi ini bisa jadi akan menyulitkan kabinet Jokowi nantinya untuk
bergerak leluasa. Tentu sangat bergantung pada manajemen komunikasi dan
koordinasi Presiden baru. Ini karena situasi dan polanya berbeda dengan
pemerintahan SBY di mana DPR mampu "dijinakkan" meskipun ada fraksi
anggota koalisi seperti PKS yang beberapa kali mengambil sikap berbeda serta
PDIP dan Gerindra yang menjadi oposisi.
Pernyataan Jokowi ingin memperkuat sistem presidensial terbentur dengan
realitas politik. Pernyataannya yang tidak ingin bagi-bagi kursi menteri juga
terlihat tidak realistis. Dengan apa Jokowi akan menjinakkan oposisinya jika
bukan dengan kursi kekuasaan?
Politik itu sharing of resources.
Penguasa yang tidak mau berbagi sumber daya cenderung akan menjadi "common enemy" yang justru
akan menyulitkannya bergerak. Apakah pernyataan kubu Jokowi ingin mengambil 16
menteri dari parpol hanya lips service?
Jokowi mesti berpikir 1.000 kali karena selain legislasi pusat telah
dikuasai dengan terpilihnya paket pimpinan DPR dari KMP, juga disahkannya UU
MD3 yang memperkuat DPR. Tapi ternyata KMP tidak saja menguasai DPR, melalui
UU Pilkada yang baru disahkan KMP juga berpotensi besar menguasai eksekutif
pada tingkat lokal (provinsi).
Jika Jokowi tidak berhasil menjinakkan KMP, dengan perangkat UU MD3 dan
UU Pilkada, KMP akan "melemahkan" presiden secara konstitusional. Bayangkan,
dengan legitimasi UU MD3 Pasal 74, DPR dapat "memerintahkan"
pejabat negara siapa pun itu. Meskipun tidak diperinci sanksinya bagi yang
mbalelo, tapi ini cukup mampu mengganggu roda pemerintahan nantinya.
Belum lagi jika kita bicara dengan UUD 1945 yang seolah lebih memihak
legislatif (legislative heavy) jika
dihadapkan dengan presiden. Dalam UUD 1945 Pasal 7A disebutkan,
"Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti
tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden."
Sedangkan Pasal 7C berbunyi, "Presiden tidak dapat membekukan dan/atau
membubarkan DPR."
UUD 1945 Pasal 7A dan 7C menegaskan bahwa posisi presiden/wakil
presiden diawasi oleh DPR melalui mekanisme pemakzulan (impeachment), tapi
pada posisi lain presiden tidak dapat membubarkan DPR. Dalam konteks ini,
kekuasaan DPR seolah lebih besar dari presiden. Prinsip saling awas (checks)
cenderung bersifat searah dan memihak DPR.
Lalu bagaimana bentuk pengawasan presiden terhadap DPR? Sejauh ini
tidak ditemukan pasal dalam UUD 1945 yang menyebutkan pengawasan presiden
terhadap DPR.
Dengan kondisi ini, di atas kertas, posisi presiden nanti akan sangat
lemah. Pembahasan RAPBN dalam RKAKL antara DPR dan pemerintah diprediksi
berlangsung alot karena banyak program usulan pemerintah yang akan sangat
dikritisi. KMP akan mampu memainkan legislasi pusat-daerah dan eksekutif di
daerah.
Wacana Jokowi untuk melakukan "politik anggaran" kepada
pemerintah daerah yang bandel juga tidak akan mulus. Sebab untuk
melakukannya, seorang presiden melalui kementeriannya harus bermufakat dengan
Badan Anggaran DPR.
KMP dengan "kekuasaannya" tadi memainkan peran sangat penting
dan strategis dalam lingkup legislatif. Kita harapkan keberpihakan KMP di
legislatif terhadap kemajuan rakyat dan bangsa dipertahankan. Dalam UU MD3
Pasal 69 ayat (2) disebutkan, DPR dalam menjalankan fungsi legislasi,
anggaran, dan pengawasan dijalankan dalam kerangka representasi rakyat.
Tapi segala kemungkinan bisa terjadi karena politik itu unpredictable.
Apalagi, Jokowi memiliki gaya politik yang agak unik yang bisa saja
membalikkan keadaan.
Jokowi dengan partai politik pendukungnya berusaha melibatkan kampus
dan masyarakat untuk memberikan tekanan kepada KMP. Gerakan ekstraparlementer
ini boleh jadi akan dilakukan ketika kekuatan pendukung presiden di parlemen
tidak cukup kuat.
Besar harapan yang terjadi bukan adu otot antara presiden dan DPR,
tetapi checks and balances yang dinamis, tetapi tetap bermuara untuk kebaikan
dan kesejahteraan rakyat terbanyak di negeri tercinta ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar