Pendidikan
Lintas Agama
M Ridwan Lubis ; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
REPUBLIKA,
10 Oktober 2014
Persidangan antarbangsa tentang aliansi antarperadaban (United Nation Allience of Civilization)
di Bali pada akhir Agustus 2014 melahirkan rekomendasi bahwa untuk membangun
kerja sama menuju masyarakat dunia yang berperadaban agar dimulai menyusun
agenda pendidikan yang bersifat lintas agama dan budaya. Kerangka berpikirnya
bahwa saat ini tidak lagi mencukupi jika suatu komunitas hanya menerima
gagasan toleransi.
Kerukunan atau toleransi dalam arti pasif pada dasarnya juga toleransi
setengah hati (lazy tolerance).
Dalam situasi dunia yang tengah menghadapi meluasnya kekerasan karena
sejumlah perbedaan khususnya yang terkait keyakinan agama, masyarakat global
diajak aktif mewujudkan gagasan toleransi secara nyata. Modelnya adalah
pendidikan lintas agama dan budaya.
Dengan model pendidikan lintas agama, diharapkan citra agama akan
membaik tidak lagi menjadi sumber kekerasan atau yang sering disebut
radikalisme. Karena pendidikan lintas agama akan membudayakan sistem dialog
dalam membangun komunikasi tentang nilai-nilai keberagamaan yang membentuk
perilaku manusia.
Apabila ditelusuri perjalanan pendidikan agama di masyarakat, ditemukan
beberapa gagasan. Pertama, pendidikan agama yang menekankan keyakinan
agamanya sebagai satu-satunya kebenaran di alam nyata. Apabila ada orang lain
menganut kepercayaan berbeda, keyakinan itu dianggap tidak ada.
Kedua, pendidikan agama yang mengajarkan keyakinan absolut yang menjadi
dasar misi terbentuknya lembaga pendidikan. Selanjutnya, lembaga pendidikan
dimaksud tidak memberi peluang masuknya pengajaran agama lain ke lembaga
pendidikan tersebut sekalipun ada murid yang berkeyakinan berbeda dari misi
sekolah.
Hal ini bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional yang
mengharuskan setiap peserta didik memperoleh pendidikan agama berdasar pada
agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik yang seagama (UU Sisdiknas No
20 Tahun 2003 Bab V Pasal 12 ayat [1] huruf a).
Ketiga, pendidikan agama yang digagas oleh Prof Harsya Bachtiar dengan
sebutan pendidikan pancaagama. Gagasan itu berangkat dari prinsip lintas
agama, tapi memunculkan polemik karena masyarakat menganggapnya aneh. Dasar
keberatannya, khawatir tujuan pendidikan agama yang mengajarkan keyakinan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang melahirkan etika keberagamaan hanya
berhenti pada pengenalan keperbedaan masing-masing ajaran agama sehingga
hasilnya akan makin membingungkan peserta didik.
Keempat, pendidikan lintas agama yang digagas Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menjembatani perbedaan antarperadaban guna
melahirkan dialog komunikatif antarwarga dunia. Ide ini masih baru diperkenalkan,
maka kita belum mengetahui persis muatan gagasan tersebut.
Sikap-sikap radikal yang diasosiasikan dengan keberagamaan tidaklah
murni karena faktor perbedaan agama. Konflik yang bernuansa agama tidak dapat
disalahkan sepenuhnya kepada agamawan, tetapi juga harus disadari munculnya
sikap radikal tidak terlepas dari berbagai perlakuan yang dialami masyarakat,
seperti marginalisasi akibat pembangunan, ketidakadilan, maupun ketimpangan
memperoleh akses dan aset terhadap pembangunan.
Pendidikan toleransi hendaknya juga secara bersamaan dengan kebijakan
rekonstruksi pembangunan agar tidak melahirkan akibat sampingan. Pendidikan
lintas agama dan budaya hendaknya bagian dari program restrukturisasi
komprehensif terhadap pranata hukum, ekonomi, politik, dan sosial.
Dilihat dari penerapan norma moral dan etika, pendidikan lintas agama
dan budaya mencakup, pertama, tidak membenarkan segala cara untuk mencapai
tujuan. Kedua, membangun kesetiaan kepada berbagai pihak di mana seorang
warga menjadi anggotanya. Ketiga, membangun kejujuran kepada diri sendiri,
mitra kerja, dan masyarakat luas. Keempat, etos kerja yang ditetapkan dan
disepakati bersama. Kelima, penciptaan suasana saling mendukung dan
memercayai. Keenam, memotivasi sumber daya manusia untuk menampilkan kerja
yang lebih baik. Ketujuh, ketaatan kepada ketentuan normatif terlepas dari
preferensi pribadi atau kelompok (Sondang
P Siagian, 2008).
Pendidikan lintas agama dan budaya bukanlah pekerjaan mudah. Di samping
faktor visi dan misi kebijakan pendidikan juga kalangan pendidik adalah
orang-orang yang memperoleh pencerahan dari studi ilmu agama: sejarah agama,
perbandingan agama, dan filsafat agama.
Selama ini, masyarakat seakan alergi pada studi agama karena khawatir
akan menumpulkan kesadaran akidah. Penyelenggaraan pendidikan lintas agama
dan budaya hendaklah dilandasi oleh visi yang benar tentang makna dan tujuan
keberagamaan. Nilai agama tidak sekadar pengetahuan keagamaan yang sifatnya
manifes, tetapi harus bersifat laten yang membentuk kesadaran bawah sadar
yang teraktualisasi pada perilaku sehingga menjadi manusia bertakwa (God consciousness).
Apabila nilai ini telah dihayati dan membentuk perilaku, akan
melahirkan cita-cita luhur yang mendorongnya untuk menyadari bahwa esensi
nilai keberagamaan adalah perilaku santun, damai, dan tenggang rasa. Dalam
kaitan itulah, pendidikan lintas agama dan budaya diharapkan melahirkan dua
hal sekaligus, yaitu pada satu sisi lebih memperkuat keyakinan secara absolut
terhadap ajaran agamanya dan sisi lain lebih meningkatkan pengakuan,
penghargaan, penghormatan, serta toleransi terhadap penganut agama yang
berbeda sekaligus menumbuhkan minat saling belajar terhadap tradisi budaya
yang lahir dari perkembangan kesejarahan setiap agama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar