Pancasila
dan Pertimbangan Kebudayaan
Agus Hernawan ; Pekerja Kebudayaan
|
KOMPAS,
16 Oktober 2014
HARI
ini, persepsi publik atas Pancasila lebih mirip barang antik. Ia telah dikosongkan
dari sublimitas ideologi. Kehadirannya bukan lagi supra-personal dengan
nilai-nilai utama, melainkan produk yang mencari kelayakan dalam kepentingan
politik sesaat. Lepas dari itu, ia ketidakbermaknaan yang tersebar. Bahkan,
ia mungkin dianggap kayu rongsokan.
Ketidakbermaknaan
adalah bahasa lain dari kegagalan membumikan dan membunyikan Pancasila di
kehidupan nyata. Nirkoneksi antara nilai-nilai utama dengan ekspresi kolektif
jelas bukan karena nilai-nilai utama itu tidak lagi berterima di situasi
kebangsaan saat ini. Masalah ada di kualitas membumikan dan kuantitas
membunyikan. Apa yang dilakukan selama ini persis ”penjaga toko barang
antik”.
Sebagai kebudayaan
Pancasila
adalah holistisasi kebudayaan. Ia hadir, baik di covert culture (ruang terdalam
kebudayaan) maupun overt culture (ruang terluar kebudayaan). Di covert
culture, Pancasila menghimpun nilai-nilai utama yang mengandung keberterimaan
di ruang hidup kebangsaan dan daya adaptasi dalam struktur sejarah.
Di overt culture, Pancasila (seharusnya)
menjadi aktualisasi nilai-nilai utama. Ia hadir dalam bentuk ekspresi dan
identitas budaya, seperti adat-istiadat dan pola tutur-tindak budaya lainnya,
juga mendasari sistem ekonomi, sosial, dan politik kita.
Nirkoneksi
antara nilai-nilai utama di covert culture dengan ekspresi dan manifes
regulasi di overt culture terjadi akibat reproduksi bypass untuk memenuhi
tujuan politik sesaat. Institusi kesadaran dan alat produksi kesadaran tidak
digerakkan secara bersama. Akibatnya, kualitas kesadaran publik, kemudian
mentalitas publik, terdorong pada pengingkaran. Akhirnya, nilai-nilai utama
Pancasila cuma jadi niskala.
Kesadaran negatif
Kualitas
kesadaran publik terberai dalam tiga kelompok kesadaran negatif, yakni
mistis, naif, dan fanatik. Kesadaran mistis melahirkan sikap mental
fatalistis dan rasa ketidakberdayaan, berkompromi dengan kenyataan hidup yang
buruk sebagai ”nasib”. Sikap mental ini menciptakan masyarakat yang pasif,
mudah menyerah tapi gampang tersulut. Konsekuensi luas ia mematikan daya juang,
inisiatif, dan kreativitas dalam keadaban publik.
Kesadaran
naif ialah ketika segmen sosial memilih jadi ”obyek” yang lebih aktif. Mereka
tidak lagi pasif, tapi beradaptasi dengan nilai, peran, dan tatanan sosial
yang buruk, mengambil bagian di dalamnya, dan mendapatkan keuntungan.
Kesadaran naif melahirkan mentalitas aji mumpung dan berbagai praktik
penyalahgunaan wewenang.
Fanatisme
terjadi ketika frustrasi sosial berubah menjadi ”subyek” dalam kerumunan
dengan klaim kebenaran sempit. Fanatisme melahirkan sikap mental yang radikal
dan bias. Ia mendorong penolakan paripurna antarkelompok sosial.
Masing-masing saling memberi stigma, antikritik, dan cenderung ke arah
fasisme.
Ketiga
kesadaran di atas menyebabkan ruang hidup kebangsaan didominasi tiga mentalitas
negatif. Pada overt culture masyarakat agraris dan perkebunan, misalnya,
budaya klenik dan tahyulisme, budaya kepatuhan yang seketika bisa berubah
amuk merunyak dan menciptakan masyarakat yang diam tapi seperti sekam yang
mudah terbakar.
Di
lingkungan birokrasi, dunia usaha, dan masyarakat politik kita, budaya
korupsi, sogok, gratifikasi, termasuk budaya transaksi politik, tumbuh
seperti alang-alang di tengah padang. Sementara kaum muda terjebak budaya
kekerasan, intoleransi menggejala di kota dan desa diikuti fundamentalisme
keagamaan.
Revolusi mental
Revolusi
mental merupakan strategi kebudayaan. Ia bergerak tidak di covert culture
yang berarti revolusi guna meruntuhkan bangunan supra-personal yang sudah ada
dan di atas reruntuhan itu dibangun yang baru. Ia juga tidak bergerak di
overt culture yang membuatnya jadi kekuasaan penuh sensor: apa yang boleh dan
apa yang tidak seperti di masa Orba. Tetapi, ia mewujud sebagai gerakan
emansipasi kesadaran publik.
Sebagai
gerakan, ia tentu tidak bisa simsalabim-abrakadabra, tetapi berkecambah ke
banyak institusi kesadaran dengan emansipasi kesadaran publik menjadi tujuan
bersama. Tujuan ini merupakan pijakan bagi desain strategi bagaimana
mentransformasikan ketiga kesadaran negatif di atas ke level kesadaran warga
negara.
Kesadaran
warga negara bukan kloning kesadaran elite yang disuntikkan ke publik
sebagaimana peristiwa menghafal butir-butir P4 di masa lalu. Ia adalah satu
proses belajar dan bertindak untuk menghargai setiap ikhtiar publik.
Subyektivitas publik didorong bertumpu pada observasi dan penalaran kritis, self-critical, kadar fleksibilitas
dalam menilai, dan kepercayaan diri (self-confident)
yang tumbuh di tengah relasi sosial (power
to dan power with). Dari sini,
partisipasi publik baru akan lahir, mendasari aksi-aksi positif membangun
masyarakat yang lebih demokratis.
Sebagai
gerakan, substansi revolusi mental, yang juga jadi ukuran keberhasilannya,
terletak pada kesanggupan memobilisasi elemen-elemen penting di masyarakat.
Publik harus ditempatkan sebagai pusat dan nyawa gerakan. Mereka mencakup
keragaman polar yang membulat selaku kolektif, berkumpul dan menyusun
beberapa tujuan spesifik melalui program (mungkin) dengan sifat sentralis
diimbangi proposal aksi yang bersifat desentralis.
Namun,
tanpa upaya menjangkau keterlibatan publik yang luas, tanpa upaya aktivasi
modalitas sosial ke dalam koneksi solidaritas, suatu gerakan akan masuk kotak
elitisme. Karena itu, revolusi mental harus jadi daya gerak bersama. Selamat
datang Indonesia baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar