Kelembagaan
Baru Reforma Agraria
Noer Fauzi Rachman ; Direktur Eksekutif Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi-studi
Agraria Indonesia;
Dosen Politik dan Gerakan Agraria, Program S-2 Sosiologi
Pedesaan, IPB
|
KOMPAS,
16 Oktober 2014
DALAM buku Age of Extremes, The
Short Twentieth Century, 1914–1991, sejarawan Eric Hobsbawm (1994)
menulis bahwa ”perubahan yang paling dramatis paruh abad ini dan membedakan
kita dengan masa lampau adalah matinya kaum petani (the death of the peasantry)”. Petani adalah kelompok rakyat di
pedesaan yang hidup dari kegiatan pertanian, peternakan, atau perikanan dalam
ragam ekosistem, termasuk persawahan, perladangan, pengumpulan hasil hutan/laut,
penggembalaan, dengan unit utama kepemilikan dan produksi adalah keluarga.
Namun, modernisasi yang diawali dengan munculnya kompleks-kompleks
industri telah merelokasi para petani menjadi pekerja industri seiring dengan
konversi lahan pertanian, yang selanjutnya memerosotkan tingkat kesejahteraan
petani.
Deklarasi ”kematian petani” Hobsbawm di atas menjadi rujukan utama
pelajaran perubahan agraria untuk menunjukkan nasib petani di tengah berbagai
arus yang menghilangkan syarat-syarat keberlangsungan hidup mereka di
perdesaan. Indikator makro ”kematian petani” adalah urbanisasi dengan sisi
lain berupa menurunnya jumlah penduduk perdesaan. Sekarang tercatat ada 1,2
miliar petani; berarti tinggal 40 persen dari umat manusia yang memiliki
rumah tangga pertanian rakyat (small-farm
household). Penduduk di perdesaan menjadi minoritas (Philip McMichael
2012 ”Depeasantization” dalam The Wiley-Blackwell Encyclopedia of
Globalization).
Dalam peta teori perubahan agraria, deklarasi itu adalah bagian dari
”tesis pemusnahan” (disappearances
thesis). Di perdesaan, para petani berubah menjadi pekerja tanpa tanah,
menjadi bagian dari tenaga kerja atau setengah pengangguran di kota,
sementara desa dan tanah dikuasai pengusaha. Tesis itu dihadapkan dengan
”tesis permanen” (permanence thesis),
yang meyakini bahwa hukum-hukum masyarakat petani berbeda dengan badan-badan
usaha kapitalis sebagaimana Karl Marx dalam Das Kapital (1867). Menurut Marx, sistem ekonomi yang didominasi
cara produksi kapitalis akan memusnahkan cara produksi pertanian rakyat dan
kepemilikan tanah rumah tangga petani. Namun, pada tahap tertentu cara
produksi pertanian rakyat akan secara struktural dilestarikan sebagai tempat
orang miskin (Global Depeasantization
1945-1990, Farshad Araghi 1995).
Bagaimana di Indonesia?
Kecenderungan
sama
Apa yang disebut depeasantization juga melanda perdesaan kita. Tahun
2013, Indonesia memiliki lebih dari 28 juta rumah tangga petani (RTP) dengan
rata-rata pemilikan lahan 0,36 hektar. Ada 6,1 juta RTP di Pulau Jawa tidak
memiliki lahan pertanian dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Secara
agregat, saat ini 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani.
Laju penyusutan lahan pertanian mencapai angka 1,935 juta ha selama 15
tahun, atau 129.000 ha/tahun. Setiap hari, lebih dari 353 ha lahan pertanian
berubah menjadi non-pertanian (14,7 ha per jam, 0,25 ha per menit). Setiap
hari, 1.408 rumah tangga (59 rumah tangga tani per jam, atau 1 menit 1 rumah
tangga tani) terpaksa meninggalkan posisi kelas dan pekerjaannya.
Sensus Pertanian 2013 menunjukkan rumah tangga tani di Indonesia
mencapai 26,13 juta, berarti selama sepuluh tahun terjadi penurunan 5,07 juta
rumah tangga pertanian, dibanding hasil Sensus Pertanian 2003. Luas lahan
pertanian keluarga semakin sempit dan arus alih profesi/migrasi petani ke
sektor lain makin besar. Pada 2003-2013 terjadi penurunan 5,04 juta petani
dengan lahan di bawah 0,1 ha. Total luas lahan yang dikuasai petani menyusut
dari 10,5 persen menjadi 4,9 persen. Jumlah petani kecil dengan luasan
kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar dan petani tak bertanah 56 persen
(Indonesia) dan 78 persen (Jawa). Tidak heran, petani merupakan kelompok
dengan pendapatan terendah di Indonesia, rata-rata Rp 1,03 juta/bulan (BPS
2014).
Muncullah Reforma Agraria, dengan contoh klasik Meksiko yang merdeka
tahun 1910. Protes agraria dan pemberontakan petani merupakan pemicu revolusi
nasional untuk kemerdekaan Meksiko. Dua periode, 1910-1934 dan 1934-1940,
dicatat sebagai periode land reform
yang menghabisi penguasaan elite kolonial atas tanah dalam bentuk perkebunan
keluarga (hacienda).
Pertama adalah kebijakan reforma agraria di bawah Presiden Álvaro
Obregón Salido (1910-1934), yang berhasil meredistribusi lebih dari 53.000
km2 untuk 500.000 keluarga penerima di 1.500-an kelompok penerima tanah
ejido. Tahun 1930 tanah-tanah ejido 6,3 persen dari kepemilikan nasional.
Selanjutnya, kedua, adalah kebijakan reforma agraria di bawah Presiden
Lázaro Cárdenas del Río (1934-1940), yang berhasil meredistribusi 180.000 km2
(16.000 km2 berasal dari sitaan tanah pertanian dan perkebunan milik orang
Amerika) untuk lebih dari 12.000 kelompok penerima. Produktivitas petani
(1939-1941) melonjak tajam, paling tinggi setelah revolusi 1910.
Berdasarkan pengalaman Meksiko dan sejumlah negara pasca kolonial lain,
reforma agraria bagaikan ”operasi bedah yang menghilangkan sel tumor parasit”
dengan cara memberi rakyat kepastian hak atas tanah, perbaikan tata guna
tanah, dan untuk memacu gairah produksi yang pada gilirannya meningkatkan
kemakmuran rakyat.
Reforma agraria bukan hanya land
reform yang dimulai dengan redistribusi tanah. Secara teori, dalam buku Land Reform in Developing Countries.
Property Rights and Property Wrong, Michael Lipton (2009:328) merumuskan
land reform sebagai ”perundang-undangan yang diniatkan dan benar-benar
dijalankan untuk meredistribusi kepemilikan dan dijalankan untuk memberi
manfaat kepada kaum miskin.
Reforma
agraria Indonesia
Batu ujian pertama adalah mengurus konflik agraria struktural yang
kronis di seantero Nusantara, umumnya disebabkan oleh keputusan pejabat
publik (Menteri Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri
Pertambangan dan Energi) yang memberi lisensi (izin HPH/HPHTI, HGU, kontrak
karya pertambangan, dan lainnya), serta menjadi alas hukum perusahaan
pemegang lisensi untuk menyingkirkan rakyat dari tanah, sumber daya alam, dan
wilayah hidupnya.
Lebih dari itu, secara makro, reforma agraria dikerangkakan untuk
mengatasi kesenjangan sosial ekonomi. Indeks gini yang merupakan alat ukur
kesenjangan pendapatan meningkat tajam hanya dalam 5 tahun: dari 0,35 (2008)
menjadi 0,41 (2013). Jika indeks gini sudah mencapai 4,5, rakyat miskin akan
sangat rentan dan mudah sekali tersulut.
Idealnya reforma agraria merupakan operasi yang digerakkan oleh
pemerintah (melalui legislasi, birokrasi, program aksi) untuk menjalankan
Pasal 33 Ayat 3 yang berbunyi, ”Bumi,
air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk
dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Apakah artinya dalam konteks sekarang? Reforma agraria merupakan janji
Jokowi-JK, sebagaimana termuat dalam dokumen Visi Misi dan Program Aksi
Jokowi-JK. Penanda atas komitmen itu perlu tecermin dalam arsitektur kabinet
Jokowi-JK, yang dapat berbentuk badan khusus di bawah presiden untuk
menyelesaikan konflik-konflik agraria, selain kementerian khusus untuk
reforma agraria.
Siapa pun yang menduduki jabatan tinggi dalam kelembagaan ini perlu
mempelajari eksistensi dari gagasan dan praktik Reforma Agraria melalui
gerakan sosial yang sejak 1995 disemai dan dikawal Konsorsium Pembaruan
Agraria.
Awal Oktober 2014, koalisi dari 37 organisasi masyarakat sipil
menyelenggarakan Konferensi Nasional Reforma Agraria yang menghasilkan ”Buku
Putih Reforma Agraria”, yang dipertimbangkan secara serius.
Sebagai penanda baru, Jokowi-JK perlu mendeklarasikan bahwa kabinetnya
akan sepenuhnya menjalankan TAP MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam TAP MPR ini disediakan ”arah
kebijakan” Pembaruan Agraria, yang pada intinya adalah identifikasi
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, menjalankan
redistribusi tanah (land reform)
dengan memprioritaskan kepemilikan untuk petani miskin, menyelesaikan
konflik-konflik agraria, serta menyiapkan pembiayaan dan kelembagaan yang
memadai.
Tiga masalah kronis yang harus diselesaikan di Indonesia adalah
ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam, kerusakan lingkungan,
serta konflik-konflik agraria yang kronis dan meluas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar