Mengubur
Demokrasi Pancasila
Arif Susanto ; Peneliti di Indonesian Institute for Development and Democracy
|
KOMPAS,
14 Oktober 2014
SUNGGUH
sesat argumen bahwa pilkada langsung tidak sesuai Pancasila, yang diandaikan
mengamanatkan demokrasi perwakilan semata. Spirit utama demokrasi Pancasila,
pada hakikatnya, adalah permusyawaratan rakyat.
Argumen
yang dikembangkan fraksi-fraksi DPR penolak pilkada langsung tersebut tidak
memiliki alasan memadai, kecuali dilandaskan pada hasrat kekuasaan. Argumen
ini menyesatkan karena hendak mengubur kedaulatan rakyat dengan menggunakan
instrumen demokrasi Pancasila.
Di
hadapan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan pada 1 Juni 1945, ketika
menyampaikan landasan filosofis Indonesia merdeka, Soekarno menyerukan bahwa
Indonesia hendaknya didirikan atas ”dasar mufakat, dasar perwakilan, dan
dasar permusyawaratan.” Dasar-dasar inilah yang kemudian mewujud dalam
prinsip ketiga, di antara prinsip-prinsip lain dalam Pancasila usulan
Soekarno, yaitu ”mufakat atau demokrasi”.
Sesungguhnya,
yang terutama Soekarno tekankan di sini adalah prinsip permusyawaratan.
Dengan jalan permusyawaratan, kita akan memperbaiki segala hal. Inilah spirit
yang menghidupi keberlangsungan negara demokrasi Pancasila.
Bahwa
untuk mengelola negara kita membutuhkan Badan Perwakilan Rakyat, perjuangan
kepentingan dalam badan dilakukan lewat jalan musyawarah. Dengan demikian,
prinsip perwakilan bahkan kehilangan maknanya manakala di sana tidak ada
permusyawaratan.
Rakyat tertinggi
Penegakan
prinsip musyawarah dalam pengelolaan negara adalah perwujudan kedaulatan
rakyat dalam republik, yaitu ketika rakyat memegang kekuasaan tertinggi untuk
menentukan arah yang hendak dituju oleh komunitas politik tersebut.
Lewat
teks yang ditulisnya pada 1946, Muhammad Hatta menunjukkan bahwa kedaulatan
rakyat itu dibangun berlandaskan musyawarah. ”Kedaulatan rakyat berarti bahwa
kekuasaan untuk mengatur pemerintahan negeri ada pada rakyat. Rakyat
berdaulat, berkuasa untuk menentukan cara bagaimana ia harus diperintah....
[Inilah] kekuasaan yang dijadikan oleh rakyat atau atas nama rakyat di atas
dasar permusyawaratan.”
Implikasi
pemahaman tersebut adalah rakyat subyek yang menulis—langsung ataupun tak
langsung—peraturan perundang-undangan, yang dengan dasar itu negara dikelola.
Rakyat, sekaligus, adalah hamba-hamba hukum yang tunduk pada apa yang mereka
tetapkan secara otonom. Meski demikian, pemberlakuan hukum diikat oleh suatu
syarat legitimasi, yaitu bahwa ia dihasilkan lewat permusyawaratan rakyat.
Dengan
demikian, pada kedaulatan rakyat bukan hanya terkandung kekuasaan, melainkan
pula tanggung jawab. Siapakah rakyat yang mampu memikul tanggung jawab itu?
Ialah mereka yang, menurut Hatta, memiliki keinsafan. Karena itulah, Hatta
menekankan pentingnya pendidikan politik untuk menumbuhkan kesadaran dan
kecerdasan rakyat. Sebab, pada akhirnya, kehendak rakyatlah yang menggerakkan
para pemimpin, bukan sebaliknya.
Pendidikan politik
Kita
belajar bahwa demokrasi Pancasila memberi tempat utama bagi kedaulatan rakyat
lewat permusyawaratan rakyat. Berdaulat bukan berarti rakyat bebas melakukan
segala hal, melainkan rakyat memikul tanggung jawab untuk menjaga arah
pengelolaan negara agar selalu berorientasi pada kesejahteraan umum. Inilah
suatu hikmat kebijaksanaan yang sepatutnya memandu segenap proses
permusyawaratan rakyat.
Dalam
demokrasi Pancasila, permusyawaratan rakyat berkelindan dengan partisipasi.
Permusyawaratan rakyat membutuhkan keterlibatan dan pelingkupan yang
memastikan bahwa tidak ada hambatan sistematis bagi warga negara untuk turut
serta berpolitik.
Lebih
lanjut ia membutuhkan kesadaran yang memastikan bahwa kualitas partisipasi
warga negara dapat memelihara pengambilan keputusan untuk tidak mengingkari
kepentingan bersama.
Pilkada
langsung, sekurangnya sepuluh tahun terakhir, memberi ruang keterlibatan dan
pelingkupan meluas bagi rakyat. Namun, belum meratanya kesadaran dan
kecerdasan politik telah menghalangi partisipasi politik berkualitas.
Akibatnya, kandidat yang mumpuni kadang dikalahkan kandidat lain yang lebih
populer. Problem ini membutuhkan solusi pendidikan politik.
Sejauh
ini, partai-partai politik mampu berperan baik sebagai mesin politik dalam
berbagai kontestasi kekuasaan. Namun, kita belum sungguh-sungguh mendapati
peran besar partai politik dalam pendidikan politik untuk membangun
masyarakat berkesadaran. Inilah salah satu akar masalah mengapa pilkada
langsung belum kunjung memberi kontribusi signifikan bagi penguatan demokrasi
dan pemajuan kesejahteraan di sejumlah wilayah Indonesia.
Logika tidak lurus
Dalam
situasi semacam itu, mengembalikan kuasa kepada DPRD untuk memilih kepala
daerah menunjukkan ketidaklurusan logika para penyusun Undang-Undang Pilkada.
Publik juga patut syak bahwa motif untuk mengakumulasi kekuasaan telah
mendorong DPR untuk merampas kedaulatan rakyat. DPR mesti paham bahwa pilkada
bukanlah sekadar kontestasi kekuasaan. Dengan basis permusyawaratan rakyat,
pilkada mengekspresikan spirit demokrasi.
Penyusunan
undang-undang memang merupakan wewenang konstitusional DPR. Namun, saya
sungguh khawatir bahwa pengesahan Undang-Undang Pilkada adalah suatu
penyalahgunaan wewenang konstitusional untuk, pada akhirnya, justru mengubur
kedaulatan rakyat. DPR bukan sekadar memperlemah badan perwakilan rakyat.
Lebih daripada itu, DPR telah merongrong landasan berdirinya negara.
DPR
seharusnya memperkuat sandaran logis agar suatu undang-undang berterima di
hadapan rasionalitas publik dan itu berarti undang-undang diarahkan pada
kemanfaatan terbesar untuk publik.
Selain
itu, dibandingkan dengan bersikukuh melihat rakyat sebagai sumber masalah
buruknya kualitas demokrasi, ada baiknya DPR juga mewawas diri sembari
membangun komunikasi politik yang sehat dengan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar