Mendaratkan
Kedaulatan Pangan
Gatot Irianto ; Praktisi Pertanian Perdesaan
|
KOMPAS,
13 Oktober 2014
KEDAULATAN pangan (food
sovereignty) sebagai pilihan politik pangan Jokowi-JK—menggantikan mazhab
ketahanan pangan (food security) di
era SBY-Boediono—harus diapresiasi. Pergeseran pendulum ini berimplikasi
Indonesia harus mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri dan lebih khusus
lagi pemenuhan itu harus diproduksi anak bangsa sendiri, bukan dari impor.
Impor merupakan instrumen ”pilihan paling akhir dan terakhir” dalam
keterpaksaan. Konsekuensinya, Indonesia perlu memiliki data dan informasi
”sistem produksi, distribusi, deteksi dini, dan mitigasi rawan pangan yang
terintegrasi secara real time” dalam bentuk decision support system tool (DSS).
Tujuannya agar dapat memandu secara akurat para pihak dalam merumuskan,
melaksanakan kebijakan dan program kedaulatan pangan, serta mengeksekusinya
secara rinci dan operasional di lapangan. DSS dibangun berbasis individu
petani dan desa merekam data luas lahan, luas tanam, dan luas panen
berdasarkan rekaman citra satelit resolusi sangat tinggi (i piksel 1 x 1
meter) yang di-up date secara real time. Periode dan besaran luas tanam, pertanaman,
dan panen petani digunakan untuk menghitung agregat surplus atau defisit menurut ruang dan waktu.
Aplikasi ini dibuat sangat sederhana, users friendly, multiple purposes, dan multiple users sehingga dapat digunakan untuk kepentingan
prediksi produksi, kebutuhan, dan distribusi pangan untuk dimanfaatkan semua
pihak. Data real time ini secara operasional digunakan untuk perencanaan
tanam, serta alokasi prasarana dan sarana pertanian (pupuk dan benih, alat
mesin pertanian, panen, pasca panen, variabilitasnya menurut ruang dan
waktu).
Integrasi semua program pembangunan kedaulatan pangan lintas sektor
dalam wadah yang sama memungkinkan evaluasi kinerja program dan anggaran
dapat dilakukan simultan, jujur, dan fair. Perlindungan dan pemberdayaan
petani dan konsumen dapat ditetapkan sasarannya dengan akurat. Bagaimana
detail operasional kedaulatan pangan dan apa prasyaratnya?
Operasional
dan prasyarat
Perincian kedaulatan pangan dalam bahasa operasional yang terukur
menggunakan kerangka waktu jelas harus dilakukan untuk menghindari salah
interpretasi. Kedaulatan pangan tercapai jika dan hanya jika standing point
pemerintah soal (i) modernisasi pertanian bagi kelompok tani dan gabungan
kelompok tani dalam produksi pangan pokok serta (ii) mekanisme katup pengaman
ketika terjadi defisit ataupun surplus bahan pangan pokok jelas komitmen
penganggaran dan tegas eksekusinya di lapangan.
Modernisasi pertanian bertujuan memaksimalkan akses (i) pengelolaan dan
konsolidasi lahan minimum 5 hektar, (ii) mekanisasi pertanian sebelum tanam,
tanam, setelah panen, dan pengolahan hasil, (iii) benih, pupuk, dan air.
Reforma agraria dilandasi beragam perundang-undangan, mulai dari TAP MPR
sampai UU. Namun, faktanya, jumlah masyarakat tak berlahan terus meningkat
dan penguasaan lahan didominasi sekelompok kecil konglomerasi. Ketidakadilan
ini harus secepatnya dihentikan di tahun pertama pemerintahan Jokowi-JK
sehingga akses lahan berkeadilan cepat terjadi.
Peta areal penggunaan lain (APL) dan daftar kepemilikan hak guna usaha
(HGU) harus dipublikasikan sehingga masyarakat bisa memanfaatkan APL dan
mengawasi HGU yang mangkrak untuk diredistribusi. Konsolidasi lahan
sempit di Jawa juga harus dilakukan
agar skala ekonominya tercapai. Peningkatan luas garapan memungkinkan
dilakukan mekanisasi menyeluruh sehingga terjadi peningkatan efisiensi dan
produktivitas serta upah tenaga kerja pertanian.
Hasil penelitian di Sidrap, Sulawesi Selatan, melalui modernisasi
pertanian, pengolahan tanah, tanam, panen dapat dihemat biaya masing masing
minimal 30 persen sehingga ada tambahan keuntungan signifikan bagi petani.
Tambahan keuntungan ini dapat digunakan untuk membayar operator alat dan
mesin pertanian. Saat ini operator mesin pertanian dibayar Rp 150.000-Rp
200.000 per hari sehingga pasti menarik minat generasi muda.
Pengoptimalan akses pengelolaan lahan juga harus dilakukan di kebun
kelapa sawit, saat ini 10 juta hektar dan padi 8 juta hektar. Jika daya
dukung (carrying capacity) diasumsikan dua sapi per hektar, Indonesia dapat
mengembangkan 36 juta sapi (enam juta keluarga dapat ditampung dengan asumsi
1 keluarga mengelola 6 sapi). Dalam waktu tiga tahun, pasti swasembada daging
sapi tercapai dan masyarakat tak didera harga daging mencekik.
Selanjutnya pemerintah harus memperkuat akses petani ke benih
berkualitas. Saat ini, banyak putra-putri terbaik Indonesia bekerja di
perusahaan benih dan bibit multinasional, di dalam ataupun luar negeri.
Melalui insentif proporsional dan profesional, pemerintah dapat mengundang
mereka kembali ke Tanah Air untuk membangun industri benih bertaraf
internasional. Produksi benih bermutu itu selanjutnya dijual murah ke petani
sehingga produksinya mampu bersaing dengan produk impor.
Penyesuaian harga pupuk bersubsidi per jenis pupuk Rp 400 per kilogram
tiap tahun untuk mitigasi penyimpangan pupuk bersubsidi harus dilakukan
sekaligus sebagai sumber pendanaan perbaikan jaringan irigasi.
Katup
pengaman
Mekanisme katup pengaman defisit pangan pokok dapat dipantau melalui
DSS. Berdasarkan informasi prediksi produksi, konsumsi, dan cadangan pangan
setempat, redistribusi pangan dari daerah surplus ke daerah defisit diikuti
pemenuhan pangan substitusinya, dapat dilakukan lebih dini. Sebaliknya saat
surplus, industri pengolahan rakyat segera menyerap dan mengolah untuk
meningkatkan harga dan nilai tambah. Pendekatan sederhana, konkret, dan
operasional ini apabila dieksekusi pemerintahan Jokowi-JK di semua sentra
produksi pangan Indonesia dengan basis petani dan kelompok tani, akan
menjadikan rakyat berdaulat terhadap pangannya. Kedaulatan pangan petani
menjadi fondasi kuat mencapai kedaulatan pangan nasional yang selama ini
terus dikoyak dan dicabik-cabik para pihak yang ingin memperebutkan pangsa
pasar pangan Indonesia yang tumbuh pesat.
Ambruknya sistem produksi kedelai yang diikuti keruntuhan sistem
produksi ternak dan kehancuran infrastruktur produksi gula akibat permainan
pemburu rente harus dihentikan at all cost. Liberalisasi pangan di Indonesia
menyusul penandatanganan letter of intent dengan IMF, importasi daging yang
berlebihan, dan mafia gula rafinasi yang bocor ke pasar tradisional harus
jadi pelajaran berharga, dibarengi pengawasan ketat dan sanksi berat bagi
pelaku agar rakyat tak jadi korban globalisasi pangan. Pengetatan dalam
pengelolaan pangan nasional dipastikan akan menghasilkan devisa, menekan
spekulan, memberikan stimulus bagi sentra produksi pangan untuk memacu
produktivitas dan efisiensi sistem produksi, pengolahan hasil, dan pemasarannya.
Pemerintah secara serius dan bertahap harus memberikan insentif dan
proteksi non tarif—melalui penerapan codex
alimentarius serta sanitary and
phytosanitary—sebagai filter ampuh meredam serbuan pangan impor.
Implikasinya, produk pangan nasional juga harus dikenakan standar sama.
Pemerintah dan dunia usaha suka atau tidak suka harus bersinergi membina
petani agar menerapkan good agriculture
practices, termasuk good handling
practices dan turunannya, sehingga serbuan produk impor bisa ditahan dan
daya saing produk nasional di pasar internasional menguat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar