Literasi
dan Politisi
Asep Salahudin ; Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren
Suryalaya
|
KOMPAS,
13 Oktober 2014
SALAH satu yang bikin kita takjub terhadap manusia pergerakan adalah
mereka hadir ke gelanggang politik tidak dengan kepala hampa, tetapi justru
dengan ilmu pengetahuan yang menjulang. Jauh sebelum Indonesia merdeka,
Soekarno, Sjahrir, M Yamin, Tan Malaka, Agus Salim, Hatta, Natsir, dan
lainnya adalah sosok yang mencerminkan ”bangsawan pikir”. Akrab dengan
literasi, aktif berdiskusi, dan terus melakukan kontak dengan massa. Dari
penjara Sukamiskin, Bandung Timur, atas tuduhan pelanggaran UU Hukum Pidana
pasal haatzaai artikelen, Soekarno menulis
Indonesia Menggugat, semula sebagai pleidoi di Gedung Landraad
pemerintah kolonial Belanda di Bandung, 18 Agustus 1930.
Buku yang jadi dokumen sejarah politik Indonesia itu ditulis mendalam
dengan banyak jejak literasi yang telah diendapkannya sebagai pertanda
Soekarno muda rakus membaca sambil dihubungkan dengan dinamika peristiwa
politik yang dialami bangsanya. Buku yang memiliki pengaruh besar bukan hanya
terhadap takdir keindonesiaan, melainkan juga bangsa-bangsa lain yang masih
dalam sekapan kaum kolonial meski pada akhirnya dia tetap dijatuhi hukuman.
Tan Malaka sebagai sosok yang produktif dan orang pertama yang menulis
kata ”Indonesia merdeka” dalam Naar de Republiek Indonesia pada 1925 di
negeri pembuangan—ketika dipenjara oleh Soekarno karena bersimpangan jalan
secara ideologis—dengan intim dan penuh daya gugah menuliskan seluruh
pengalaman hidupnya dan seluruh amal politik anti kolonialismenya yang total
dalam tiga jilid buku berharga Dari Penjara ke Penjara dengan sebuah
keyakinan yang tak bisa ditawar seperti dituliskan di bukunya.
”Buku ini saya namakan Dari Penjara ke Penjara. Memang saya rasa ada
hubungannya antara penjara dan kemerdekaan sejati. Barang siapa yang sungguh
menghendaki kemerdekaan buat umum, segenap waktu ia harus siap sedia dan
ikhlas untuk menderita kehilangan kemerdekaan diri sendiri. Siapa ingin
merdeka, ia harus siap dipenjara”. Dia juga menulis Gerpolek, Madilog, Massa
Aksi, dan Menuju Republik.
Seorang bernama Hatta ketika berada di balik terali besi di penjara Den Haag, Belanda (1927-1928),
hari-harinya larut disibukkan dengan membaca banyak buku sambil menyiapkan
ujian sidang di Rotterdamse Handel Hooge School. Saat menjadi manusia eksil
di Boven Digoel, akhir 1935, lagi-lagi yang dijadikan teman setianya buku
dalam jumlah tak terhitung. Puluhan dus diboyong dari rumahnya ke Digoel. Di
Digoel semua buku itu dibaca cermat, dianalisis dengan dingin, dan kemudian
dikeluarkan dalam bentuk tulisan yang dikirim ke berbagai media. Sebagai
aktivis politik, ia masih sempat menulis Pengantar
ke Jalan Ekonomi Sosiologi, Alam Pikiran Yunani (1943), dan Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan
(1964).
Pewarisan
tindakan
Mereka tidak hanya mewariskan tindakan politik yang penuh keteladanan:
tentang kata yang selaras dengan perbuatan, etika yang dijadikan daulat
utama, kejujuran yang dipegang teguh, kesetiaan dalam perkawanan, atau
kesederhanaan dan asketisme yang dijadikan jalan kehidupan, tetapi juga
dengan memukau mereka mewariskan banyak kitab yang bisa dibaca sampai hari
ini. Maka tak heran ketika Indonesia diproklamasikan, mereka menjadi elite
baru. Gedung konstituante dalam sekejap berubah menjadi arena perdebatan mencerahkan,
menjadi panggung ilmiah adu ketangguhan mempertahankan pendapat dengan alasan
yang akurat. Kuat dengan ilmu, menukik dalam telaah, dan jauh ke depan ketika
memandang persoalan yang menyangkut hajat masa depan bangsa dan negara.
Karena itu, produk UU yang dihasilkan pun sangat teruji, visioner, dan
bermutu.
Wawasan yang luas tak hanya tecermin dari buku-buku yang telah ditulis,
tetapi juga dari cara mereka merumuskan falsafah negara, menyelesaikan
perdebatan, serta mencari jalan keluar yang disepakati semua secara lapang
dan toleran. Semua sila dalam Pancasila, sebelum tampak seperti hari ini kita
baca, lahir dari sebuah sengketa pemikiran yang panjang, argumentatif, dan
”panas”, termasuk pasal-pasal UUD 1945, Pembukaan, dan Piagam Jakarta. Karena
saat itu kehormatan diletakkan di atas sikap keteguhan memegang prinsip
kebenaran dan kejujuran, jarang kita temukan anggota konstituante dan atau
anggota kabinet yang terjerat kasus korupsi, memburu proyek, bancakan
anggaran, main perempuan, dan perbuatan naif lainnya.
Justru sebaliknya, kesederhanaan jadi bagian integral dari gaya hidup
elite politik masa itu. Bagaimana setingkat Perdana Menteri Natsir, jasnya
kelihatan sobek. Hatta sampai akhir hayatnya memendam cita-cita tak
kesampaian memiliki sepatu Bally. Seorang diplomat ulung Agus Salim yang
hidup tak ubahnya anak kos dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain
sampai ajal menjemput.
Sjahrir yang sering kali pinjam uang. Tan Malaka yang tak sempat
mencicipi buah manisnya kemerdekaan, tetapi hidup sebagai pelarian dari satu
daerah ke daerah lain. Amir Sjarifudin, wakil PM Sjahrir, akhirnya harus
terus berada dalam pelarian karena berbeda haluan dengan kekuasaan yang
notabene kawan-kawannya sendiri.
Cermin hari ini
Setelah 69 tahun usia kemerdekaan, cerita itu tinggal kenangan, hanya
ada dalam catatan sejarah yang sudah lusuh. Hari ini yang kita saksikan
pemandangan berbanding terbalik. Gedung DPR di Senayan tak ubahnya showroom
mobil-mobil mewah. Yang diparkir kebanyakan kendaraan dengan banderol
miliaran rupiah keluaran terakhir.
Pelantikan anggota DPRD DKI jadi ajang kepongahan pamer kendaraan wah di
tengah kebanyakan rakyat yang masih jelata.
Jangan bandingkan dengan kualitas persidangan manusia pergerakan. Yang
terekam kini, perdebatan yang sebagian besar mencerminkan manusia yang tak
karib dengan literasi. Bukan hanya bobot argumen yang dikedepankan dan produk
legislasi yang dikeluarkan, dari cara berdiskusi mengajukan pertanyaan pun
sangat mengecewakan. Militansi perjuangan itu hanya tampak digunakan untuk
memperjuangkan UU yang dianggap sehaluan dengan kepentingan partai dan
kaumnya. Kalau sudah menyangkut nasib partainya, apa pun dilakukan walaupun
tak sepakat dengan rakyat yang telah memilihnya seperti dalam hiruk-pikuk UU
Pilkada.
Lebih tragis lagi, tak sedikit manusia politik mutakhir setelah
terpilih jadi anggota Dewan yang dilakukan tak lebih cari obyekan di banyak kementerian.
Menandai mata anggaran di APBN yang bisa ”dikerjasamakan” untuk kepentingan
daerah pemilihannya. Selebihnya, duduk manis di kursi Senayan dengan mata
terpejam. Sesekali studi banding ke luar negeri agar tampak kosmopolitan. ICW
merilis, 48 caleg 2014-2019 terpilih tersangkut perkara korupsi. Dari jumlah
itu, 26 orang akan menjabat anggota DPRD kabupaten/kota, 17 orang akan
menjadi anggota DPRD provinsi, dan 5 orang akan dilantik sebagai anggota DPR
(Kompas, 16/9). Zaman sudah
berubah. Sayang perubahan itu bergeser ke arah atmosfer politik jahiliah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar