Asa
Pemerintahan Baru
Faisal Basri ; Ekonom
|
KOMPAS,
13 Oktober 2014
SEMINGGU lagi kita bakal memiliki pemerintahan baru. Banyak tantangan
menghadang. Namun, cukup banyak pula faktor yang membuat asa menyembul.
Ancaman utama bukan berasal dari luar. Seburuk-buruknya perekonomian
dunia, pertumbuhan ekonomi global tahun ini bakal lebih baik daripada tahun
lalu. Publikasi terakhir Dana Moneter Internasional memperkirakan pertumbuhan
ekonomi dunia bakal lebih baik lagi. Pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2015
diperkirakan 3,8 persen, jauh lebih tinggi ketimbang tahun ini yang
diperkirakan hanya 3,3 persen.
Tahun depan, ujung tombak akselerasi pertumbuhan berasal dari Amerika
Serikat, Uni Eropa, dan India. Penurunan pertumbuhan Tiongkok yang terjadi
sejak tahun 2011 tampaknya akan terus berlanjut tahun depan.
Di dalam negeri, membaiknya perekonomian AS kerap dipandang oleh
penentu kebijakan makroekonomi sebagai ancaman utama. Mereka meyakini
perbaikan ekonomi AS bakal membuat Bank Sentral AS (The Fed) segera menaikkan
suku bunga. Walaupun dana stimulus hampir bisa pastikan dalam waktu dekat tak
lagi digelontorkan, The Fed tidak akan serta-merta pada waktu bersamaan
menaikkan suku bunga. Sebagian anggota The Fed, termasuk ketuanya, belum
berani menetapkan target waktu penurunan suku bunga mengingat peningkatan
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan masih menghadapi beberapa rintangan.
Angka pengangguran di AS memang turun menjadi 5,9 persen pada September
lalu, yang merupakan tingkat terendah sejak 2008. Namun, penurunan itu juga
disebabkan semakin banyak pencari kerja frustrasi bertahun-tahun tak
menemukan pekerjaan baru sehingga mereka keluar dari pasar kerja.
Lagi pula, kenaikan suku bunga bakal memacu arus modal masuk ke AS
sehingga membuat nilai dollar AS terapresiasi. Padahal, pasar ekspor AS
banyak yang melemah sehingga membuat transaksi perdagangan AS tertekan, yang
pada gilirannya meningkatkan angka pengangguran kembali.
Kalaupun The Fed menaikkan suku bunga, daya tahan ekonomi kita
tergolong cukup kuat. Selama tahun 2014, imbal hasil pasar saham Indonesia
selalu dua digit, bahkan tak jarang mencapai di atas 20 persen. Tak heran,
arus modal portofolio neto yang masuk ke Indonesia selama semester I-2014
sudah mencapai 16,8 miliar dollar AS, naik hampir dua kali lipat dibandingkan
dengan sepanjang tahun lalu yang sebesar 9,5 miliar dollar AS. Investor asing
juga terus membeli surat utang negara sebagaimana tecermin dari pemilikan surat
utang negara oleh asing yang naik dari 33 persen pada Desember 2013 menjadi
36 persen pada akhir Juni 2014.
Penanaman modal asing langsung juga masih menunjukkan tren kenaikan,
rata-rata setahun mendekati 20 miliar dollar AS. World Investment Report terbaru
yang diterbitkan Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (UNCTAD), Juli lalu, menempatkan Indonesia di urutan ketiga
sebagai negara paling prospektif di mata perusahaan transnasional. Posisi itu
naik satu peringkat dibandingkan dengan laporan tahun lalu.
Persoalannya adalah Indonesia lebih dilihat sebagai potensi pasar
semata sehingga penanaman modal asing langsung dalam beberapa tahun terakhir
kian menyemut di sektor yang berorientasi pasar dalam negeri. Karena struktur
industri sangat rapuh, peningkatan investasi justru memperberat defisit akun
lancar (current account) mengingat
peningkatan ekspor lebih kecil daripada peningkatan impor.
Tantangan berat yang harus dijawab pemerintah baru adalah bagaimana
investor asing kian menjadikan Indonesia sebagai basis produksi regional,
bahkan dunia. Samsung memilih Vietnam dan Blackberry memilih Malaysia sebagai
basis produksi kiranya cukup sebagai cambuk untuk membenahi kebijakan
industrial kita.
Selama ini yang hilang dalam memajukan industri adalah kepemimpinan
nasional. Tak ada dirigen yang memandu kebijakan sektoral sehingga
kementerian-kementerian terkait berjalan sendiri-sendiri dengan target yang
berbeda-beda demi kepentingan jangka pendek.
Atas nama stabilitas, sektor riil, khususnya industri manufaktur,
dikorbankan. Kenyataannya stabilitas tidak membaik dan pertumbuhan ekonomi
melorot.
Kebijakan fiskal dan moneter yang dilatarbelakangi oleh ketakutan
tindakan The Fed yang belum pasti
itu membuat perumus kebijakan terlena mengikuti langgam gerak perekonomian
yang memang sudah menunjukkan pelemahan sejak triwulan III-2012. Pelemahan
direspons dengan mengeluarkan kebijakan yang semakin melemahkan lewat
kebijakan fiskal dan moneter ketat.
Bukti bahwa perumus kebijakan sudah kebablasan adalah Bank Indonesia
yang sudah tujuh kali mengubah prediksi pertumbuhan ekonomi 2014.
Kabinet pemerintahan mendatang perlu segera tancap gas untuk segera
memulihkan pertumbuhan ekonomi. Gunakan strategi low-hanging fruit, dengan membakar lemak yang menyelubungi
perekonomian, mereformasi struktur bea masuk, dan menghapuskan beban-beban
tidak perlu yang justru meningkat dalam setahun terakhir. Dengan begitu,
diyakini Indonesia bakal menjadi sangat menarik untuk dijadikan basis
produksi regional ataupun global sehingga segera berdampak bagi perbaikan
akun lancar.
Bagaimanapun, tekanan sektor eksternal akan lebih cepat menyembuhkan
penyakit akut perekonomian jika harga bahan bakar minyak bersubsidi segera
dinaikkan tanpa menunggu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015 mulai
dilaksanakan. Keberanian mengangkat kanker ganas ini merupakan prasyarat atau
syarat perlu.
Saatnya mengusung asa terukur bagi penyembuhan tuntas. Sedikit saja
keraguan bakal membuat asa terkikis. Kita berharap kepemimpinan baru bisa
mewujudkan harapan yang sudah cukup lama terkukur oleh keraguan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar