Duka
Tumbak dalam Serbuan Tambang
Max Regus ; Pernah Meneliti Resistensi Lokal dan Tambang di
Flores (2009-2010),
Kandidat Doktor Graduate School for Humanities, Universitas
Tilburg, Belanda
|
KOMPAS,
11 Oktober 2014
Dentingan
nestapa itu sedang mengalun dari Tumbak, sebuah kampung kecil di Kabupaten
Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Dengan kepala keluarga tidak lebih dari
70-an, pendapatan berkisar dari Rp 400.000 hingga Rp 1.000.000 per bulan dan
mata pencarian bertani, kampung kecil ini sedang mengirimkan pesan penting ke
pusat kekuasaan.
Pada
hari-hari ini, ketika para penguasa sedang sibuk membincangkan posisi
politik, sejumlah kecil warga bangsa terkurung dalam ruang kepedihan. Sesuatu
yang terus berulang dalam beberapa tahun belakangan ini. Itu terjadi ketika
industri tambang mengepung dan merobek pulau kecil di ujung timur Indonesia
itu.
Pembantaian ekologis
Dalam
catatan sejumlah aktivis antitambang di Flores, kemunculan sekian banyak
korporasi sejak tahun 2007 sudah mengundang keprihatinan.
Kampung
Tumbak, dalam artian keseluruhan komunitas sosial termasuk hak ulayat atas
kawasan, menjadi incaran utama perusahaan tambang.
Dalam
konteks pemekaran wilayah, Tumbak berada di daerah pemekaran, Manggarai
Timur. Kondisi transisi politik lokal ini memberikan peluang kepada pelaku
tambang untuk masuk dan kemudian merusak pertahanan masyarakat lokal di sana.
Dari tahun ke tahun, korporasi tambang terus berusaha mendapatkan izin usaha
pertambangan (IUP) dari pemerintah daerah Manggarai Timur.
Secara
formal yuridis, korporasi tambang kemudian menggenggam hak eksplorasi tambang
di Tumbak. Bayangan kerusakan segera mengintai masyarakat dan lingkungan
hidup. Kawasan incaran perusahaan tambang langsung berhubungan dengan wilayah
pendukung aktivitas pertanian warga. Pembantaian ekologis (ekolosida)
bergerak dengan cepat dan mencuri masa depan warga lokal.
Ironisnya,
ketragisan ekologis ini dibingkai oleh IUP dari pemerintah daerah. Dengan
secarik kertas IUP di tangan, perusahaan tambang seolah memiliki privilese
mendapatkan pengawalan dari pihak keamanan.
Inilah
yang saat ini menjadi salah satu persoalan krusial dalam konteks duka Tumbak.
Dari
kacamata masyarakat dan kelompok advokasi, kepolisian dianggap telah
menunjukkan keberpihakan kepada korporasi tambang. Mereka lebih sering tampil
sebagai alat yang memperlancar operasi perusahaan tambang ketimbang
menghadirkan rasa aman bagi masyarakat.
Perlawanan
masyarakat, yang kemudian cenderung berujung pada konflik terbuka, terjadi
pada 13 September 2014 ketika Pastor Simon Suban Tukan, salah seorang aktivis
Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Flores, mengalami kekerasan.
Berkaitan
dengan kejadian ini, sejumlah jaringan advokasi penentang tambang di Flores
mendesak Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur untuk membatalkan semua IUP.
Bahkan, Komnas HAM yang melakukan investigasi atas persoalan Tumbak
merekomendasikan moratorium eksplorasi dan eksploitasi tambang di kawasan
ini.
Politik lokal
Sekurangnya,
dalam konteks tragedi Tumbak, pemerintah lokal selalu mengajukan dua
argumentasi unggulan dalam mendukung operasi perusahaan tambang.
Pertama,
pemerintah lokal tidak dapat menghalangi UU yang memberikan basis
yuridis-formal bagi keberadaan investasi tambang. Padahal, sebenarnya
argumentasi ini bisa dipatahkan dengan pernyataan fundamental tentang
karakter sosio-kultural masyarakat. Masyarakat agraris dengan paham
kosmologis yang tertaut erat dengan alam sekitar menghadapi keterancaman
dengan kehadiran mesin tambang di pulau kecil itu.
Kedua,
alasan percepatan pertumbuhan kesejahteraan ekonomi selalu diletakkan di
belakang izin yang diberikan kepada perusahaan tambang di Flores. Tambang
akan menghadirkan volume kemakmuran bagi masyarakat Flores.
Hingga
sekarang, argumentasi ini belum menghadirkan pembuktian sahih selain semakin
banyak kawasan yang berubah rupa menjadi lubang-lubang raksasa. Kerusakan
area penyanggah kultur masyarakat agraris justru mengancam klaim logika
kesejahteraan ekonomi.
Maka,
rakyat banyak berharap pada kehadiran pemerintahan baru yang memiliki ikhtiar
memperkuat dan membangun kampung (desa). Dengan demikian, kisah serupa Tumbak
seharusnya segera mendapatkan jalan keluar terbaik.
Pertanyaannya
adalah apakah pemerintah daerah masih berkukuh mengeluarkan IUP dengan logika
percepatan kemakmuran ekonomi warga desa dengan akan hadirnya dana semiliar
rupiah per tahun yang akan masuk ke kampung-kampung kita?
Pemerintahan
Jokowi-JK harus menyikapi deretan ekolosida yang tergelar semakin ramai di
pelosok-pelosok negeri akibat meriahnya salah kaprah kepemimpinan politik
lokal.
Politik
lokal kerap memunculkan tengkulak politik lokal yang dengan mudah
menggadaikan kuasa mereka untuk menerbitkan IUP dengan kemudahan-kemudahan
ekonomis di depan mata mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar